Happy Reading*****"Mbak yakin nggak masalah kalau adek yang angkat panggilannya?" tanya Fandra mengulang kalimat yang sempat dia tanyakan tadi."Nggak masalah. Katakan saja kalau aku sedang di kamar mandi atau apalah. Dia juga nggak bakalan tahu kalau kamu yang mengangkat telponnya." "Siap, laksanakan." Fandra memegang benda pipih pintar milik Wening dan menggulirkan ikon hijau telepon ke atas. "Halo," sapanya pada si penelepon."Halo, kalau boleh tahu ini siapa?" tanya seseorang di sebrang sana yang tak lain adalah Tiara. "Ponsel ini, miliknya Wening, kan?""Benar. Apakah ibu sedang mencari Mbak Wening?" Fandra sengaja berpura-pura tidak mengenal kakak iparnya. Padahal saat ini, dia tengah tersenyum sangat manis pada sang pujaan."Jelas saya mencari Wening, dia kan pemilik HP ini. Siapa, sih, kamu? Pacarnya?" Suara Tiara sedikit meninggi dibandingkan tadi."Gitu, ya?" Fandra menampilkan deretan gigi putihnya. Pada gadis yang masih setia duduk di sebelahnya. "Saya bukan pacarnya,
Happy Reading*****Rahmat menatap Wening, demikian juga Damayanti. Baru kali ini, mereka melihat kemarahan dalam diri Fandra. Sosok lelaki yang tak sekalipun pernah terlihat kemarahan pada wajahnya. Kini, seperti menahan geram.Ingin sekali bertanya, siapa gerangan orang yang dimaksud oleh Fandra. Namun, melihat amarah dalam diri Fandra. Wening menyimpan semua pertanyaan tersebut."Lalu, kamu antar ke mana?" tanya Fandra. Nada suaranya mulai merendah. "Beliau memberikan alamat rumah yang ditinggali, Mas.""Ya, sudah. Pastikan dia baik-baik saja dan ada yang menjaga di rumah itu. Segera antar Silvia pulang setelahnya." Fandra menutup panggilannya pada Catra dengan salam.Menatap seluruh keluarga Wening yang terlihat tegang. Fandra tersenyum. "Maaf, jika ada perkataan kasar saya tadi. Ada sesuatu yang membuat saya melakukannya, Paklik," kata Fandra, "Catra sedang mengantar salah satu saudara saya. Jadi, dia sedikit terlambat mengantar Silvia padahal mereka sudah selesai belanja sejak
Happy Reading*****Wening terdiam, tetapi hatinya bergejolak hebat. Saat ini, Rahmat sudah bereaksi seakan menolak Fandra. Lantas, bagaimana keluarganya?Jelas, Mahmud dan Fatimah akan bereaksi lebih keras lagi. Membayangkan hal itu, kepala Wening tiba-tiba berputar hebat. "Fandra itu beda dengan saudaranya, Paklik. Wening tahu betul bagaimana sikap dan sifat keduanya yang sangat berbeda. Fahri lebih ambisius, sedangkan Fandra adalah tipe ikhlas dan sabar," jawab Wening setelah cukup lama berpikir."Kalau kamu yakin dengan pilihanmu, Paklik manut saja, Mbak," kata Rahmat, "dilihat dari sikap dan tingkahnya pas liburan kemarin, Paklik yakin dia tipe lelaki yang penyabar dan penyayang.""Emang, Pak. Fandra itu penyayang, semua karyawan kafe diperlakukan seperti saudara dan keluarga. Kata Catra, dia tidak pernah mau dipanggil Pak atau diistimewakan saat ada di garmen. Justru dengan sikapnya yang seperti itu, Fandra banyak meraih simpati dari karyawannya," tambah Silvia."Wis, pokokmen.
