Share

Bab 4

Jantung Ratu seakan berhenti berdetak, sebuah tangan kekar melingkar posesif di perutnya yang rata. Dari suara, dan aroma parfumnya, Ratu mengenali pemiliknya.

Kenapa Bagas kembali secepat ini. Biasanya pria itu akan menghabiskan waktu berhari-hari bila menyangkut kesenangan Hanum –putri kesayangannya. Pikiran Ratu terus berkelindan.

Susah payah Ratu menelan salivanya. “Sangat. Pagi harus syuting, sore pemotretan, dan malammya ada talkshow di SME TV.”

Sebisa mungkin Ratu menyembunyikan rasa takutnya. Dia mengusap perlahan lengan Bagas.

“Aku merindukanmu, Ra.” Pria berjambang tipis itu mulai menyusuri leher jenjang Ratu.

Ratu segera mematikan kompornya. Dia berbalik arah, mengalungkan tangannya di leher Bagas. Maharatu terus menunduk, berharap Bagas tidak melihat tanda di lehernya.

Bagas memegang dagu Ratu agar istrinya mendongak. Bagaskara menyentuh bibir Ratu, memberi kecupan perlahan yang lama-kelamaan semakin menuntut. Dia terus mencumbu istrinya, leher Ratu menjadi sasaran berikutnya.

“Ini apa?” Cumbuan Bagas seketika berhenti.

Tatapan Bagas berubah nyalang, ada pria lain yang berani menandai wanitanya. Tangan yang semula memberikan sentuhan lembut, berubah kasar. Bagas mencekik leher Ratu.

Napas Ratu tercekat, wanita itu berusaha melepaskan cengkraman tangan suaminya. Namun, tentu tenaganya tidak sebanding.

“A … ampun … M … Mas!”

Suara Ratu terbata dan sangat lirih. Pasokan udara yang mengalir semakin berkurang. Wajahnya yang putih terlihat semakin putih. Bibirnya memucat.

Air matanya sudah membasahi pipi. “Kumohon Tuhan jangan ambil nyawaku sekarang. Ayah dan Pangeran masih membutuhkanku.” Lantunan doa terus Ratu ucap di dalam hati.

Melihat Ratu yang sudah mulai lemas, Bagas melepaskan cekikannya disertai dorongan kasar.

Tubuh Ratu terjerembab ke lantai.

“Uhuk … uhuk ….” Ratu memegangi lehernya yang terasa sakit.

Bagas berjongkok dengan salah satu tangan bertumpu di paha. Sementara satu tangan lagi mencengkram rahang Ratu.

“Kamu berniat mengkhianatiku, perempuan murahan?”

“Sumpah Mas, tidak. Sedikit pun aku tidak punya niatan itu.” Air mata Ratu mengucur deras.

“Lalu ini apa. Hah!” bentak Bagas sembari menekan tanda di leher istri sirinya.

“Semalam saat Mas bilang tidak jadi bertemu di klub. A–aku masuk kedalam klub. Lalu saat aku tidak sadarkan diri, seorang pria asing membawaku ke hotel. Tapi Ratu bersumpah, tidak terjadi apa–.”

Ratu memegangi pipinya yang terasa panas. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.

“Kamu kira aku bodoh!” Tangan Bagas beralih menjambak rambut Ratu hingga perempuan itu mendongak.

“Ampun … Mas … ampun.” Tangan Ratu menangkup, wanita itu terus memohon pada suaminya. “Kalau Mas masih meragukan Ratu. Ayo kita ke rumah sakit. Kita lakukan visum.”

Bagas memutar bola matanya, lalu tersenyum sinis. “Tidak perlu. Biar aku sendiri yang membuktikannya.”

Pria yang memiliki tinggi 170 centi meter itu menarik kuat-kuat rambut Maharatu hingga wanita itu berdiri.

Ratu memegangi tangan sang suami, berharap tarikan di rambutnya akan sedikit mengendur dan mengurangi rasa sakitnya.

Dengan kasar Bagas menyeret Ratu ke kamar mereka lalu melempar tubuh Maharatu ke atas ranjang. "Layani, aku!"

Bagaskara melampiaskan amarah dan hasrat secara bersamaan pada tubuh ringkih istrinya.

Sudut mata Ratu terus merembeskan air. Fisik yang sakit dan jiwa yang terkoyak melebur jadi satu.

***

Napas Danendra terengah-engah karena mengitari area luar SME TV untuk mencari wanita yang semalam menemaninya tidur. Seratus persen dia yakin aroma mawar yang tertinggal di dalam lift adalah aroma wanita yang semalam. Tapi, sayang wanita itu tidak ada dimanapun.

Danendra meraup kasar wajah tampannya. Sadar usahanya sia-sia, Danendra berjalan gontai memasuki gedung SME TV.

