Share

Bab 3

Ratu masuk ke dalam mobil dengan pipi yang basah dan mata merah. “Kita pergi sekarang, Sa!”

“Kamu tidak apa-apa, ‘kan, Ra?” Sasa menatap sendu ke arah artisnya.

Maharatu menatap Sasa yang duduk di kursi kemudi. Dia menghapus jejak air matanya, lalu mengulas senyum. “Aku baik. Bukankah ini sudah sering terjadi, Sa.”

Dulu Sasa sempat tidak percaya saat mendengar ada artis yang bertahun-tahun bekerja di dunia entertain, tapi miskin tidak punya apa-apa. Bukan karena sang Artis berfoya-foya melainkan karena uang sang Artis habis ditangan keluarganya sendiri.

Akan tetapi, setelah bertemu Ratu tiga tahun lalu, Sasa baru percaya bahwa memang ada keluarga toxic seperti itu. Bahkan, bagi Sasa nasib Maharatu lebih tragis. Mama artis berambut panjang itu bukan hanya menguasai dan menghabiskan hasil keringat Maharatu. Dia juga tega menjadikan putrinya, istri kedua Bagaskara agar bisa hidup enak.

“Miris sekali hidupmu, Ra. Punya Mama yang selalu bikin naik darah, jadi istri kedua pula.” Sasa berdecak sambil geleng-geleng kepala sebelum tancap gas.

Mendengar kata-kata Sasa, Ratu mencebik. “Tapi di balik mirisnya hidupku ada gaji besar bagimu.”

Seketika Sasa tertawa terbahak-bahak. “Mulut yang terkunci rapat memang mahal harganya, Ra.”

***

Danendra mulai menggeliat, meregangkan otot-ototnya. Hal pertama yang ingin dia lihat saat bangun tidur adalah wajah ayu yang semalam dia dekap.

Kenyataan terkadang tak sesuai dengan ekspektasi. Pemilik wajah ayu yang semalam dia dekap sudah tidak ada di sampingnya. Pria berambut gondrong itu langsung meloncat dari ranjang.

“Nona….” Danendra masuk ke kamar mandi, kosong. “Argh! Sial.” Danen melayangkan tangan ke udara. Lagi-lagi wanita itu membuat Danendra kesal.

Duduk di tepi ranjang dengan tangan yang menumpu kepala, netra Danendra menangkap benda yang berkilau. Sebuah kalung berliontin merpati menarik perhatiannya. Danendra menggenggam kalung itu erat-erat.

“Aku akan menemukanmu, Nona. Pasti!”

Amarah Danendra hampir meledak saat pihak hotel menolak memperlihatkan rekaman CCTV.

“Maaf, Tuan kami tidak bisa sembarangan menunjukkan rekaman CCTV hotel,” kata staf hotel yang menangkupkan kedua tangannya.

“Kenapa tidak bisa? Saya harus tau jam berapa istri saya meninggalkan hotel tadi malam. Istri saya saat ini sedang marah. Dan biasanya, dia akan melakukan hal-hal diluar nalar saat marah, seperti semalam misalnya. Dia mengunci diri di kamar mandi.

Awas saja kalau sampai terjadi sesuatu pada istri saya. Saya akan menuntut hotel ini karena menolak menunjukkan rekaman CCTV di kondisi darurat.” Rangkaian kebohongan yang dikatakan Danendra berhasil membuat pihak hotel ketakutan.

Pada akhirnya, mau tidak mau pihak hotel menunjukkan rekaman CCTV yang Danen minta. Melihat rekaman CCTV, tangan pria brewok itu mengepal erat. “Dia menggunakan masker,” rutuk Danendra.

“Stop!” perintah Danendra pada staf keamanan hotel. Rekaman dijeda sejenak. “Saya harus mencatat plat taksi yang ditumpangi oleh istri saya.”

“Kamu benar-benar membuat kepalaku hampir pecah, Nona. Lihat saja nanti saat aku berhasil menemukanmu,” ancam Danendra dalam hati.

Beruntung bagi Danendra, wanitanya menggunakan taksi konvensional. Jadi dengan mudah Danendra bisa tau kemana wanitanya pergi.

“Di sini?” Danendra memijat pangkal hidungnya saat taksi berhenti.

“Iya, Tuan. Nona itu minta diantarkan ke sini,” kata si sopir taksi.

Danendra berkacak pinggang di tempat parkir klub. Berharap langsung menemukan alamat si wanita. Danendra rupanya harus gigit jari. Karena ternyata si wanita minta diantar ke klub X. Tempat mereka pertama kali bertemu semalam.

