Share

Bab 6

Keesokan paginya, Danendra benar-benar menuruti permintaan papanya untuk ikut rapat tertutup pemegang saham. Kedatangan Danendra ke perusahaan tentu menarik perhatian semua orang, terutama kaum hawa.

Jas berwarna navi senada dengan celana slim fit yang dia kenakan membuatnya terlihat berbeda juga sepatu pantofel hitam yang semakin membuat langkahnya terlihat gagah.

Danendra mengikat rambutnya ke belakang dengan rapi, brewok yang pagi ini ditata rapi semakin membuat aura maskulinnya keluar.

Berjalan beriringan dengan Sanjaya otomatis membuat setiap pasang mata menunduk hormat pada Danendra.

“Perkenalkan, dia putra saya, Danendra Sanjaya.” Sanjaya memperkenalkan Danendra di depan semua pemegang saham.

“Selamat pagi semuanya.” Danendra membungkukkan badannya, sebagai tanda hormat pada semua pemegang saham.

“Perkenalkan nama saya Danendra. Suatu kehormatan bagi saya karena diberi kesempatan untuk bergabung dengan orang-orang hebat seperti Anda semua," imbuh Danendra dibarengi dengan senyum yang menawan.

Bangga, itu yang Sanjaya rasakan. Dia tidak menyangka dibalik penampilannya yang urakan. Ternyata putranya masih mengedepankan sopan santun.

***

“Sekarang waktunya Papa menepati janji.” Danendra duduk di sofa ruangan papanya.

“Janji apa?” Sanjaya pura-pura lupa.

“Ck… Papa jangan sok pikun. Nanti pikun beneran, lho.”

“Iya… iya… Papa ingat,” ucap Sanjaya kesal lalu pria itu menghubungi seseorang. Mulut putranya itu kadang sulit dikondisikan.

Tidak beberapa lama terdengar pintu diketuk.

“Masuk!” titah Sanjaya.

“Bos memanggil saya.” Seorang pria berjas rapi masuk ke dalam ruangan.

“Ajak pria muda ini ke ruangan CCTV!”

“Pria muda. Putra… Pa… putra,” gerutu Danendra yang bangkit dari sofa.

“Kalau kamu sudah duduk di kursi ini baru Papa anggap putra,” kelakar pria setengah baya itu.

“Terserah Papa.” Danendra memasukkan tangannya ke kantong celana.

“Mari ikuti saya, Tuan Muda!”

Danendra mengekor di belakang pria yang bekerja sebagai asisten pribadi papanya itu. Keduanya pun sampai di ruangan CCTV.

“Tunjukkan rekaman CCTV yang Tuan Muda minta,” titah Anto–asisten pribadi Sanjaya– pada petugas CCTV.

“Baik, Pak Anto. Tuan Muda ingin melihat rekaman CCTV yang mana?” Petugas itu menatap kearah Danendra.

Danendra menatap tajam pada Anto. “Paman kenapa masih di sini?!”

“Maaf. Kalau begitu saya undur diri, Tuan Muda.”

Setelah Anto keluar dari ruangan itu. Pria berambut gondrong itu mendekat ke arah layar komputer. Tangannya bertumpu pada meja. “Tunjukkan padaku rekaman di lift lantai satu! Rekaman semalam. Kira-kira jam sepuluhan,” perintah Danendra.

Si petugas mengetikkan sesuatu di keyboard lalu menggeser cursor. Satu per satu rekaman diputar.

“Stop.” Bibir Danendra melengkung. “Kamu kenal siapa wanita ini?” tanya Danendra penasaran.

“Semua orang mengenalnya, Tuan Muda.” Si petugas tersenyum melihat wajah ayu yang ada di rekaman CCTV.

“Siapa memangnya dia?” Alis Danendra saling bertaut.

“Maharatu, artis cantik yang karirnya selalu bersinar.”

Saat menatap wajah si petugas, kepala Danendra bersungut-sungut karena melihat mata si petugas yang berbinar saat melihat wajah Maharatu.

“Ya, sudah! Sekarang kembali bekerja!” bentak putra Sanjaya pada si petugas.

“Ah… iya, Bos… eh Tuan Muda.”

Danendra mengetuk-ngetuk setir mobilnya. “Jadi dia artis.” Pria berusia 27 tahun itu memang baru beberapa bulan kembali ke Indonesia, wajar bila dia tidak mengenal Maharatu meskipun, wanita itu seorang artis.

Rasa penasaran semakin mengusik hati Danendra, dia mencari nomor di ponselnya lalu menghubungi seseorang.

“Hallo. Aku ingin informasi tentang Maharatu. Se…mu…a…nya! selengkap mungkin!” titah Danendra penuh penekan.

Setelah panggilan terputus, Danendra mencari di laman pencarian tentang Maharatu. Semua potret Maharatu dengan berbagai pose tersaji lengkap.

“Lebih cantik aslinya.” Danendra senyum-senyum sendiri sambil mengusap-usap dagunya.

***

Setelah minum obat yang diresepkan Dokter Frans, Ratu merasa lebih baik. Ratu memandang Sasa yang terlelap di sampingnya.

Ratu beringsut perlahan, dia butuh udara segar. Dan di sinilah Ratu berada, di rooftop apartemen. Udara dingin yang menusuk kulit membuat Ratu berjalan sembari menggosok-gosok lengannya. Mata bulatnya mencari-cari sesuatu.

“Ketemu.” Ratu mengambil tangga kecil di belakang penampungan air, menggunakannya untuk naik ke pembatas gedung.