Ruangan yang Danendra tuju ada di lantai lima, ruangan CEO SME TV, Sanjaya– papanya.

“Papa harus jaga kesehatan. Jangan kebanyakan lembur," kata Danendra saat memasuki ruangan papanya. Pria berhidung mancung itu duduk di depan meja kerja Sanjaya.

“Kalau mau Papa nggak lembur. Seharusnya kamu bantu Papa urus perusahaan.” Sanjaya melepas kacamatanya, memijat pelipisnya lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi.

“Pasti Danen bantu, tapi nanti,” ucap Danendra sembari memainkan bolpoin di sela jari.

“Nanti… nanti… kapan? Papa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi sampai keluar negeri bukan untuk jadi pengangguran.”

“Sebentar lagi… mungkin.” Alis Danendra terlihat naik.

“Kalau belum mau membantu Papa di sini, setidaknya benahi penampilanmu, Danen. Rambut gondrong, brewokan, bikin mata Papa sakit. Belum lagi pakaianmu ini.” Sanjaya menunjuk Danendra dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Uh… Kaos oblong, jaket denim yang entah berapa lama tidak kamu cuci. Dan apa kamu kekurangan uang sampai beli celana saja tidak sanggup,” imbuh Sanjaya yang merasa risih putranya memakai celana bolong-bolong.

“Ini fashion, Pa. Justru pria yang berpenampilan seperti Danen ini lah yang digandrungi para wanita jaman sekarang. Dan satu lagi… Danen bukan pengangguran. Danen ini seorang pelukis,” kilah Danendra.

“Berhentilah bermain-main Danendra! Papa tidak melarangmu melukis atau menikmati masa mudamu. Papa hanya minta satu. Mulailah berpikir tentang SME TV. Banyak orang menggantungkan hidupnya pada perusahaan kita.” Sanjaya mencoba memberikan pengertian pada putranya.

“Danen tau. Tapi, untuk saat ini Danendra benar-benar belum siap, Pa.” Lagi-lagi Danendra menolak permintaan sang Papa.

“Setidaknya belajar dulu. Kalau menunggu kamu siap sampai lebaran monyet juga tidak siap,” cerocos Sanjaya.

“Em… Pa. Di dalam lift ada CCTV-nya tidak?”

Dahi Sanjaya mengernyit. “Kenapa tanya seperti itu?”

“Danen ingin melihat rekaman CCTV-nya.” Danendra nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Ada. Kenapa tanya-tanya?!” Ada-ada saja kelakuan Danendra yang menurut Sanjaya tidak masuk akal.

“Penting!”

"Seberapa penting?" tanya Sanjaya.

"Sangat penting," jawab Danendra.

“Tapi tidak ada yang gratis di dunia ini, Danendra.” Alis Sanjaya naik turun.

Danendra berdecak kesal, matanya memicing. “Ck… sama anak sendiri perhitungan.”

“Kalau anaknya seperti kamu yang selalu membuat naik darah, ya, semuanya harus diperhitungkan,” pungkas Sanjaya.

“Baiklah. Dengan cara apa Danen harus membayar rekaman itu.” Demi meyakinkan diri bahwa wanita yang berada di dalam lift adalah wanita yang dia cari, Danendra terpaksa menyerah pada papanya.

“Besok pagi, datang kemari dengan pakaian yang rapi. Ikut Papa rapat tertutup dengan para pemegang saham.”

“Sip.” Danendra semringah, dua jempolnya melayang ke udara. “Sekarang ayo kita ke ruangan CCTV!” Satu-satunya pewaris utama SME TV itu bangkit dari duduknya.

“Eh… tidak semudah itu anak muda,” sergah Sanjaya.

“Maksud Papa.” Perasaan Danendra tidak enak.

“Rekaman itu akan kamu dapatkan setelah selesai rapat.” Senyuman di bibir Sanjaya nampak menyebalkan di mata Danendra.

“Tapi, Pa… Danen kan sudah setuju ikut rapat,” rajuk pria brewokan itu.

“Papa tidak mau ambil resiko. Bisa saja besok kamu ingkar janji setelah mendapat rekaman itu."

"Tidak, Pa. Danen tidak akan ingkar janji." Wajah Danendra memelas.

"Sudahlah, sekarang ayo kita pulang ke rumah Mama pasti sudah menunggu Papa.” Sanjaya bangkit dari kursi kebesarannya, merangkul pundak sang putra.

“Aku mau pulang ke apartemenku saja,” tolak Danendra.

“Kalau begitu perjanjian kita batal.” Sanjaya berlalu meninggalkan Danendra yang masih mematung.

“Papa. Tunggu!” Danendra berlari mengejar langkah Papanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status