Aku baru merasakan sesuatu yang membuatku semakin menyadari, bahwa romantisme itu tidak selalu tentang bercinta. Kedekatanku saat ini dengan Noni, tidak lagi dibumbui birahi. Suasana tidak berubah, hanya perilaku yang berubah. “Apa yang Papa rasakan saat aku ada di sisi Papa? Apakah aku masih sehangat dulu?” Noni menatapku dalam“Kehadiran kamu itu sebuah kehangatan, Non, rasanya tetap sama, tidak ada yang berubah.” aku membalas tatapannya“Papa tahu? Tidak ada yang bisa menggantikan Papa di hati aku.”Aku terharu mendengar apa yang dikatakan Noni, aku bisa merasakan dar apa yang dilakukannya terhadap aku. Inilah romantisme yang aku inginkan sebetulnya, tidak melulu harus diakhiri dengan bercinta. “Papa percaya, Non, dari sikap kamu, cara perlakuan kamu, semua itu sudah memperlihatkannya.”Noni juga mengatakan, kalau hubunganku dengan dia tidak pernah berakhir, meskipun sampai dia menikah. Aku memahami hubungan yang dia maksudkan, dan tentunya bukanlah hubungan asmara. Saat makan s
Selepas pulang kantor aku sendirian di rumah. Aku tidak pernah lagi berpikir tentang Anya setelah lebih satu minggu tidak bertemu. Saat aku lagi santai di ruang tamu, tiba-tiba ada ketukan dipintu. Aku beranjak untuk membukanya, ternyata Anya yang datang, “Boleh masuk gak nih, om?” tanya Anya “Tentu boleh Anya, Yuk! Silakan masuk, Anya..”Aku ajak Anya masuk, kami ngobrol di ruang tamu seperti biasanya. Anya duduk begitu rapat disampingku. Ada kecemasan seketika menyergap, aku khawatir Noni datang. Dia sudah berjanji akan selalu mengunjungi aku, baik di kantor atau pun di rumah. “Om gimana kabarnya? Sehat?”Aku ceritakan pada Anya kalau aku seminggu yang lalu diserang stroke. Anya tersentak kaget mendengar ceritaku, “Om serius? Kok aku gak dikabari, om?”“Gak mungkin om kabari kamu, Anya, karena situasinya tidak memungkinkan. Om berada di tengah-tengah keluarga.”Anya mencecarku dengan berbagai pertanyaan, mulai dari apa penyebabnya, berapa lama aku baru pulih, dan di mana posis
Noni masih tertegun menatapku dan akupun juga begitu, Anya merasa kalau yang datang itu adalah anakku. Nara yang tadinya hanya diam mencoba menenangkan Noni, Nara berbisik di telinga Noni dan aku tidak tahu apa yang dibisikannya pada Noni, “Okey Pa.. Papa jelaskan aja dengan tenang..” Ujar Noni sembari menghampiri aku dan Anya. Wajahnya yang tadinya begitu murka, seketika berubah tenang setelah dibisikkan Nara. “Maafkan Papa Non.. Apa yang kamu lihat tadi, tidak seperti itu kejadian sebenarnya.” aku merasa bersalah pada Noni dan Nara. Aku perkenalkan Anya pada Nara, aku jelaskan posisi hubunganku dengan Anya. Aku katakan kalau Anya sedang melakukan riset tokoh untuk novelnya. Aku tidak tahu kenapa Noni tiba-tiba berubah. Apakah karena dia menyadari takut penyakit yang aku idap. Sehingga dia berusaha untuk tidak memancing emosiku. “Baik Pa, kami tidak masalah dengan semua ini, kami mengerti Papa butuh refreshing.”“Sebagian besar sosok yang ada di dalam diri Anya, adalah duplik
Sudah satu minggu sejak Noni menangkap basah aku dan Anya di rumah, Noni tak lagi mengunjungiku baik di kantor maupun di rumah. Benar kata Anya, Noni cemburu dan marah. Hari ini aku sangat merindukannya, aku tidak ingin tanyakan pada Nara ada apa dengan Noni. Meskipun aku cukup terhibur dengan keberadaan Anya, tapi Anya tetap saja bukanlah Noni. Tidak ada lagi yang memperhatikan aku, menyuap aku dengan penuh kasih sayang. Aku seperti merasa kehilangan barang yang sangat berharga, barang yang sangat berarti bagi diriku. Aku membuka ponsel, membaca pesan-pesan yang pernah dikirimkan Noni beberapa waktu yang lalu. Ada satu foto yang membuatku sangat terkesan, foto aku dan Noni. Terutama caption di foto tersebut, “Yang terkasih dan tersayang.. selalu dan selamanya.”Aku begitu terharu menatap foto yang ada di ponselku, Noni tersenyum semringah, seakan sangat bahagia. Tanpa terasa mataku basah, airmata menggenangi pelupuk mataku. Aku tidak sadar kalau Nara tiba-tiba masuk ke ruang ker
