Share

Bab 7

Danendra berkacak pinggang di dalam apartemen tipe studio yang baru dibelinya.

“Pindah lagi … pindah lagi,” gerutunya.

Terpaksa pria itu pindah apartemen karena kedua orang tuanya sudah tahu letak bahkan kode apartemen lamanya.

Dia ingin hidup bebas tanpa kekangan seperti saat berada di luar negeri.

Danendra mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Kalung berliontin merpati. “Kenapa harus merpati.” Kalung itu berkilau di antara jari telunjuk dan tengah.

Danendra memasukkan kalung itu pada kotak beludru kecil yang sengaja dia beli siang tadi. Lalu, menyimpannya di ruang wardrop.

***

Menghisap sebatang rokok dengan tangan kanan, sementara buku gambar dan pensil di tangan kiri, Danendra menapaki satu per satu anak tangga darurat menuju rooftop.

Bagi Danendra di tempat tertinggi itu, inspirasi untuk melukis mudah muncul. Meski, sejujurnya beberapa hari ini inspirasinya adalah Maharatu. Wajah ayu Maharatu bahkan memenuhi semua kanvas miliknya.

Sampai di rooftop, mata Danendra membola. Siluet seorang wanita terlihat di atas pembatas gedung. Wanita itu merentangkan kedua tangannya.

Minimnya pencahayaan ditambah rambut si wanita yang beterbangan membuat Danendra tidak bisa melihat wajah si wanita.

“Sial! Apa dia mau bunuh diri.” Danendra melempar puntung rokoknya asal begitupun buku gambar dan pensilnya. Secepat mungkin pria gondrong itu berlari lalu menarik tangan si wanita.

Wanita itu jatuh tepat di dada bidang Danendra, aroma mawar membuat Danendra memejamkan mata sesaat. Tangan Danendra dengan lancang menyibak rambut yang menutupi wajah si wanita.

Perlahan si wanita menunjukkan wajahnya. Senyum Danendra terkembang. Inikah yang dinamakan keberuntungan atau mungkin takdir, batinnya.

“Dasar pria gila.” Makian Maharatu membuat mata Danendra mengerjap.

Sadar kalau saat ini posisinya berada di atas tubuh pria asing, Ratu buru-buru bangkit.

“Hei, Nona! Bukankah seharusnya Anda berterima kasih padaku. Karena mencegahmu berbuat dosa.” Danendra berdiri, menepuk bagian belakangnya yang kotor.

Ratu menatap pria di depannya nyalang. “Ck… berbuat dosa katamu!”

“Ya… bukankah bunuh diri itu dosa,” tebak Danendra sok tahu.

Ratu bersedekap dada, lalu memutar bola matanya. “Hanya karena berdiri di sana, bukan berarti aku mau bunuh diri, Tuan,” geram Ratu.

Ratu memicing, mendekatkan wajahnya pada Danendra. “Wajahmu... sepertinya tidak asing. Oh, ya, aku ingat sekarang. Kamu—!” Tunjuk Ratu dengan mata memerah. “Pria brengsek itu, kan?!

Pria yang membawaku ke hotel. Dan dengan lancang meninggalkan ini.” Tangan Ratu menyibak rambutnya, menunjukkan tanda di lehernya.

Mata Danendra terbelalak, bukan karena tanda yang dia tinggalkan. Melainkan, bekas keunguan yang lain. Dapat Danendra pastikan itu bukan bekas tanda cinta. Melainkan lebih pada bekas cengkraman tangan.

“Lehermu … kenapa?” Ada rasa nyeri yang merambat di dada Danendra saat melihat luka itu. Tangannya terulur ingin menyentuh Maharatu.

Ratu mundur. “Menjauh dariku!” hardik Ratu, “apa kamu tau, Tuan, karena kebrengsekanmu. Aku ….” Telunjuk Ratu mengarah pada dirinya sendiri. “Aku hampir mati!” teriak Ratu. Air matanya kembali beranak-pinak.

Setiap kata yang keluar dari bibir perempuan di hadapannya membuat dada Danendra terasa sesak. Terutama kata ‘mati’. “Maafkan aku Nona … aku tidak bermaksud seperti itu. Aku kira Anda ….”

“Perempuan murahan,” sela Ratu yang kemudian memalingkan muka kemudian mengangguk. “Pemikiran semua pria memang picik. Melihat wanita di klub langsung menyimpulkan bahwa wanita itu murahan.

Bisa dibawa dan ditiduri dengan begitu mudah,” alis Ratu terangkat, “menjijikkan. Cuih….” Wanita berkulit putih itu beranjak meninggalkan Danendra.

“Tunggu, Nona!”

Danendra mencekal pergelangan tangan Ratu, membuat wanita itu berbalik arah.

Ratu menatap Danendra penuh amarah dan kebencian.

“Aku ….” Perkataan Danendra terjeda, dari jarak sedekat ini Danendra menyadari sesuatu. Sudut bibir Ratu bengkak, pipinya juga membiru.

