Jantung Ratu seakan berhenti berdetak, sebuah tangan kekar melingkar posesif di perutnya yang rata. Dari suara, dan aroma parfumnya, Ratu mengenali pemiliknya.
Kenapa Bagas kembali secepat ini. Biasanya pria itu akan menghabiskan waktu berhari-hari bila menyangkut kesenangan Hanum –putri kesayangannya. Pikiran Ratu terus berkelindan.Susah payah Ratu menelan salivanya. “Sangat. Pagi harus syuting, sore pemotretan, dan malammya ada talkshow di SME TV.”Sebisa mungkin Ratu menyembunyikan rasa takutnya. Dia mengusap perlahan lengan Bagas.“Aku merindukanmu, Ra.” Pria berjambang tipis itu mulai menyusuri leher jenjang Ratu.Ratu segera mematikan kompornya. Dia berbalik arah, mengalungkan tangannya di leher Bagas. Maharatu terus menunduk, berharap Bagas tidak melihat tanda di lehernya.Bagas memegang dagu Ratu agar istrinya mendongak. Bagaskara menyentuh bibir Ratu, memberi kecupan perlahan yang lama-kelamaan semakin menuntut. Dia terus mencumbu istrinya, leher Ratu menjadi sasaran berikutnya.“Ini apa?” Cumbuan Bagas seketika berhenti.Tatapan Bagas berubah nyalang, ada pria lain yang berani menandai wanitanya. Tangan yang semula memberikan sentuhan lembut, berubah kasar. Bagas mencekik leher Ratu.Napas Ratu tercekat, wanita itu berusaha melepaskan cengkraman tangan suaminya. Namun, tentu tenaganya tidak sebanding.“A … ampun … M … Mas!”Suara Ratu terbata dan sangat lirih. Pasokan udara yang mengalir semakin berkurang. Wajahnya yang putih terlihat semakin putih. Bibirnya memucat.Air matanya sudah membasahi pipi. “Kumohon Tuhan jangan ambil nyawaku sekarang. Ayah dan Pangeran masih membutuhkanku.” Lantunan doa terus Ratu ucap di dalam hati.Melihat Ratu yang sudah mulai lemas, Bagas melepaskan cekikannya disertai dorongan kasar.Tubuh Ratu terjerembab ke lantai.“Uhuk … uhuk ….” Ratu memegangi lehernya yang terasa sakit.Bagas berjongkok dengan salah satu tangan bertumpu di paha. Sementara satu tangan lagi mencengkram rahang Ratu. “Kamu berniat mengkhianatiku, perempuan murahan?”“Sumpah Mas, tidak. Sedikit pun aku tidak punya niatan itu.” Air mata Ratu mengucur deras.“Lalu ini apa. Hah!” bentak Bagas sembari menekan tanda di leher istri sirinya.“Semalam saat Mas bilang tidak jadi bertemu di klub. A–aku masuk kedalam klub. Lalu saat aku tidak sadarkan diri, seorang pria asing membawaku ke hotel. Tapi Ratu bersumpah, tidak terjadi apa–.”Ratu memegangi pipinya yang terasa panas. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.“Kamu kira aku bodoh!” Tangan Bagas beralih menjambak rambut Ratu hingga perempuan itu mendongak.“Ampun … Mas … ampun.” Tangan Ratu menangkup, wanita itu terus memohon pada suaminya. “Kalau Mas masih meragukan Ratu. Ayo kita ke rumah sakit. Kita lakukan visum.”Bagas memutar bola matanya, lalu tersenyum sinis. “Tidak perlu. Biar aku sendiri yang membuktikannya.”Pria yang memiliki tinggi 170 centi meter itu menarik kuat-kuat rambut Maharatu hingga wanita itu berdiri.Ratu memegangi tangan sang suami, berharap tarikan di rambutnya akan sedikit mengendur dan mengurangi rasa sakitnya.Dengan kasar Bagas menyeret Ratu ke kamar mereka lalu melempar tubuh Maharatu ke atas ranjang. "Layani, aku!"Bagaskara melampiaskan amarah dan hasrat secara bersamaan pada tubuh ringkih istrinya.Sudut mata Ratu terus merembeskan air. Fisik yang sakit dan jiwa yang terkoyak melebur jadi satu.***Napas Danendra terengah-engah karena mengitari area luar SME TV untuk mencari wanita yang semalam menemaninya tidur. Seratus persen dia yakin aroma mawar yang tertinggal di dalam lift adalah aroma wanita yang semalam. Tapi, sayang wanita itu tidak ada dimanapun.Danendra meraup kasar wajah tampannya. Sadar usahanya sia-sia, Danendra berjalan gontai memasuki gedung SME TV.Ruangan yang Danendra tuju ada di lantai lima, ruangan CEO SME TV, Sanjaya– papanya.