Semua mata memandang kearah kedatangan mobil di halaman rumah. Seorang lelaki sangat parlente turun dari mobil, lelaki yang aku perkirakan berusia sekitar 40 tahunan. Lelaki itu menuju kearah pintu masuk. Saat sampai di depan pintu, lelaki itu mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum...”Secara serentak, kami yang ada di dalam rumah secara serentak membalas ucapan salamnya, “Wa alaikum salam.. “Widarti berdiri dan menghampiri lelaki tersebut, “Silahkan masuk mas Jat.. kenalkan ini ibu saya, ini mas Danu, dan ini Noni anakmu.. “ Widarti memperkenalkan lelaki itu. Reaksi Noni saat bertemu Papanya di luar dugaan, dia justeru berlari masuk ke kamar. Aku menduga kalau Noni tidak bisa menerima kenyataan itu. Widarti berusaha untuk menahan Noni, “Noni!! Kamu mau kemana? Ini Papa kamu datang!!” teriak Widarti. Nenek agak terkejut melihat reaksi Noni, namun hanya membiarkan Noni berlalu ke kamar. “Biarkan saja Wid.. mungkin dia belum mau ketemu saya.” Jatimin berusaha untuk menetralisir k
Aku begitu senang melihat Noni akhirnya mau bertemu dengan Jatimin, ayah kandungnya. Itulah masa depan yang akan membawa Noni mencapai kebahagiaan. Aku tidak ingin larut dalam suasana itu, biarlah Noni tidak melihat aku diantara ayah kandungnya. Aku pamit pada mereka semua, aku ingin istirahat di Paviliun Clara. “Wid.. nek, saya pamit dulu mau ke rumah keluarga yang ada di Bandung.”Noni sepertinya belum bisa melepas kepergianku begitu saja, “Papa mau kemana? Kok buru-buru amat?” Noni melepaskan pelukannya pada Jatimin. “Papa masih ada urusan lain Noni, lepaskanlah kerinduan kamu pada Papa dan Mama kamu.”“Kapan mas Danu kemari lagi.. anggaplah rumah ini juga rumah keluarga mas Danu.” ucap Widarti. “In Shaa Allah, kapan ke Bandung lagi aku mampir Wid..”Setelah menyalami mereka semua, aku tinggalkan rumah Widarti. Meskipun terasa berat meninggalkan Noni yang sangat aku sayangi. Dengan menggunakan taksi online, aku menuju ke Paviliun Clara di daerah Setiabudi. Dalam perjalanan aku
Clara representasi gadis yang hidup dengan berbagai kecukupan fasilitas, namunmiskin kasih sayang. Begitu menemukan kasih sayang yang diimpikannya, maka dia akan larut di dalamnya. Di Jakarta tinggal di sebuah apartemen yang mewah, di Bandung tinggal di sebuah Paviliun yang cukup bebas. Tapi, masih beruntung punya keinginan dan ambisi untuk mengejar cita-cita. Kuliah dengan serius dan bersenang-senang juga dengan serius. Keduanya dijalankan dengan seimbang, dan aku pun lelaki tua yang beruntung bisa menikmati apa yang dinikmati Clara. “Om sudah siap? Yuk! Kita jalan.. “ ajak Clara sembari meraih pinggangku mengajak keluar dari Paviliun. Akulah lelaki tua yang beruntung bisa digandeng gadis cantik nan kaya raya. Tanpa modal sepeserpun aku mampu menikmati tubuhnya. Sambil berjalan keluar Paviliun, aku memegang pinggulnya. “Clara.. sorry, om cuma bawa badan nih.” aku katakan itu dengan berat hati saat akan masuk ke mobil. “Udah.. om duduk manis aja, hari ini aku mau servis om Danu.