“Lepas!” Ratu meronta.

“Nona, apa yang terjadi padamu. Kenapa wajah dan lehermu penuh luka?” Danendra benar-benar khawatir.

Ratu tersenyum tipis. “Itu … bukan urusanmu.” Ratu menendang pangkal paha Danendra, meluapkan amarahnya.

Tindakan Ratu membuat Danendra melepaskan cekalan tangannya. Kini pria itu meringis kesakitan dan memegangi pangkal pahanya.

“Itu bahkan belum seberapa dibandingkan dengan apa yang aku alami karena tingkah brengsekmu, Tuan.

Dan kuharap kita tidak akan pernah bertemu lagi,” ujar Ratu yang berlalu begitu saja. Tanpa memperdulikan Danendra yang meringis kesakitan.

***

Tangan Danendra bertumpu pada teralis balkon apartemennya. “Jadi dia tinggal di sini.” Gelas berisi wine terus Danendra putar. “Kenapa wajahnya penuh luka lebam?

Siapa yang melakukannya? Dan kenapa cecunguk itu lama sekali mendapatkan informasi tentang Maharatu?” Berbagai pertanyaan berlarian di benak Danendra.

Apalagi setelah melihat luka di tubuh wanita yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu. Pikiran Danendra semakin kacau.

Notifikasi email masuk di ponsel Danendra seakan membawa angin segar. Namun dahi Danendra berkerut setelah membaca informasi yang dikirim Nick. Segera Danendra menghubungi Nick yang mengirim email padanya.

“Kalau kamu bisa membuatku dekat dengannya, si hitam jadi milikmu,” ucap Danendra.

Si hitam yang Danendra maksud adalah Kawasaki ZX-25R varian standard dengan harga Rp101,2 juta.

“Deal,” jawab Nick mantab.

***

Maharatu menutup pintu kamarnya perlahan. Dia tidak ingin membangunkan Sasa yang kelelahan karena seharian merawatnya.

Mulai dari memanggil Dokter Frans, membantunya minum obat, dan memasak bubur untuknya. Karena, Maharatu memang tidak bisa memasak.

"Apa mungkin dia juga tinggal di sini." Maharatu teringat dengan pria yang dia temui di rooftop tadi. Pria yang sama, yang membuatnya hampir mati di tangan suaminya.

“Dari mana, Ra?” Sasa beringsut, bersandar di headboard ranjang sambil mengucek mata.

“Astaga! Kamu mengagetkanku.” Ratu terjingkat hingga mengelus dadanya. “Cari udara segar.” Artis cantik itu menyibak selimut lalu berbaring di sisi Sasa.

“Ra….” panggil Sasa pelan.

“Ya….” Ratu menatap manik Sasa.

“Boleh tanya sesuatu?!”

“Tentang ini,” tebak Ratu menunjuk sudut bibir dan lehernya secara bergantian, “dan ini.”

“He…em.” Asisten Ratu mengangguk.

Ratu menarik napas dalam-dalam. “Biasa, Mas Bagas marah,” ujar Ratu.

“Marah?!” Sasa langsung menghadap ke arah Ratu.

“Ya… gara-gara ini.” Ratu menyibak rambutnya. Menunjukkan tanda cinta pembawa bencana.

“Bukannya kamu bilang, itu perbuatan Om Bagas.” Sasa nampak kebingungan.

“Aku berbohong,” kata Ratu lalu menceritakan petaka klub X yang membuatnya babak belur di tangan Bagaskara.

“Ya, ampun, Ra.” Sasa memeluk tubuh Maharatu. “Aku yakin seandainya kisahmu difilmkan pasti para emak-emak nangis bombai.” Isakan Sasa terdengar nyaring di telinga Ratu.

“Makanya tidak usah difilmkan.” Ratu mengusap punggung Sasa lembut. “Makasih, ya, Sa, sudah mau jadi asisten, manajer, dan teman untukku,” ucap Ratu tulus.

Di sela pelukan haru biru antara Maharatu dan Sasa, nada dering khusus di ponsel Ratu berbunyi.

“Ratu sudah enakan, Mas.”

“Iya, Ratu akan minum obatnya sampai habis.”

“Have fun.”

“Om, Bagas?” tanya Sasa.

Ratu mengerucutkan bibirnya dan mengangguk. “Iya. Tidur, yuk!” Ratu membaringkan tubuhnya diikuti Sasa.

***

Singapura,

Setelah menuruti permintaan Hanum jalan-jalan, Bagaskara dan Marisa masuk ke kamar mereka.

Marisa duduk di depan meja rias, menghapus riasan di wajahnya. Sementara, Bagaskara pergi ke balkon, menghubungi seseorang.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Jangan lupa minum obatmu!”

“Aku tutup teleponnya.”

Saat akan masuk kedalam, Bagaskara sedikit terkejut dengan kehadiran Marisa di belakangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status