Marisa menatap sinis pria yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun itu. “Aku penasaran. Seperti apa wanita simpananmu itu?
Apa dia sangat cantik? Atau sangat hebat di ranjang. Hingga seorang Bagaskara si penjelajah wanita ini,” Marisa memainkan jarinya di dada Bagaskara, “mampu bertahan sangat lama dengannya.” Gerakan jari Marisa terhenti karena Bagaskara mencengkramnya erat lalu mengibaskannya kasar. Kini giliran Bagaskara yang mencengkram dagu Marisa, lalu mendorong tubuh Marisa hingga menyentuh dinding kaca. Bagaskara menyeringai. “Lebih baik kamu tidak tau dan tidak mencari tau, Marisa!” Manik coklat Bagaskara begitu mengintimidasi. “Atau… kubuat bocah ingusan yang kamu pelihara itu lenyap seketika dari dunia entertain. Kudengar dia sedang merangkak di industri yang kukuasai ini.” Bagaskara melepas cengkramannya dengan kasar. Marisa memegangi rahangnya yang terasa sakit. “Sial! Dari mana dia tau tentang Julian,” geram Marisa. Pernikahan Bagaskara dan Marisa memang sudah tidak sehat sedari awal. Tujuan keduanya menikah dua puluh tahun hanya untuk mendongkrak karir masing-masing. Bagaskara di dunia akting, sementara Marisa di dunia permodelan. Di depan semua orang dan putri semata wayang mereka –Hanum Pramesti– keduanya adalah couple goal. Tapi, dibalik layar keduanya sama saja. Sama-sama pemain handal. Seperti saat ini, Marisa tengah menjalin hubungan dengan salah satu model di agensinya, Julian, pria yang lebih muda 14 tahun dari Marisa. Dan entah, Julian lelaki keberapa yang dijadikan penghangat ranjang Marisa. *** “Ini beneran kamu, Sayang!” Dahlia menangkup pipi putranya. Matanya berkali-kali mengerjap. Pemandangan di depannya sungguh luar biasa. “Masa, sih, Mama lupa dengan wajah anak sendiri,” kata Danendra kesal. “Habisnya kamu tampan sekali,” puji Dahlia. Wanita yang masih cantik di usia lima puluh tahun itu memiringkan wajah Danendra ke kanan dan kiri. Sedangkan yang punya wajah hanya manut saja. Melihat perlakuan Dahlia pada Danendra, Sanjaya mencebik. “Pasti ada udang dibalik bakwan,” tebak Sanjaya kepo. “Enak, dong, Pa,” balas Danendra. “Harusnya Mama curiga sama dia. Tiba-tiba saja membuang rambut gondrong dan brewok ikoniknya,” cibir Sanjaya yang duduk di kursi utama meja makan. “Mungkin saja Danen sudah bosan dengan model rambut itu jadi ganti model rambut, ya ‘kan, Sayang. Lagipula anak mama lebih tampan dengan gaya rambut undercut seperti ini.” Dahlia mencubit gemas pipi Danendra. “Ish, Mama apa-apaan, sih! Danen bukan anak lima tahun lagi.” Danendra mengusap pipinya, kesal. “Tanpa brewok, wajahmu persis Papa waktu muda. Iya ‘kan, Pa.” Dahlia tersenyum pada Sanjaya. “Gantengan, Papa kemana-mana.” Sanjaya menyugar rambutnya ke belakang layaknya anak muda. Suara sendok dan piring yang beradu sudah senyap di meja makan. Keluarga bahagia itu sudah menyelesaikan makan malam mereka. “Danen mau bekerja!” “Apa?!” teriak Dahlia dan Sanjaya bersamaan. Dahlia bahkan menyentuh kening putranya. “Danen serius, Pa… Ma!” “Alhamdulillah,” ucap Dahlia mengelus dada. “Jadi kapan kamu mulai datang ke perusahaan. Besok?!” tanya Sanjaya sembari menyeruput kopi favorit buatan sang istri. “Danen mau kerja diluar dulu,” ungkap Danen. “Diluar,” beo Dahlia, “maksud kamu