Dua minggu kemudianSejak pertemuan terakhir di Bandung, aku tidak lagi pernah bertemu dengan Noni. Sebagai pengobat kerinduanku pada Noni, aku kencan dengan Anya, gadis yang aku kenal di Cafe dekat kantor. Anya benar-benar duplikasi Noni, baik secara postur tubuhnya, gaya bicaranya, juga perilakunya. Anya ternyata seorang penulis, dia sedang observasi tentang perilaku lelaki separuh baya yang menjadi tokoh utamanya. Aku dan Anya kencan di sebuah hotel dibilangan Jakarta Pusat, itu semua atas keinginan Anya, “Karena waktu itu kita gak jadi, maka hari ini aku ajak om ketemu.”“Iya Anya.. om minta maaf, waktu itu om cukup sibuk sih.”“Aku lagi nulis novel om, judulnya Cinta Beda Usia. Nah, tokoh utamanya itu lelaki seusia om..”“Jadi? Ceritanya kamu lagi observasi nih?”Anya jelaskan padaku, bahwa tokoh dalam ceritanya sangat mirip dengan karakter aku. Banyak sekali pertanyaan yang diajukan Anya, terutama cara aku memperlakukan para gadis muda yang aku kencani. Sampailah aku menceri
Setelah pertemuanku dengan Anya saat istirahat jam makan siang, aku kembali ke kantor. Berbincang-bincang dengan pak Anggoro tentang prospek perusahaan. Pak Anggoro meminta agar aku ke Surabaya untuk membenahi kantor cabang yang baru dibuka di sana. “Pak Danu keberatan gak kalau saya tugaskan ke Surabaya?” tanya pak Anggoro. “Ya gaklah pak, selalu siap ditugaskan kemana pun, saya malah senang pak.”Pak Anggoro jelaskan apa saja yang harus aku urus di kantor cabang Surabaya. Selama satu minggu itu aku mendapat fasilitas menginap di hotel. Di Bandung tugasku dianggap sudah selesai, karena sudah berjalan sesuai dengan harapan beliau. Menjelang purnatugas, aku memang harus memaksimalkan pelayanan terhadap perusahaan. Aku sangat bersyukur masih dibutuhkan tenaga dan pemikiranku, itulah satu bukti kalau perusahaan menghargai profesionalitasku. “Oh ya.. saya lupa, kemarin Grace titip salam pada pak Danu, udah lama katanya gak ketemu.”“Terima kasih pak.. saya memang sudah lama gak ketemu
Adriana menatap Noni yang ada di sampingku, seakan-akan dia menerima apa yang dikatakan Noni. Aku yang berada diantara mereka berdua, melihat sebuah realitas sosial yang pada kenyataannya dialami oleh anakku sendiri. Noni dan Adriana adalah cerminan anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua. Sementara, apa yang dialami Rani, anakku pun tidak jauh berbeda. “Aku selalu iri sama kamu Non.. sekarang kamu penuh kasih sayang dari kedua orang tua kamu.”“Dri.. kamu jangan lihat aku sekarang, kamu gak tahu apa yang aku alami selama sepuluh tahun. Aku hanya hidup berdua dengan nenek, dan aku harus menafkahi nenek, Dri.”Aku berusaha menengah, “Kalian berdua itu sama-sama hebat, bisa survive ditengah kesulitan hidup.”Seketika suasana hening, kami larut dalam pikiran masing-masing. Aku tidak bisa membayangkan kalau Radith bukanlah lelaki yang bertanggung jawab, bisa-bisa kehidupan Rani lebih buruk dari Adriana dan Noni. “Sekarang, sebaiknya kalian mensyukuri apa yang s
Keesokan harinya Sebelum ke Surabaya, aku sempatkan untuk sarapan pagi dengan keluarga. Ada suasana yang berbeda, Rani tidak lagi berada diantara kami. Hanya ada isteriku dan Priska, aku baru merasa kehilangan Rani. “Sri.. kalau kamu rindu dengan Rani, kamu bisa nginap di rumahnya selama mas di Surabaya.” Aku tatap wajah isteriku yang begitu murung. “Nanti saja mas.. Priska gak mungkin aku tinggal sendiri di rumah.”“Kalau Mama kangen sama kak Rani, aku temani Mama ke sana.” Priska menimpali. Sejak menikah, Rani memang memilih untuk tinggal di rumah yang sudah disiapkan Radith. Dia ingin hidup mandiri, ingin merasakan hidup berumah tangga tanpa dicampur orang tua. Pernikahan Rani dan Radith memang hanya dilakukan antar keluarga, tanpa ada resepsi. Itu memang sudah menjadi kesepakatan antara aku dengan besanku. Untuk menghindari stigma negatif terhadap Rani dan Radith. Kegagalan mengawasi Rani, membuat isteriku lebih hati-hati dalam menjaga Priska. Sri tidak ingin hal yang sama t
Aku melihat kalau Ita tidak begitu nyaman saat berbicara denganku. Setelah aku memberitahukan nomor kamarku, Ita tergesa-gesa segera pamit. Aku hanya bisa menyaksikan kepergiannya dengan menyisakan banyak pertanyaan dibenakku. Setelah urusanku di resepsionis selesai, aku segera menuju ke lift untuk naik ke lantai 7. Sampai di lantai 7 aku menyusuri koridor hotel mencari kamar 707. Sebelum masuk ke kamar, seorang gadis keluar dari kamar 706 dan melintas di depan kamarku. Aku tidak terlalu menghiraukannya, karena pikiranku masih tertuju pada Ita dan Kalina. Aku membuka ponsel dan membaca pesan-pesan yang masuk sembari mengaso di tempat tidur. Salah satu pesan masuk dari Kalina, [Om Danu.. kalau tidak keberatan, boleh aku tahu nomor di Hotel mana om menginap? Jangan lupa kasih tahu nomor kamarnya, ya?] itulah pesan dari Kalina. “Waduh! Godaan apa lagi nih?” tanyaku dalam hati. Apa iya setiap pertemuan dengan seorang gadis selalu berakhir di atas Ranjang? Pertanyaan seperti itu mengha