Share

Bab 5

Amarah dan hasrat yang sudah tersalurkan membuat Bagaskara lega. Pria itu menjatuhkan tubuhnya di samping Ratu.

“Sekarang aku percaya, dia tidak menyentuhmu. Tidurlah! Aku akan mentransfer uang ke rekeningmu. Gunakan untuk mengobati luka-luka ini.”

Ratu berdesis saat Bagaskara menyentuh ujung bibirnya. “Shh....” perih langsung menjalar ke seluruh tubuh.

Bagaskara menarik tubuh Ratu ke dalam pelukannya, mencium sudut bibir Maharatu yang membiru lalu menyelimuti tubuh keduanya.

Sinar matahari pagi sudah menembus tirai yang berkibar tertiup angin, menyilaukan pandangan wanita yang masih bergelung di dalam selimut itu. Tulang-tulang di tubuh Ratu seakan ingin terlepas satu per satu. Sungguh, badannya sakit semua. Belum lagi, kepalanya juga terasa pusing.

Melihat matahari yang sudah meninggi, Ratu begitu panik, hari ini dia ada syuting seharian penuh. Ratu menyibak selimutnya, tergesa-gesa.

“Aku terlambat,” rutuk Ratu. Kakinya baru akan menapaki lantai saat suara Bagaskara menghentikan gerakannya.

“Mau kemana?” tanya Bagaskara yang sudah terlihat rapi dengan kemeja putih yang digulung sebatas lengan, menunjukkan lengan berototnya, bawahan berbahan denim membuat pria itu terlihat awet muda.

Ya, harus diakui memang. Meski sudah berkepala empat, artis senior itu masih terlihat tampan dan gagah. Jadi, tidak heran banyak wanita yang masih mendambakannya.

Suara Bagaskara membuat Maharatu kembali menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Bagaskara membawa nampan di tangannya. “Syu–syuting.” Ratu mencengkram erat selimutnya.

Bagaskara mendekat ke arah istri simpanannya, lalu duduk di tepi ranjang. Segelas air putih dan roti bakar dia letakkan di atas meja rias. Helaan napas berat keluar dari hidung mancungnya.

“Hari ini tidak usah kerja dulu. Istirahatlah di rumah. Kamu demam!” titah Bagaskara.

Ratu menempelkan tangannya di dahi. Panas. “Tapi… kata Om Bondan hari ini kami—”

“Aku sudah menyuruhnya untuk memundurkan jadwal syuting,” potong Bagaskara yang menyodorkan roti pada Ratu.

Memang seberkuasa itu Bagaskara. Hingga sutradara sekelas Bondan saja patuh pada perintahnya.

“Setelah makan, minum obatmu. Sebentar lagi Sasa akan datang ke sini untuk merawatmu, karena aku harus kembali ke Singapura. Hanum akan curiga bila aku terlalu lama meninggalkannya,” lanjut Bagas yang berdiri di depan cermin sembari memakai jam tangan.

Ratu mengangguk patuh, roti bakar berlapis selai coklat pemberian Bagaskara terasa sangat sulit untuk dia telan.

Melihat Maharatu memakan roti buatannya, Bagaskara mengulas senyum tipis. “Bagus, aku suka gadis penurut sepertimu.” Bagas mengacak rambut Ratu pelan. Jari Bagas menyentuh sudut bibir Ratu yang membiru.

“Kamu tau… bibir ini membuatku candu. Tapi, kamu malah membuatku melukainya,” lanjut pria itu.

“Maaf!” Terdengar isakan kecil dari bibir Maharatu.

“Kali ini aku memaafkanmu. Tapi tidak di lain hari. Ingat itu!” Setiap kata yang keluar dari mulut Bagas penuh penekanan dan peringatan.

“Ratu janji tidak akan membuat kesalahan lagi.” Ratu mengangguk dan menunduk sangat dalam, tangannya meremas kuat-kuat roti yang dia pegang.

“Pintar. Jadilah perempuan penurut maka semua yang ada di hidupmu akan baik-baik saja. Baik itu kariermu, uangmu, ataupun keluargamu.

Aku harus pergi sekarang. Penerbanganku satu jam lagi. Jaga dirimu baik-baik!” Bagaskara melumat bibir Maharatu sebelum pergi.

“Hati-hati!” lirih Maharatu yang terus menunduk, tidak berani menatap wajah suaminya. Rasa perih menjalari bibir tipisnya karena luka semalam ditambah lumatan kasar dari Bagaskara.

Saat akan pergi Bagaskara berpapasan dengan Sasa di luar apartemen.

“Selamat pagi, Om,” sapa Sasa.

“Pagi! Baguslah kamu sudah datang, Sa. Pastikan, Ratu meminum obatnya dan tolong jaga dia selama aku pergi!” Bagas menginterupsi Sasa.