apa?!” Pikiran putranya itu memang selalu di luar ekspektasi. Di dalam kamar Dahlia mondar-mandir seperti orang bingung. Sanjaya yang bersandar di headboard ranjang sambil membaca buku, melepas kaca matanya, meletakkannya di meja samping ranjang, bersama bukunya. “Mama ini kenapa, sih? Mondar-mandir terus dari tadi?” “Papa kenapa ijinin, sih, Danen kerja di luar perusahaan kita,” protes Dahlia pada suaminya. “Seperti kata Danen tadi. Dia perlu pengalaman sebelum mengambil alih perusahaan.” Sanjaya mencoba memberi pengertian pada Istrinya. “Kemarilah!” Sanjaya beringsut memberi ruang pada Dahlia di sebelahnya. Dahlia menurut meski dengan wajah cemberut. “Dia mau kerja apa di luar sana?” “Ma….” Sanjaya merangkul pundak istrinya, “Danen itu laki-laki, pengalaman di luar sana begitu penting baginya. Di sana, Danen pasti akan belajar banyak hal dan mendapatkan banyak pengalaman hidup yang akan menempanya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Anggap saja ini suatu proses pendewasaan baginya. Tugas kita sebagai orang tua hanya mendukung dan mengawasinya dari jauh. Mengerti!” Dahlia mengangguk. “Sekarang, ayo kita tidur!” Sanjaya mengecup kening Dahlia lalu merebahkan tubuh wanita yang sudah menemaninya hampir tiga puluh tahun itu di sampingnya. Di kamar bernuansa hitam, Danendra duduk di depan kanvasnya menghadap ke jendela. Bulan bersinar terang di luar sana. Jari-jari Danendra lincah menggores kuas di atas kanvas. Seorang wanita yang menyelipkan anak rambut ke belakang terlihat sangat cantik. Meskipun manik coklatnya tidak bersinar. Tatapan si wanita tampak sayu, Danendra seakan tenggelam dalam kesedihan saat menatap lukisannya sendiri. Kalung berliontin merpati bertengger indah di leher si wanita yang penuh lebam. “Maharatu.” Danendra memejamkan matanya, menghirup pengharum ruangan beraroma mawar, sesuai permintaannya pada sang Mama. Membayangkan sosok yang dia lukis hadir di sisinya. Membelai wajahnya, lalu mengecup lembut bibirnya. “Aku bisa gila karenamu, Maharatu,” rutuknya pada diri sendiri. *** Ratu bercermin di depan kaca. Memperhatikan pipi dan lehernya. Benar kata Dokter Frans, salep pemberiannya benar-benar mujarab. Hanya dalam kurun waktu dua hari, lebam di pipi dan lehernya memudar. Wanita berhidung lancip itu merasa ada yang hilang dari dirinya. Tapi, apa? Dia meraba lehernya. Ah, iya! Kalung. Dimana kalungnya? Ratu mulai mencari ke seluruh penjuru kamar. Mulai dari ruang wardrop, laci, kamar mandi, bahkan di ranjangnya. “Rugi kalau sampai hilang. Harganya, kan mahal.” “Cari apa, sih, Ra?” tanya Sasa yang masuk ke kamar. “Kalung… kamu lihat nggak.” Ratu berkacak pinggang. “Tidak. Memangnya kamu taruh mana?” Sasa ikut menyisir penjuru kamar. “Kalau aku ingat, pasti saat ini aku tidak kebingungan mencarinya.” Bibir Ratu mengerucut. “Dasar ceroboh,” dengkus Sasa. Ratu terduduk lesu. “Apa jangan-jangan jatuh di hotel, malam itu, ya?!” “Tapi….” Sasa mengetuk-ngetuk dagunya, “Kalau aku ingat-ingat sejak kejadian itu kamu sepertinya sudah tidak memakainya, Ra.” “Benarkah?! Rugi, dong, aku!” keluh Ratu. “Apa kita hotel itu. Kita cari kalungnya di sana. Mumpung kamu juga lagi libur nggak kerja,” usul Sasa. Mata Ratu mendelik. “Mau cari mati! Setelah kejadian itu, aku