“Papa harus jaga kesehatan. Jangan kebanyakan lembur," kata Danendra saat memasuki ruangan papanya. Pria berhidung mancung itu duduk di depan meja kerja Sanjaya.“Kalau mau Papa nggak lembur. Seharusnya kamu bantu Papa urus perusahaan.” Sanjaya melepas kacamatanya, memijat pelipisnya lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi.“Pasti Danen bantu, tapi nanti,” ucap Danendra sembari memainkan bolpoin di sela jari.“Nanti… nanti… kapan? Papa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi sampai keluar negeri bukan untuk jadi pengangguran.”“Sebentar lagi… mungkin.” Alis Danendra terlihat naik.“Kalau belum mau membantu Papa di sini, setidaknya benahi penampilanmu, Danen. Rambut gondrong, brewokan, bikin mata Papa sakit. Belum lagi pakaianmu ini.” Sanjaya menunjuk Danendra dari ujung kaki hingga ujung kepala.“Uh… Kaos oblong, jaket denim yang entah berapa lama tidak kamu cuci. Dan apa kamu kekurangan uang sampai beli celana saja tidak sanggup,” imbuh Sanjaya yang merasa risih putranya memakai celana bolong-bolong.“Ini fashion, Pa. Justru pria yang berpenampilan seperti Danen ini lah yang digandrungi para wanita jaman sekarang. Dan satu lagi… Danen bukan pengangguran. Danen ini seorang pelukis,” kilah Danendra.“Berhentilah bermain-main Danendra! Papa tidak melarangmu melukis atau menikmati masa mudamu. Papa hanya minta satu. Mulailah berpikir tentang SME TV. Banyak orang menggantungkan hidupnya pada perusahaan kita.” Sanjaya mencoba memberikan pengertian pada putranya.“Danen tau. Tapi, untuk saat ini Danendra benar-benar belum siap, Pa.” Lagi-lagi Danendra menolak permintaan sang Papa.“Setidaknya belajar dulu. Kalau menunggu kamu siap sampai lebaran monyet juga tidak siap,” cerocos Sanjaya.“Em… Pa. Di dalam lift ada CCTV-nya tidak?”Dahi Sanjaya mengernyit. “Kenapa tanya seperti itu?”“Danen ingin melihat rekaman CCTV-nya.” Danendra nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.“Ada. Kenapa tanya-tanya?!” Ada-ada saja kelakuan Danendra yang menurut Sanjaya tidak masuk akal.“Penting!”"Seberapa penting?" tanya Sanjaya."Sangat penting," jawab Danendra.“Tapi tidak ada yang gratis di dunia ini, Danendra.” Alis Sanjaya naik turun.Danendra berdecak kesal, matanya memicing. “Ck… sama anak sendiri perhitungan.”“Kalau anaknya seperti kamu yang selalu membuat naik darah, ya, semuanya harus diperhitungkan,” pungkas Sanjaya.“Baiklah. Dengan cara apa Danen harus membayar rekaman itu.” Demi meyakinkan diri bahwa wanita yang berada di dalam lift adalah wanita yang dia cari, Danendra terpaksa menyerah pada papanya.“Besok pagi, datang kemari dengan pakaian yang rapi. Ikut Papa rapat tertutup dengan para pemegang saham.”“Sip.” Danendra semringah, dua jempolnya melayang ke udara. “Sekarang ayo kita ke ruangan CCTV!” Satu-satunya pewaris utama SME TV itu bangkit dari duduknya.“Eh… tidak semudah itu anak muda,” sergah Sanjaya.“Maksud Papa.” Perasaan Danendra tidak enak.“Rekaman itu akan kamu dapatkan setelah selesai rapat.” Senyuman di bibir Sanjaya nampak menyebalkan di mata Danendra.“Tapi, Pa… Danen kan sudah setuju ikut rapat,” rajuk pria brewokan itu.“Papa tidak mau ambil resiko. Bisa saja besok kamu ingkar janji setelah mendapat rekaman itu.""Tidak, Pa. Danen tidak akan ingkar janji." Wajah Danendra memelas."Sudahlah, sekarang ayo kita pulang ke rumah Mama pasti sudah menunggu Papa.” Sanjaya bangkit dari kursi kebesarannya, merangkul pundak sang putra.“Aku mau pulang ke apartemenku saja,” tolak Danendra.“Kalau begitu perjanjian kita batal.” Sanjaya berlalu meninggalkan Danendra yang masih mematung.