Setelah sambungan telepon dengan Anya berakhir, aku kembali melanjutkan pembicaraan dengan Nara, “Om katakan itu semua karena ada firasat kalau om tidak lama memegang jabatan ini, Nara.”Nara dengan optimis mengatakan padaku, bahwa keberadaan aku di kantor sangat dibutuhkan. Meskipun secara fisik tidak bekerja, namun sumbangsih pemikiran sangat dibutuhkan. “Tetaplah om duduk di posisi kepala cabang, biar saya banyak menyerap ilmu dari om. Saya sangat bangga dengan om, karena perusahaan ini bisa om kendalikan.”“Kita lihatlah seperti apa rencana Tuhan ke depannya, Nara. Om sih bangga kalau kamu bisa melanjutkan kepemimpinan perusahaan ini.”Pembicaraan kami terhenti, karena Anya sudah muncul di depan pintu ruang kerjaku, “Selamat siang om.. Siang mas Nara, maaf kalau aku mengganggu.” ucap Anya“Siang Anya.. masuk aja,” Aku membalas sapaan Anya dan mempersilahkannya masuk. “Gak ada yang serius kok pembicaraan kami.” Lanjutku sembari berdiri menyambut kedatangan Anya. “Yaudah om.. sa
Kesibukan di kantor tidak lagi menyita waktuku, karena sebagian besar beban tugasku sudah ditangani Nara. Sementara, keberadaanku di kantor masih dibutuhkan, pemikiran dan tenagaku aku curahkan agar roda perusahaan terus berjalan. Di usia yang masih tergolong produktif, aku sudah diintai serangan stroke yang bisa datang tiba-tiba. Ikhtiar yang aku jalani hanya berusaha menjaga kesehatan tubuh dan pikiranku. Sehari-hari aku seperti menunggu waktu, waktu datangnya serangan tiba-tiba, waktu dipanggil untuk kembali, juga waktu bisa berkumpul dengan orang-orang yang aku cintai. Aku teringat apa yang dikatakan Anya saat dia menyuapiku, “Om.. aku rela menjadi Noni dalam imajinasi, om. Cuma itu cara aku bisa selalu ada di sisi om.”“Anya, tetaplah kamu menjadi dirimu sendiri, dengan segala kelebihan yang kamu miliki. Itu saja sudah membuat om senang.”Dalam kesendirianku di rumah, merenungkan betapa bersyukurnya aku yang diberikan limpahan nikmat. Nikmat bersahabat yang penuh ketulusan, d
Setelah minum air mineral yang diberikan Anya, aku barulah sedikit tenang. Sejak diserang stroke aku sering dihinggapi rasa cemas, aku menyadari kalau hal itu tidak baik dampaknya bagi pikiran. Aku menjadi kurang enjoy menjalani hidup. “Om gak usah khawatir, malam ini aku akan menemani om. Aku sudah siapkan segala sesuatunya untuk kebutuhan kita berdua.” ujar Anya saat menatapku. “Terima kasih Anya, om sih sebetulnya aman-aman aja sih. Tapi, kalau kamu sudah siap menemani om gak menolak.”Aku tidak bisa bayangkan kalau isteriku tahu, bahwa aku ditemani seorang gadis seusia anakku. Pikiran itu kembali aku tepis, aku tidak ingin tertekan perasaan oleh pikiran semacam itu. Kadang suara bisikan menggoda dibenakku, “Nikmati saja hidup seperti menikmati hidangan yang sudah tersedia.”Bisikan seperti itu terus melintas dalam pikiranku, seakan mengajakku untuk melanggar apa yang sedang aku hindari. Anya terus memperhatikan saat aku terus merenung, “Om gak perlu banyak beban pikiran, lepas
Hari ini merupakan hari yang bersejarah bagiku, Tuhan masih memberikan aku waktu untuk menyaksikan gadis yang aku sayangi dilamar kekasihnya. Suatu kehormatan aku diminta Nara untuk mendampinginya saat melamar Noni, karena kedua orang tua Nara sudah berpulang lebih dulu. Ikut juga bersama rombongan keluarga Nara. Kami berangkat bersama dari rumahku pagi itu, Nara sengaja mengatur semua itu demi untuk menghormatiku sebagai atasannya di kantor. “Om.. saya berharap Tuhan selalu memberikan kesehatan pada om, semoga tidak hanya di acara lamaran om menyaksikan.”“Aamiin.. Nara, om juga sangat berharap seperti itu, ini sebuah kehormatan bagi om.”Nara katakan juga padaku saat itu, bahwa dia sudah menganggap aku sebagai pengganti orang tuanya. Bagaimana aku tidak bahagia, gadis yang akan dilamar Nara adalah gadis yang sangat aku sayangi. “Nara.. om titip Noni pada kamu, Noni adalah belahan jiwa om. Meskipun dia bukan anak kandung om. Dia sudah mengisi sebagian dari hidup om.”“Noni sudah