yakin… Mas Bagas pasti menaruh seseorang di dekat sini untuk mengawasiku.” “Ya udah beli lagi aja.” Sasa memberikan opsi kedua. “Masalahnya itu kalung custom, harus pesan dulu dan membutuhkan waktu lama. Terutama liontin merpatinya,” jelas Ratu. “Kenapa harus merpati, sih, Ra?” tanya Sasa penasaran. Ratu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, lalu mendesah pelan. Dia memandang ornamen langit-langit kamarnya. “Merpati… dia memang bisa terbang kemanapun yang dia mau, tetapi pada akhirnya dia harus kembali ke rumah pemiliknya dan terkekang selamanya di sana. Sampai mati. Seperti aku… aku bebas pergi kemanapun namun sama seperti merpati, aku akan selalu kembali ke cengkraman tangan Mas Bagas. Terkekang selamanya.” Sasa menarik tangan Ratu agar bangkit dari tidurnya. “Udah nggak usah sedih-sedih. Kita makan, yuk! Aku bikin chicken wings ekstra pedas kesukaanmu.” Dengan malas Ratu mengekor di belakang Sasa. “Hem… enak banget, Sa. Sumpah! Ajarin aku masak, ya, kapan-kapan!” Ratu mengiba. “Nggak mau! Nanti aku dimarahi mamamu kalau sampai tubuh putihmu kena cipratan minyak!” tolak Sasa mentah-mentah. Bibir Ratu mencebik. “Nggak asik, kamu!” “Bau apa ini? Sepertinya lezat.” Suara bariton Bagaskara membuat Ratu dan Sasa menoleh bersamaan. Gegas Maharatu mencuci tangannya lalu berhambur ke pelukan Bagaskara. “Mas sudah kembali?” Ya, Ratu harus pintar mengambil hati suaminya kalau tidak ingin babak belur lagi. “Mas merindukanmu. Bibirmu sudah sembuh?” Bagaskara mendongakkan dagu Maharatu, menyentuh sudut bibir istrinya lembut, lalu menciumnya sekilas. “Sudah.” Tangan Maharatu masih melingkar di pinggang Bagaskara, mendapati sosok asing yang berdiri di belakang Bagaskara. Ratu memiringkan kepalanya. “Dia siapa, Mas?”Pertanyaan Maharatu membuat Bagaskara menoleh ke belakang. “Oh, dia. Kemarilah, Ndra!” Pria asing itu mendekat ke arah Bagaskara. “Kenalkan namanya Endra. Dia sopir baru sekaligus pengawal pribadi untukmu,” jelas Bagaskara pada Ratu.Hati Ratu mencelos seketika, tidak menyangka Bagaskara akan bertindak sejauh ini. Menempatkan pengawal khusus untuknya. Tanpa pengawal saja dia sudah merasa sesak. Apalagi dengan pengawal. Seandainya bisa, Ratu ingin berteriak sekencang kencangnya.“Ratu nggak butuh pengawal Mas,” rengek Ratu.“Jangan membantah, Ra!” Bagaskara menatap Ratu tajam. “Sa,” panggil Bagas pada Sasa yang masih mematung di tempatnya.“Iya… Om.” Sasa mendekat. “Kamu masih ingat kode unit sebelah, ‘kan?”“Masih, Om.” “Ajak Endra kesana! Mulai sekarang, Endra akan menempati unit itu!” “Siap Om!”Bagaskara menatap ke arah Endra. “Ndra, kamu ikuti, Sasa!”“Baik, Tuan.” Endra mengangguk patuh, tapi tangannya mengepal erat.“Mas ngantuk. Tadi dari bandara, Mas langsung kemari. Kamu
Hanum berteriak histeris melihat kedatangan Maharatu. “Kak Maharatu!” Hanum menutup mulutnya sesekali memandang ke arah Papanya, seolah tidak percaya idolanya ada di sini. Dia bahkan berlonjak kegirangan seperti anak kecil. Sementara, Maharatu bingung dengan situasi di ruangan itu. Dia menatap Bagaskara, minta penjelasan. Ekor mata Bagaskara melirik ke arah Hanum, memberi kode pada Maharatu agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi.“Hai, Hanum. Happy birthday.” Ratu memeluk Hanum erat.