Ekspresi puas tergambar jelas di wajah Kenzie sambil menatap ponselnya. Lalu, seolah baru tersadar dengan posisi mereka sekarang, Keisha pun langsung mendorong kepala Kenzie agar bangun dari bahunya.“Mesum!” pekik Keisha.Kenzie tetap tersenyum, walaupun Keisha mendorongnya cukup keras tadi. “Bukannya kamu bilang, salah satu kewajiban istri itu melayani suami?”“Hah?”“Manjain suami kan sama aja melayani.”“Ndasmu!” Keisha melempar bantal sofa ke wajah Kenzie, tetapi pria itu dengan sigap menangkapnya sambil terkekeh.Gadis itu pun beranjak dari sofa dengan jengkel. Namun, baru beberapa langkah, ia kembali ke tempat itu. Ia baru ingat sesuatu.“Bang, aku mau ngomong sesuatu… boleh?” tanya Keisha dengan kedua tangan di depan, seperti murid yang meminta izin kepada gurunya.“Apa?” Keisha menunduk, menghindari tatapan Kenzie. “Mau pulang ke rumah…,” bisiknya pelan.“Ini kan kamu lagi di rumah,” jawab Kenzie santai.Keisha bengong sebentar, berusaha memahami ucapan Kenzie. Matanya menat
Keisha dan ibunya saling berpandangan.“Kei, Kenzie kenapa tuh?” tanya ibunya dengan wajah bingung bercampur panik.Keisha hanya menggeleng cepat, tapi matanya masih mengarah ke pintu menuju halaman belakang. Sosok Kenzie tidak terlihat, tapi Keisha sangat khawatir.Lalu, tanpa disuruh lebih dulu, Keisha tanpa sadar beranjak dari sofa. Ia mendekati Kenzie yang ada di taman belakang. Namun, ia hanya mengintip dari balik pintu, tidak berani mendekat. Wajah Kenzie terlihat tegang dengan mata yang seolah memancarkan amarah. Ini pertama kalinya Keisha melihat ekspresi Kenzie yang seperti itu. “Jangan hubungi saya lagi untuk omongan tidak penting ini!” itu adalah kalimat terakhir yang Kenzie ucapkan dengan dingin, sebelum mengakhiri panggilannya.Keisha buru-buru lari dan duduk di sofa lagi saat Kenzie selesai menelepon. Ia berakting seolah tidak mendengar apa-apa. Lalu, Kenzie kembali ke sofa sambil menghela napas berat. Ia meletakkan ponselnya ke meja, di sebelah ponsel Keisha.Pria it
[Selamat siang, Keisha. Ini Wisnu, papanya Kenzie]Berawal dari sebuah chat itu, Keisha sekarang mempunyai beban pikiran sendiri. Entah dari mana papanya Kenzie mendapatkan nomor teleponnya, dan Keisha tidak punya pilihan lain selain membalas pesan-pesan itu.Semua tampak normal pada awalnya. Wisnu hanya bertanya kabar Kenzie, kapan mereka menikah, dan di mana mereka tinggal. Sampai akhirnya, sebuah permintaan muncul.[Keisha, apa kamu bisa ajak Kenzie bertemu saya?]Keisha menggigit bibir, ragu sambil melirik Kenzie yang sedang fokus dengan laptopnya. Pesan itu ia dapatkan tiga hari yang lalu, tapi belum ia balas sampai sekarang. Ia bahkan sengaja tidak membuka pesan itu dan hanya membacanya dari notifikasi.“Kenapa jadi gue yang repot, sih?” gumam Keisha sambil mengelap piring yang sudah bersih. Ia kembali melihat Kenzie yang tampak santai-santai saja seolah tidak punya beban hidup. Ia tahu Kenzie benci dengan papanya. Namun, Keisha juga tidak bisa menyalahkan Wisnu sepenuhnya. Pa
Mata Keisha bergantian menatap dari Kenzie dan papanya. Setelah mereka turun dari mobil, Wisnu langsung menyambut mereka dan menggiring mereka masuk.Awalnya, Kenzie tidak mau melangkahkan kakinya. Pria itu hanya menatap dingin sosok Wisnu yang mencoba tersenyum ramah. Sampai akhirnya, Keisha yang turun tangan dan menggandeng lengan pria itu.Di sinilah mereka sekarang, duduk bertiga di ruang tamu Wisnu. Interior yang didominasi kayu memberikan kesan hangat, tapi itu tidak membuat suasana canggung ini menghilang.“Gimana kabar kamu, Ken?” Wisnu memulai percakapan.Namun, Kenzie tidak menjawab sama sekali. Pria itu hanya menatap lurus ke depan.Keisha meringis sambil menggigit bibir bawahnya. Ia pun menyenggol lengan Kenzie dengan sikunya.“Bang, ditanya Papa tuh,” bisik Keisha.“Bilang sama dia, dia tidak perlu tahu,” jawab Kenzie akhirnya, dengan nada datar.“B-baik-baik aja, Pa.” Keisha lagi-lagi yang turun tangan, sambil bergerak gelisah di tempatnya. “Maaf ya, kita baru bisa datan