“Baik, Om.” Sasa mengangguk. Di telepon Bagaskara memang bilang pada Sasa kalau Ratu demam.

“Dari dulu, kamu memang selalu bisa diandalkan,” puji Bagaskara yang menepuk pundak Sasa.

***

Sasa masuk ke kamar Maharatu. “Astaga, Ra!” Sasa panik saat mendapati Ratu menggigil kedinginan di balik selimut yang menutupi seluruh tubuh dan hanya menampakkan mata bulatnya saja.

Sasa menyentuh kening Ratu. “Badanmu panas sekali, Ra. Kita ke rumah sakit, ya.”

“Tidak usah,” tolak Ratu dengan suara yang lirih.

“Jangan keras kepala, Ra. Aku takut kamu kenapa-napa.”

“Kamu mau, mereka melihat ini.” Ratu menyibak selimutnya, memperlihatkan bekas cekikan di leher dan pipinya yang membiru.

“Astaga, Ratu!” Mata Sasa membola, wanita berambut pirang itu membekap mulutnya karena melihat bekas telapak tangan di leher Ratu. Sudut bibir artisnya itu juga terlihat membiru.

“Panggil Dokter Frans saja!” pinta Ratu.

Dokter Frans, dokter pribadi Bagaskara, yang biasa merawat bekas luka kdrt yang dialami Ratu.

Langsung Sasa menghubungi Dokter Frans.

“Bagas benar-benar keterlaluan,” geram Dokter Frans saat melihat kondisi Ratu yang memprihatinkan.

“Kenapa kamu diam saja saat dijadikan samsak hidup, Ra…!” imbuh Dokter Frans yang memeriksa Maharatu.

“Lalu saya harus bagaimana, Dok?” Ratu memaksakan diri untuk tersenyum. “Dokter tau sendiri bukan. Melawan Mas Bagas sama saja dengan bunuh diri,” imbuh Ratu.

Dokter Frans membuang napas. “Aku sudah meresepkan beberapa obat dan vitamin. Untuk luka-lukamu aku juga sudah meresepkan salep khusus, oleskan secara teratur. Selang dua atau tiga hari, lebamnya akan berangsur hilang.”

“Siap, Dok!”

Dokter Frans geleng-geleng kepala. Dalam kondisi yang seperti ini pun, wanita muda di depannya masih bisa tersenyum.

“Bagaimana keadaan Ratu, Dok?” cecar Sasa ketika Dokter Frans keluar dari kamar.

“Tebus resep ini ke apotek terdekat. Pastikan dia meminum obatnya secara teratur. Sepertinya bukan hanya fisiknya saja yang lelah. Mentalnya juga.” Panjang lebar Dokter menjelaskan pada Sasa.

“Entah kesalahan apa yang Ratu perbuat sampai Om Bagaskara semurka itu.” Sasa menatap pintu kamar Ratu.

Dokter Frans duduk di sofa ruang tamu diikuti Sasa. “Kita berdua sama-sama mengenal Bagaskara cukup lama, Sa. Dari dulu dia memang suka bermain wanita. Tapi, ya itu… tidak pernah bertahan lama karena pria itu gampang bosan.

Kukira tiga tahun lalu, saat dia menginginkan Ratu, nasib wanita muda itu akan sama seperti wanita-wanita lain. Dibuang setelah beberapa bulan. Aku benar-benar tidak menyangka, Bagaskara akan mengikat Ratu sangat lama. Bahkan bertahun-tahun.”

“Kalau menurutku ini masalah ego, Dok. Seorang Bagaskara yang memiliki pengaruh besar di dunia entertain dan selalu berhasil mendapatkan wanita yang dia inginkan. Ditolak oleh seorang artis pendatang baru.”

“Ditolak?!” Dokter Frans mengernyit.

“Ya… awalnya Maharatu menolak Om Bagas, dia tidak mau jadi simpanan. Tapi karena Om Bagas mengancam akan menghancurkan kariernya ditambah dengan Sandra si wanita tua yang mata duitan itu. Si gadis malang itu, tidak punya pilihan lain… selain menerima Bagaskara,” jelas Sasa.

“Dan satu lagi, Dok.” Sasa berbicara berbisik. “Om Bagas yang pertama membuka segel, Ratu.”

“Ha…!” Dokter Frans terkejut. Di zaman sekarang masih ada perawan, pikirnya.

***

Ratu beringsut, tangannya terulur membuka laci meja rias. Jarinya menekan kode pada sebuah brangkas kecil. Mengeluarkan foto berwarna hitam putih. Mengusap foto itu lembut, membersihkan tetesan air mata yang jatuh diatasnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status