“Papa. Tunggu!” Danendra berlari mengejar langkah Papanya.Amarah dan hasrat yang sudah tersalurkan membuat Bagaskara lega. Pria itu menjatuhkan tubuhnya di samping Ratu. “Sekarang aku percaya, dia tidak menyentuhmu. Tidurlah! Aku akan mentransfer uang ke rekeningmu. Gunakan untuk mengobati luka-luka ini.” Ratu berdesis saat Bagaskara menyentuh ujung bibirnya. “Shh....” perih langsung menjalar ke seluruh tubuh.Bagaskara menarik tubuh Ratu ke dalam pelukannya, mencium sudut bibir Maharatu yang membiru lalu menyelimuti tubuh keduanya.Sinar matahari pagi sudah menembus tirai yang berkibar tertiup angin, menyilaukan pandangan wanita yang masih bergelung di dalam selimut itu. Tulang-tulang di tubuh Ratu seakan ingin terlepas satu per satu. Sungguh, badannya sakit semua. Belum lagi, kepalanya juga terasa pusing.Melihat matahari yang sudah meninggi, Ratu begitu panik, hari ini dia ada syuting seharian penuh. Ratu menyibak selimutnya, tergesa-gesa.“Aku terlambat,” rutuk Ratu. Kakinya baru akan menapaki lantai saat suara Bagaskara menghentikan g
Keesokan paginya, Danendra benar-benar menuruti permintaan papanya untuk ikut rapat tertutup pemegang saham. Kedatangan Danendra ke perusahaan tentu menarik perhatian semua orang, terutama kaum hawa.Jas berwarna navi senada dengan celana slim fit yang dia kenakan membuatnya terlihat berbeda juga sepatu pantofel hitam yang semakin membuat langkahnya terlihat gagah. Danendra mengikat rambutnya ke belakang dengan rapi, brewok yang pagi ini ditata rapi semakin membuat aura maskulinnya keluar.Berjalan beriringan dengan Sanjaya otomatis membuat setiap pasang mata menunduk hormat pada Danendra. “Perkenalkan, dia putra saya, Danendra Sanjaya.” Sanjaya memperkenalkan Danendra di depan semua pemegang saham.“Selamat pagi semuanya.” Danendra membungkukkan badannya, sebagai tanda hormat pada semua pemegang saham. “Perkenalkan nama saya Danendra. Suatu kehormatan bagi saya karena diberi kesempatan untuk bergabung dengan orang-orang hebat seperti Anda semua," imbuh Danendra dibarengi dengan se
Danendra berkacak pinggang di dalam apartemen tipe studio yang baru dibelinya. “Pindah lagi … pindah lagi,” gerutunya. Terpaksa pria itu pindah apartemen karena kedua orang tuanya sudah tahu letak bahkan kode apartemen lamanya.Dia ingin hidup bebas tanpa kekangan seperti saat berada di luar negeri.Danendra mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Kalung berliontin merpati. “Kenapa harus merpati.” Kalung itu berkilau di antara jari telunjuk dan tengah. Danendra memasukkan kalung itu pada kotak beludru kecil yang sengaja dia beli siang tadi. Lalu, menyimpannya di ruang wardrop.***Menghisap sebatang rokok dengan tangan kanan, sementara buku gambar dan pensil di tangan kiri, Danendra menapaki satu per satu anak tangga darurat menuju rooftop. Bagi Danendra di tempat tertinggi itu, inspirasi untuk melukis mudah muncul. Meski, sejujurnya beberapa hari ini inspirasinya adalah Maharatu. Wajah ayu Maharatu bahkan memenuhi semua kanvas miliknya.Sampai di rooftop, mata Danendra membo
Marisa menatap sinis pria yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun itu. “Aku penasaran. Seperti apa wanita simpananmu itu? Apa dia sangat cantik? Atau sangat hebat di ranjang. Hingga seorang Bagaskara si penjelajah wanita ini,” Marisa memainkan jarinya di dada Bagaskara, “mampu bertahan sangat lama dengannya.”Gerakan jari Marisa terhenti karena Bagaskara mencengkramnya erat lalu mengibaskannya kasar. Kini giliran Bagaskara yang mencengkram dagu Marisa, lalu mendorong tubuh Marisa hingga menyentuh dinding kaca. Bagaskara menyeringai. “Lebih baik kamu tidak tau dan tidak mencari tau, Marisa!” Manik coklat Bagaskara begitu mengintimidasi. “Atau… kubuat bocah ingusan yang kamu pelihara itu lenyap seketika dari dunia entertain. Kudengar dia sedang merangkak di industri yang kukuasai ini.” Bagaskara melepas cengkramannya dengan kasar. Marisa memegangi rahangnya yang terasa sakit. “Sial! Dari mana dia tau tentang Julian,” geram Marisa.Pernikahan Bagaskara dan Marisa memang sudah