Ponsel Danendra tiba-tiba bergetar. “Papa,” lirih Danendra.

Danen menggeser ikon hijau di ponselnya. “Ya, Pa. Kenapa?”

“Kamu keluyuran kemana saja!”

Suara dari seberang sana membuat Danendra menjauhkan ponselnya dari telinga.

“Danen tidak kemana-mana. Danen di apartemen,” elak Danendra.

“Jangan bohong kamu, Danen. Semalam Papa dan Mama ke apartemenmu. Tidak ada siapa-siapa di sana. Pokoknya Papa tidak mau tau. Temui Papa di kantor sekarang!” teriak Sanjaya di ujung telepon yang membuat Danendra memasukkan jari kelingkingnya ke lubang telinga.

“Iya… iya… Danen ke sana, tapi nanti. Sekarang Danen masih ada urusan penting.”

Sanjaya berdecak kesal. “Sejak kapan pengangguran punya urusan penting,” ejek Sanjaya pada putranya.

“Sejak saat ini,” jawab Danendra enteng.

“Terserah kamu Danen. Bicara sama kamu cuma bikin kepala Papa sakit.” Sanjaya mematikan teleponnya.

“Dimatikan.” Danendra memandang ponselnya.

Uang memang bisa memuluskan segalanya. Buktinya dengan lembaran kertas itu, Danen berhasil melihat CCTV parkiran klub dan mendapatkan plat nomor kendaraan yang wanitanya tumpangi.

“Sepertinya jalanku untuk bertemu denganmu tidak begitu terjal, Nona.” Sudut bibir pria yang menguncir rambutnya itu terangkat.

***

“Ra! Aku lupa masih ada satu pekerjaan lagi hari ini.” Sasa memasang wajah memelas di depan Ratu yang sudah berganti pakaian setelah pemotretan.

Ratu mendorong dahi Sasa pelan. “Kebiasaan. Belum tua tapi pikun.”

“Maaf.”

Tubuh Ratu sebenarnya sudah remuk redam. Tapi, mau bagaimana lagi. Dia harus profesional. “Jadi apa pekerjaan kita selanjutnya?”

“Kamu ada talk show di SME TV untuk acara infotainment mereka.”

“Live?”

“Tidak.”

“Apa tidak bisa diundur, Sa.” Ratu memijat pundaknya yang terasa berat.

“Sayangnya tidak bisa, Ra karena besok kamu harus syuting seharian penuh.” Sasa tahu artisnya kelelahan, tapi pekerjaan ini benar-benar tidak bisa ditunda.

“Makan dulu boleh? Aku lapar.” Ratu mengelus perutnya yang rata. Ada rasa sakit yang menusuk di hati saat Ratu mengelus perutnya.

“Boleh. Mau makan apa? Aku yang traktir.” Sasa menggandeng lengan Maharatu.

Jari telunjuk Maharatu mengetuk-ngetuk bibirnya. “Aku mau makanan mahal.”

“Cus kita ke restoran steak terenak,” ajak Sasa penuh semangat.

Setelah mengunjungi restoran yang memiliki menu steak yang Sasa bilang terenak, mobil Maharatu sudah terparkir rapi di basemen SME TV.

Wawancara yang Maharatu lakukan tidak terlalu memakan waktu lama. Pekerjaan ketiga Maharatu selesai tepat jam sepuluh malam.

“Akhirnya selesai juga.” Di dalam lift Maharatu merentangkan tangannya tinggi-tinggi. “Sampai apartemen aku mau berendam lalu tidur.” Ratu memeluk tubuh berisi Sasa dari samping.

“Tidur yang nyenyak. Besok kita. Eh… kamu ding. Harus kerja rodi lagi,” ejek Sasa.

“Dasar nyebelin.” Ratu mencubit pipi gembul Sasa, gemas. Kedua wanita itu terus bercanda sampai pintu lift terbuka.

Danendra yang begitu asik dengan ponsel di tangan tidak menyadari jika Maharatu berjalan berpapasan dengannya. Aroma mawar yang tertinggal di dalam lift menyentak pikiran Danendra. “Wangi ini. Mungkinkah dia di sini?”

Danendra terus menekan tombol lift. Berharap pintu lift kembali terbuka. Saat pintu lift terbuka, Danendra mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, nihil. Keberadaan wanita yang dia cari tidak ada dimanapun.

***

Maharatu akan menyeduh susu hangat di dapur saat tiba-tiba sebuah tangan kekar memeluknya dari belakang.

“Apa hari ini sangat melelahkan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status