Happy Reading*****Silvia diam mematung karena sang pemilik rumah yaitu Mahmud dan Fatimah sudah keluar diikuti oleh kedua saudara Wening. Orang tuanya juga terlihat di samping orang tua sang pemilik hajat. "Ada apa ini ribut-ribut?" Mahmud menatap pada Fandra. Sebelum duduk, semua orang menjadi tegang. Tatapan mereka mengarah pada Fandra sebagai tamu karena belum mengenal anggota keluarga yang lain. Rahmat bahkan sudah berbisik pada putrinya, menanyakan apa gerangan yang terjadi. "Saya minta maaf, Pak. Terjadi kesalahpahaman sedikit dengan kakak ipar saya," jelas Fandra."Oh," jawab Fatimah. Dia sudah melirik perempuan yang dikatakan ipar oleh Fandra. Berkata dalam hati jika wajahnya sangat menakutkan. "Silakan duduk. Saya akan panggilkan putri kami.""Fan, Ibu tidak akan duduk sebelum kamu menjelaskan siapa sebenarnya gadis yang akan kamu lapar ini. Kakak iparmu tidak mungkin berkata sembarangan dan menuduh seseorang seenaknya tanpa ada kejadian dan fakta yang dia ketahui." Kar
Happy Reading*****Semu orang beralih menatap ke arah sumber suara. Wening sudah berdiri dengan dandanan lain dari kesehariannya. Gamis berokat dengan taburan mutiara plastik serta riasan wajah yang lebih tebal dari biasanya membuat semua orang yang berada di ruang tamu takjub. Kata orang Jawa, wajah si gadis saat ini manglingi.Fandra bahkan enggan untuk mengedipkan mata apalagi Fahri. Sang mantan benar-benar sudah lupa jika ada Tiara di sampingnya. Dia lebih fokus menikmati wajah cantik Wening padahal sang gadis tengah menatapnya tajam penuh dengan amarah. "Kenapa diam? Berkali-kali aku mengatakan bahwa cinta yang kamu katakan itu semuanya palsu. Di depan banyak orang bahkan kamu pernah merendahkan aku demi tujuanmu tercapai. Aku yang selama itu begitu bodoh sudah dibutakan oleh cinta yang kamu agungkan setiap hari. Bukan aku yang kamu cintai, Ri."Lelaki yang disebut namanya itu diam. Sejak di Malang, si gadis memang selalu menentang dan menyanggah semua perkataannya. Wening tak
Happy Reading*****Wening duduk dengan lemas, sedangkan Fandra pasrah. Jika Mahmud sudah menganggukkan kepala tanda bahwa lamarannya kali ini ditolak. Lelaki itu bisa apa. Padahal hati si gadis sudah didapatkan, restu Fatimah juga sudah turun. "Pak, jangan main-main. Malu sama tetangga kalau sampai ada yang tahu lamaran Wening batal lagi," ucap Fatimah. Kedua tangannya memegang lengan sang suami dan mengguncangnya pelan. "Mas, apa nggak bisa dipertimbangkan lagi. Perempuan itu, hanyalah ibu tiri yang terpaksa merawat Fandra karena permintaan suaminya," tambah Rahmat, "kasihan Mbak Wening. Mas nggak lihat, dia sangat bahagia berada di dekat Fandra."Mahmud menggelengkan kepala sekali lagi. "Walau ibu tiri, tapi dia sudah merawat Fandra sejak kecil sampai dewasa. Jika perempuan itu nggak ngasih restunya. Bagaimana Wening akan tinggal serumah dengannya nanti.""Pak, setelah menikah nanti, saya nggak akan tinggal sama ibu. Mas Fahri sudah tinggal bersama beliau dan nggak mungkin saya
Happy Reading*****"Kalian ini, apa, sih?" kata Mahmud, "Bapak itu belum selesai ngomong." "Ya, sudah. Mau ngomong apa, Pak. Cepat dilanjut," ucap Fatimah. Dia sudah tidak sabar untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan sang suami.Mahmud menatap Fandra dengan serius. Lalu, dia beralih menatap pada seluruh keluarganya secara bergantian termasuk Wening. "Wajah kalian tegang banget.""Gimana nggak tegang, Mas. Sejak tadi ada saja halangan untuk acara ini." jawab Damayanti yang sejak tadi membuka suara sama sekali. Sebagai perempuan, tentu dia juga gemas dengan sikap kakak iparnya itu. Sejak tadi, terus saja menggoda dan menunda acara lamaran putrinya.Wajah tegang keluarga Wening makin terlihat dengan jelas. Mereka semua menunggu-nunggu syarat apa yang akan diajukan oleh sang kepala keluarga. Mahmud malah tertawa menatap mereka semua."Pakde, ih. Cepetan ngomong, jadi setalah itu kita bisa langsung makan-makan. Silvi udah nahan lapar ini. Sudah siang, waktunya diisi lagi.""Kamu itu,
Happy Reading*****Pulang dari rumah Wening, Fahri melajukan kendaraannya lagi. Dia sama sekali tidak masuk, hanya mengantar ibu dan istrinya sampai di teras. Pikiran lelaki itu benar-benar kacau. "Mau ke mana suamimu?" tanya Karima. Mengedikkan bahu, Tiara melangkah begitu saja meninggalkan sang mertua. Mengumpat, Karima juga masuk. "Dasar anak jaman sekarang. Tidak ada aturannya sama sekali. Sopan santunnya sudah hilang." Masuk kamar dan mengunci pintu dari dalam. Karima juga tidak akan begitu peduli dengan tingkah sang menantu.Andai Tiara bukan anaknya Hartawan, mungkin Karima juga tidak akan menyetujui Fahri menikahinya. Walau sang suami telah berwasiat untuk menjodohkan mereka.Fahri terus melajukan kendaraan menuju sebuah rumah kecil di pinggiran kota dekat dengan bandara kebanggan masyarakat Banyuwangi. Membuka sendiri gerbang rumah tersebut. Fahri menyapa seseorang yang sedang menyapu halaman. "Lho, Mas?" sapa perempuan sepuh berdaster dengan jilbab wana hitam khas emak-