Pertanyaan Maharatu membuat Bagaskara menoleh ke belakang. “Oh, dia. Kemarilah, Ndra!” Pria asing itu mendekat ke arah Bagaskara. “Kenalkan namanya Endra. Dia sopir baru sekaligus pengawal pribadi untukmu,” jelas Bagaskara pada Ratu.Hati Ratu mencelos seketika, tidak menyangka Bagaskara akan bertindak sejauh ini. Menempatkan pengawal khusus untuknya. Tanpa pengawal saja dia sudah merasa sesak. Apalagi dengan pengawal. Seandainya bisa, Ratu ingin berteriak sekencang kencangnya.“Ratu nggak butuh pengawal Mas,” rengek Ratu.“Jangan membantah, Ra!” Bagaskara menatap Ratu tajam. “Sa,” panggil Bagas pada Sasa yang masih mematung di tempatnya.“Iya… Om.” Sasa mendekat. “Kamu masih ingat kode unit sebelah, ‘kan?”“Masih, Om.” “Ajak Endra kesana! Mulai sekarang, Endra akan menempati unit itu!” “Siap Om!”Bagaskara menatap ke arah Endra. “Ndra, kamu ikuti, Sasa!”“Baik, Tuan.” Endra mengangguk patuh, tapi tangannya mengepal erat.“Mas ngantuk. Tadi dari bandara, Mas langsung kemari. Kamu
Hanum berteriak histeris melihat kedatangan Maharatu. “Kak Maharatu!” Hanum menutup mulutnya sesekali memandang ke arah Papanya, seolah tidak percaya idolanya ada di sini. Dia bahkan berlonjak kegirangan seperti anak kecil. Sementara, Maharatu bingung dengan situasi di ruangan itu. Dia menatap Bagaskara, minta penjelasan. Ekor mata Bagaskara melirik ke arah Hanum, memberi kode pada Maharatu agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi.“Hai, Hanum. Happy birthday.” Ratu memeluk Hanum erat.“Aku masih tidak percaya Kak Ratu ada di sini.” Terlihat jelas binar bahagia di mata remaja itu. “Papa benar-benar mengabulkan permintaanku,” sorak Hanum.Jadi ini tujuan Bagaskara mengajaknya makan malam di luar. Menyenangkan putri semata wayangnya. Maharatu tersenyum miris.Akan tetapi, dengan cepat bibir Ratu tersenyum selebar mungkin lalu memegang bahu Hanum lembut. “Om Bagas yang memintaku datang. Katanya putri cantiknya sedang berulang tahun.”“Terima kasih sudah datang Kak Ratu. Ayo duduk d
Ratu masih menangis sesenggukan di lantai. Dia menyandarkan tubuhnya di ranjang. “Mama rindu kamu, Sayang. Seandainya kamu masih ada.” Artis cantik itu hanya bisa mendekap foto USG hitam putih di dadanya. Dia meraih tas kecil di atas nakas karena suara ponsel yang terus berdering. “Pangeran,” gumam Ratu. Dia mengusap pipinya, menghentikan tangisnya, lalu menggeser ikon hijau di layar ponsel.“Hallo, Pangeran.” Kemampuan aktingnya kadang memang berguna di kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti saat ini. Suara Ratu terdengar ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, sedetik sebelumnya dia menangis histeris.“Hallo, Kak … Kak besok aku dan Ayah pulang,” tutur Pangeran yang terdengar bersemangat.“Benarkah! Bagaimana dengan terapi Ayah?” “Terapi Ayah berjalan dengan baik, Kak.”“Syukurlah,” ucap Maharatu lega.“Kami merindukan, Kakak.”“Kakak juga merindukan kalian.” “Kakak ingin berbicara dengan Ayah?” tanya Pangeran dari seberang sana.“Boleh,” ucap Maharatu.“Hallo, putri aya
“Ayah!” Ratu berhambur kepelukan Rahman. Bahkan karena bahagia Ratu tak kuasa menahan air matanya. Meski belum sepenuhnya sembuh, Rahman yang sudah bisa berdiri dengan tongkat membuat Ratu sangat bahagia. Bagaimana tidak, selama empat belas tahun ayahnya hanya bisa duduk di kursi roda. Tapi kini, pria itu sudah bisa berdiri dan berjalan.Rahman mengurai pelukan putrinya, membelai lembut rambut Maharatu. “Kenapa menangis? Kamu tidak suka Ayah sembuh?” canda Rahman.“Justru Ratu menangis karena bahagia.” Ratu kembali memeluk ayahnya.“Terima kasih, ya, Sayang. Karena kamu Ayah bisa berdiri lagi,” ucap Rahman mengusap punggung Ratu.“Kenapa bilang seperti itu. Seharusnya Ratu yang berterima kasih karena Ayah sudah berusaha untuk sembuh.” Ratu masih terus terisak.“Kok, cuma pelukan berdua. Aku nggak diajak,” protes Pangeran.“Sini!” Ratu melambaikan tangannya.Mereka bertiga berpelukan. Pelayan yang sedari tadi berdiri di sana ikut meneteskan air mata. Karena dia tahu bagaimana perjuang