“Aku masih tidak percaya Kak Ratu ada di sini.” Terlihat jelas binar bahagia di mata remaja itu. “Papa benar-benar mengabulkan permintaanku,” sorak Hanum.Jadi ini tujuan Bagaskara mengajaknya makan malam di luar. Menyenangkan putri semata wayangnya. Maharatu tersenyum miris.Akan tetapi, dengan cepat bibir Ratu tersenyum selebar mungkin lalu memegang bahu Hanum lembut. “Om Bagas yang memintaku datang. Katanya putri cantiknya sedang berulang tahun.”“Terima kasih sudah datang Kak Ratu. Ayo duduk d
Ratu masih menangis sesenggukan di lantai. Dia menyandarkan tubuhnya di ranjang. “Mama rindu kamu, Sayang. Seandainya kamu masih ada.” Artis cantik itu hanya bisa mendekap foto USG hitam putih di dadanya. Dia meraih tas kecil di atas nakas karena suara ponsel yang terus berdering. “Pangeran,” gumam Ratu. Dia mengusap pipinya, menghentikan tangisnya, lalu menggeser ikon hijau di layar ponsel.“Hallo, Pangeran.” Kemampuan aktingnya kadang memang berguna di kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti saat ini. Suara Ratu terdengar ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, sedetik sebelumnya dia menangis histeris.“Hallo, Kak … Kak besok aku dan Ayah pulang,” tutur Pangeran yang terdengar bersemangat.“Benarkah! Bagaimana dengan terapi Ayah?” “Terapi Ayah berjalan dengan baik, Kak.”“Syukurlah,” ucap Maharatu lega.“Kami merindukan, Kakak.”“Kakak juga merindukan kalian.” “Kakak ingin berbicara dengan Ayah?” tanya Pangeran dari seberang sana.“Boleh,” ucap Maharatu.“Hallo, putri aya
“Ayah!” Ratu berhambur kepelukan Rahman. Bahkan karena bahagia Ratu tak kuasa menahan air matanya. Meski belum sepenuhnya sembuh, Rahman yang sudah bisa berdiri dengan tongkat membuat Ratu sangat bahagia. Bagaimana tidak, selama empat belas tahun ayahnya hanya bisa duduk di kursi roda. Tapi kini, pria itu sudah bisa berdiri dan berjalan.Rahman mengurai pelukan putrinya, membelai lembut rambut Maharatu. “Kenapa menangis? Kamu tidak suka Ayah sembuh?” canda Rahman.“Justru Ratu menangis karena bahagia.” Ratu kembali memeluk ayahnya.“Terima kasih, ya, Sayang. Karena kamu Ayah bisa berdiri lagi,” ucap Rahman mengusap punggung Ratu.“Kenapa bilang seperti itu. Seharusnya Ratu yang berterima kasih karena Ayah sudah berusaha untuk sembuh.” Ratu masih terus terisak.“Kok, cuma pelukan berdua. Aku nggak diajak,” protes Pangeran.“Sini!” Ratu melambaikan tangannya.Mereka bertiga berpelukan. Pelayan yang sedari tadi berdiri di sana ikut meneteskan air mata. Karena dia tahu bagaimana perjuang
"Cincin ini juga asli, Ra." Sasa mengamati cincin pemberian dari fans Ratu."Udah! Nggak usah dibahas lagi, Sa. Pokoknya selama ni orang nggak aneh-aneh, nggak usah diambil pusing." Ratu mengambil cincin bermata putih itu dari tangan Sasa lalu memasukkannya kembali ke dalam kotak. Entah mengapa perasaan Sasa tidak enak tentang orang yang menyebut dirinya 'pengagummu' ini.“Malam ini kita pulang ke apartemen, Ndra,” kata Ratu pada Endra setelah mengantarkan Sasa pulang.“Baik, Non.”Ratu mengangkat ponselnya yang berdering. “Hallo, Mas.” Ratu menerima telpon dari Bagas, tapi menurut Endra ada yang aneh dengan ekspresi nonanya. Karena, nonanya hanya menatap kosong ke luar mobil. Dan menyahut setiap perkataan suaminya tanpa ekspresi.“Sebentar lagi, Ratu sampai.” Endra diam-diam terus memperhatikan gerak-gerik Ratu dari rear-vision mirror. Nonanya terlihat seperti menahan sesuatu yang berat. Terbukti setelah menutup panggilan dari Bagaskara, nonanya beberapa kali menghembuskan napas d