Sebelum Kenzie menariknya keluar rumah, Keisha menyempatkan diri untuk berpamitan ala kadarnya. Mereka bahkan tidak menyentuh teh dan camilan yang disajikan. Amarah Kenzie terlalu banyak untuk ditahan.Sekarang, mereka sudah ada di dalam mobil. Terjebak dalam suasana dingin yang canggung.“Bang,” panggil Keisha.Kenzie tidak menjawab.“Marah ya?” tanya Keisha lagi.“Gak.”“Marah beneran ternyata kan.” Keisha menundukkan kepalanya. Walaupun Kenzie terkenal dingin, dia tidak pernah menjawab sesingkat itu kepada Keisha. “Aku… aku minta maaf, Bang.”Lagi-lagi Kenzie tidak menjawab, membuat Keisha mengangkat kepala dan menatap wajah tampan itu dari samping. Rahang tegas pria itu sudah tidak sekaku sebelumnya, walaupun tatapan matanya masih datar. Kenzie hanya menatap jalanan tanpa minat, tanpa senyuman.“Serius deh, Bang. Aku gak bermaksud ikut campur,” Keisha mulai mengoceh. “Papa tuh nge-chat aku, minta ketemu sama Bang Kenzie. Aku pikir, dia mau baikan sama Abang, dan minta maaf. Papa j
Pagi ini, kampus dihebohkan dengan cuitan yang bermula dari media sosial. Semua mahasiswa sibuk membicarakan dosen mereka yang kerap kepergok check in di banyak tempat. Herannya, walaupun sudah sering ditemukan bukti-bukti foto dosen itu, Kenzie tidak pernah dikeluarkan dari kampus. Tuduhan itu tidak berdasar, menurut pihak kampus. Dan selagi tidak mengganggu kegiatan mengajar di kampus, Kenzie masih dinyatakan aman. Namun, kali ini berbeda. Keisha yang sedang berada di kantin bersama dengan Naura dan Cindy, tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. “Itu foto kamu sama Pak Kenzie, kan?” tanya Naura dengan suara pelan sembari menyedot es jeruknya. “Pas lagi di Bali?” sambung Cindy.Keisha mengangguk lemas. “Aku takut banget.”Sebenarnya foto itu diambil tidak begitu jelas, hanya saja bentuk tubuh Kenzie yang menonjol, jadi bisa dikenali dalam sekilas. Sedangkan Keisha—atau mahasiswa yang kepergok sedang bersama Kenzie—terhalang tubuh tinggi pria itu. “Ya udah santai, muka kamu juga g
"Bang, ayo buka bajunya... udah nggak sabar, nih." "Nggak." "Sekali aja, Bang." "Saya bilang nggak!" Keisha mendelik karena tangannya yang sudah berada di kancing kemeja Kenzie ditahan oleh pria tersebut. "Ih! Bang Kenzie 'kan harus tanggung jawab udah bikin aku begini!" "Kenapa jadi saya yang harus tanggung jawab?" balas Kenzie dengan wajah dingin dan alis tertaut. Bola mata Keisha berputar. "Ya gara-gara Abang kasih tugas gambar dada pria, aku jadi kerepotan cari model! Makanya, Abang yang harus tanggung jawab jadi model aku!" Kenzie yang mendengar hal itu mendengus, dia malah membalas, “Loh, tugas juga tugas kamu, tanggung jawab kamu. Nggak ada urusan sama pemberi tugas dong.” Rasanya, Keisha ingin mencakar wajah tampannya itu. Kalau bukan karena Kenzie, memangnya dia kira dia akan melakukan semua hal ini?! Kenzie adalah tetangga sekaligus dosen gambar bentuk di kelas Keisha. Beberapa waktu lalu, dia memberikan tugas kepada murid-muridnya untuk menggambar dada pria, termas
Setelah kepergok dalam kesalahpahaman tadi, Keisha dan Kenzie segera dibawa oleh Ibu ke ruang tamu. Wanita paruh baya tersebut kemudian memanggil Ayah dan anak keduanya—Aldi, untuk ikut dalam proses interogasi terhadap dua sejoli di hadapannya saat ini. Tidak lupa juga Mama Yunita, mamanya Kenzie, yang langsung dijemput Aldi dari rumah sebelah. Ya, mereka ini memang tinggal tetanggaan. “Sumpah, Bu! Ini tuh cuma salah paham aja," rengek Keisha dengan wajahnya yang memerah padam, menahan tangis karena takut dituduh telah berbuat hal yang tidak senonoh. "Apa yang Ibu liat tuh, nggak seperti apa yang ada dipikiran Ibu sekarang!" lanjut Keisha. Kenzie sendiri, duduk dengan tatapan datar, mencoba untuk tetap tenang. Sementara Keisha tampak gelisah di sampingnya, sesekali melemparkan pandangan takut ke arah orang-orang di sekelilingnya. "Gimana Ibu nggak mikir yang aneh-aneh, kalau posisi Kenzie itu lagi dalam keadaan telanjang, Kei," sergah Ibu menepis ucapan Keisha. “Setengah doang,