Ratu duduk dengan kaki berayun-ayun. Keindahan lampu kota terlihat jelas dari atas sini. Sang artis menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk sebuah lingkaran lalu menempelkannya di mata kanan. Seolah dia sedang melihat menggunakan teropong.

Dia berfokus pada sebuah mall yang cukup besar. Di sana, empat belas tahun lalu. Sebelum mall itu dibangun ada banyak bedeng-bedeng persegi, berdinding papan dengan tambalan koran dimana-mana, berjajar rapi membentuk pemukiman kumuh.

“Bu, Ratu lapar.” Ratu kecil mengelus perutnya yang melilit.

Kadang Ratu tertawa geli saat Sandra minta dipanggil Mama hanya karena Ratu terjun di dunia entertain.

“Ibu nggak masak. Ayahmu nggak kasih uang!” sarkas Sandra.

“Tapi… Ratu sama Adek lapar, Bu.” Ratu memeluk Pangeran yang terus menangis kelaparan.

“Makanya bilang sama Ayahmu, cari kerja yang bener. Biar bisa ngasih kalian makan,” ujar Sandra yang sibuk dengan kuku-kukunya.

Namun, hari itu ayah Ratu pulang tanpa membawa apapun. Cinta pertamanya justru pulang dengan keadaan takberdaya. Rahman pulang dibopong teman-temannya sesama kuli. Dia mengalami kecelakaan kerja yang membuatnya harus duduk di kursi roda hingga saat ini.

Sandra memutar otak agar bisa makan. Bukannya mencari pekerjaan, dia justru menyuruh Ratu dan Pangeran mengamen di lampu merah. Seorang fotografer tanpa sengaja menangkap kecantikan Maharatu.

Bagai ketiban durian runtuh, Sandra begitu bahagia saat fotografer itu menawari Maharatu untuk menjadi model cilik.

Mulai hari itu Ratu hanya tahu bekerja dan bekerja. Semua hasil keringatnya dikuasai Sandra.

Ketamakan Sandra semakin menjadi tiga tahun lalu. Saat Maharatu mendapat peran pertamanya di sebuah film.

Saat itu Ratu menjadi salah satu pemain pendukung yang beradu akting langsung dengan Bagaskara. Berperan sebagai sepasang kekasih, mengharuskan Ratu beradegan mesra dengan Bagaskara.

“Aku suka ciumanmu,” bisik Bagaskara di sela-sela syuting yang membuat Ratu berkeringat dingin.

Ratu yang sebelumnya mendengar desas-desus bahwa Bagaskara senang bermain wanita mulai menjaga jarak.

Sadar, Ratu sengaja menjaga jarak dengannya membuat Bagaskara murka. “Jangan panggil aku Bagaskara bila mendapatkanmu saja tidak bisa, Ratu,” ancam Bagaskara dengan mata yang terus tertuju pada Ratu.

Seminggu setelah pembuatan film selesai, Sandra membawa kabar yang meruntuhkan dunia Maharatu.

“Bagaskara menginginkanmu, Ra.”

“Maksud Mama, apa?” Ratu tidak paham maksud perkataan mamanya.

“Bagaskara ingin kamu jadi simpanannya,” ujar Sandra to the point.

“Ratu nggak mau! Om Bagas itu sudah beristri, Ma!” tolak Ratu mentah-mentah.

“Dengar dan pikirkan baik-baik. Bagaskara bukan orang sembarangan di dunia entertain. Dia punya kuasa yang bisa melejitkan nama seseorang, tetapi juga bisa menenggelamkan nama seseorang dalam sekali kedip.

Jadi, bisa dipastikan karirmu akan tamat bila menolaknya,” tukas Sandra.

“Tidak apa-apa karirku tamat, Ma. Yang penting harga diriku tidak,” kata Ratu tegas.

“Ya … memang tidak masalah bila karirmu tamat. Tidak masalah sama sekali, Ratu! Tapi ingat satu hal. Bila karirmu benar-benar tamat.

Bersiaplah kembali ke tempat kumuh dan kelaparan. Dan lupakan semua pengobatan Ayahmu yang tidak berguna itu. Satu lagi, biarkan Pangeran sepertimu … tidak berpendidikan,” tukas Sandra yang geram dengan sikap sok idealis putrinya.

Pada akhirnya, Ratu menyerahkan dirinya pada Bagaskara. Menjadi istri simpanan. Bagi Ratu tidak masalah bila hidupnya hancur yang terpenting ayahnya bisa melanjutkan pengobatan dan adiknya –Pangeran– bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin.

Tiga tahun lalu selain Maharatu yang hancur, Rahman juga hancur. Pria itu harus menjabat tangan pria yang hanya terpaut usia enam tahun dengannya untuk menjadi suami siri putrinya.

“Maafkan, Ayahmu yang tidak berguna ini, Ra.” Rahman terisak di pelukkan putrinya.

Sementara, Pangeran menatap nanar pemandangan di depan matanya. Remaja itu mengepalkan tinju. “Pangeran berjanji suatu saat nanti akan membebaskan Kakak dari Bagaskara.”

***

Dengan gerakan pelan dan hati-hati, Ratu berdiri di pembatas gedung. Dia merentangkan tangan, menikmati dinginnya angin malam yang bertiup membelai tubuhnya dan menerbangkan rambut panjangnya. Tapi, tiba-tiba seseorang menarik tangannya hingga dia terjatuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status