“Wah, gila. Bagus juga apartemen yang kamu tempati, Danen,” puji Nick setelah masuk ke dalam unit Endra. Endra alias Danendra geram bukan main pada Nick, bisa-bisanya sahabatnya itu datang kemari. Saking geramnya Danendra memukul kepala Nick. “Ngapain kamu ke sini, Dodol!” “Aduh, sakit, anjing!” umpat Nick memegangi kepala bagian belakang. “Salah sendiri cari gara-gara.” “Cari gara-gara?!” Nick tersenyum kecut lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa ruang tamu. “Apa mengunjungi sahabat itu cari gara-gara?” “Kalau kamu mengunjungiku di rumah atau di apartemenku sendiri jelas tidak. Tapi, kamu … mengunjungiku di sini, Nick.” “Apa bedanya?” “Jelas beda, ini tempat Bagaskara. Bisa gawat kalau dia melihatmu di sini.” “Dia nggak akan ke sini karena dia sedang mengarungi indahnya surga dunia di unit sebelah.” Nick menaik-turunkan alisnya. “Sok tau,” dengkus Danendra. Membayangkan Bagaskara mencumbu Maharatu, darah Danendra mendidih. Mungkinkah dia cemburu. Danendra i
“Jadi itu, arti dari liontin merpati di kalungmu, Ra,” gumam Danendra yang berlalu dari sisi pintu. Sasa mengurai pelukannya dari Ratu. “Kali ini karena apa Om Bagaskara sampai memukulimu lagi?” “Dia salah paham. Si pengagum itu mengirimkan sebuket mawar merah beserta kartu ucapan yang memintaku menikah dengannya.” Ratu membersihkan wajahnya dengan tisu karena Sasa harus melanjutkan riasannya yang tertunda. “Kamu, sih, susah dibilangin. Aku kan sudah bilang, kamu harus ngomong sama Om Bagaskara tentang fansmu yang satu ini.” Sasa mulai memoles kembali wajah Ratu. “Aku kira dia cuma fans biasa.” “Kalau fans biasa nggak mungkin dia akan nguntit kemanapun kamu pergi, Ra.” Sasa memegang dagu Ratu, memiringkan wajah Ratu ke kiri dan kanan, memastikan riasannya sempurna dan menutupi bekas luka di sudut bibir Ratu. “Kali ini aku salah. Maaf, ya, Sa.” Wajah mengiba ala Maharatu membuat Sasa luluh. “Hem... Ya udah berangkat, yuk! Kasian Endra udah nunggu lama di ruang tamu,” ka
“Kok kamu ada di sini, sih, Nick. Nyusup, ya,” cibir Danendra yang menunjuk wajah tampan kebule-bulean Nicholas.“Mulutmu, Danen. Pedes kaya cabe. Asal kamu tau, aku ini salah satu tamu istimewa di sini,” ucap Nick menyombongkan diri. “Nggak percaya.” Lagi-lagi Danendra meremehkan sahabatnya.“Serah,” kata Nick kesal. Detik berikutnya pria berwajah bule itu memiliki ide untuk menjahili Danendra. “Bartender di sini memang pandai kalau urusan meracik minuman.” Sengaja Nick meneguk Taquela double sot tepat di dekat telinga Danendra.“Fuck you, Nick,” maki Danendra. Pasti Nick sengaja melakukannya. Pria di sampingnya ini tahu itu minuman favoritnya.“Gila emang seger, nih, minuman.” Nick semakin menjadi. Dia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi di hadapan Danendra.Lebih baik Danendra membuang muka untuk menghindari ledekan Nick yang semakin menjadi.“Pantas kamu sampai rela menyamar. Maharatu memang sangat cantik.” Selama ini Nick hanya melihat kecantikan Maharatu dari televisi, media sos