“Kamu baik-baik saja, Freya?” Suara serta tepukan di bahu Freya seketika membawa kesadaran Freya kembali. Entah sudah berapa lama gadis itu duduk melamun di sana dan hujan masih setia mengguyur kota ini. Seakan semesta ikut menangis dan menyayangkan nasib malang Freya.
Gadis itu membawa pandangannya pada sosok yang basah kuyup di sisinya. Ia memang memakai payung tetapi, itu tidak berhasil menghalau tetesan air yang jumlahnya ribuan kubik.
“Sean?” Mata Freya berkaca-kaca dia tidak percaya melihat pria itu sekarang.
“Ini khayalanku saja ‘kan?” lirihnya. Ia memejamkan matanya untuk mengusir pandangan mata yang sempat kabur.
“Tidak, ini benar aku. Aku sudah kembali.” Sean membelai lembut pipi Freya. Sean terkejut, Freya demam. Mungkin karena, terlalu lama dia berada di luar ruangan.
“Kita masuk dulu, Freya. Kamu demam,” ajaknya.
“Tidak! Jauh-jauh dariku. Berhenti memberiku perhatian, Sean. Kita tidak akan bersama. Lupakan impianmu, lupakan aku, lupakan kita pernah bersama.” Freya menepis tangan Sean dengan kasar. Dia nekat menembus hujan.
Membiarkan tubuhnya basah oleh tangisan alam. Ia terus berlari menjauh dari Sean. Akan tetapi, pria itu tidak berdiam diri semata. Ia mengejar Freya.
“Tunggu, Freya. Tidak masalah jika kau membenciku. Setidaknya pikirkan bayimu.”
“Berhenti ikut campur urusan bayiku, Sean! Kamu bukan siapa-siapa baginya, jangan berbuat lebih jauh!” bentak, Freya. Ia masih saja keras kepala.
“Tidak bisa, Freya. Kamu boleh saja mengacuhkan aku, tapi kamu tidak berhak menjauhkanku darinya. Dia keponakanku. Jika, Sky tidak mau bertanggung jawab, aku siap menjadi ayahnya.”
“Hentikan! Kau sungguh tuli, Sean?! Aku katakan ratusan kali, jangan pernah bermimpi untuk menikahiku! Aku lebih baik menjadi wanita hina dengan hamil tanpa suami ketimbang harus menikah denganmu!” Kembali, ia menjauh dari pria itu.
Akan tetapi, tak gentar juga, Sean memaksa gadis kepala batu itu. “Aku tidak akan menyerah, Freya. Aku akan berjuang untukmu. Untuk anakmu dan buah hati adikku,” tutur Sean dengan sungguh-sungguh.
Freya menangis, wajahnya parau. Ia menatap wajah Sean dengan saksama kemudian memeluk tubuh jangkung di hadapannya.
“Apa salahku? Kenapa Sky tidak mau menikahiku, Sean? Apakah aku wanita yang buruk?”
“Bukan. Kamu tidak seburuk itu, Freya. Dia mencintaimu. Dia menyukaimu. Kamu tahu betul alasannya. Sky memiliki impian yang sejak dulu ingin dia raih. Impian ayah kita.”
“Tapi, Ayahmu dan ayahnya sudah tiada ‘kan? Kenapa dia harus melanjutkan apa yang tidak seharusnya dia lakukan, Sean?”
Pria itu mendekap kian erat tubuh Freya yang menggigil. Membiarkan hujan membalut tubuh mereka, Sean sudah kehilangan payung biru miliknya sejak mengejar gadis itu tadi.
“Kemarilah.” Sean membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Menyalakan penghangat di bangku kemudi dan satu bangku di sebelahnya.
Sean juga meraih jas yang ada di bangku belakang. Ia tutup kedua bahu Freya agar lebih hangat. Bibir gadis itu pucat, badannya menggigil. Sean menggenggam tangan kurus Freya dengan sesekali meniupnya.
“Jangan pikirkan hal lain kecuali kesehatanmu dan janinnya, ya. Bolehkah aku minta kau untuk bedrest, Freya?”
Freya terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia meggeleng. “Aku punya kehidupan lain, Sean. Kamu tahu itu. Aku punya adik, aku punya orangtua yang semua kebutuhannya aku tanggung. Kalau aku tidak bekerja, mereka tidak bisa makan.”
“Aku bisa bantu kamu, Freya. Aku bisa berikan apa pun yang kamu mau.”
“Jangan lakukan itu, Sean. Kamu bisa dapatkan wanita yang lebih dari aku. Aku jahat sama kamu, aku bukan wanita yang tepat untukmu. Aku hina, aku tidak lagi utuh,” lirih Freya. Dia sungguh malu dihadapkan dengan pria yang tulus dan lembut.
Sean adalah kesempurnaan, sementara dia hanyalah serpihan kayu. Tidak berguna yang akan berakhir sebagai bara api.
“Kamu tahu benar, aku mencintaimu, Freya. Dari awal hingga detik ini perasaanku tidak pernah surut. Tidak guna sekuat apa pun kamu mencoba menjelek-jelekan dirimu di depanku, kamu tetap keindahan. Kamu separuh kebahagiaanku, Freya.”
“Aku hanya akan menjadi luka untukmu, Sean. Mungkin sebesar cintamu padaku, maka sebesar itulah cintaku pada Sky. Tidak terganti dan tidak juga tergeser,” ungkap Freya. Ia membalas tatapan mata Sean.
Menyelami bagaimana indah mata cokelat milik pria itu. Sama halnya Freya yang menghabiskan perasaannya dengan Sky. Begitulah perasaan Sean pada gadis itu. Mereka berada dalam cinta segitiga dengan hubungan darah antara Sean dan Sky.
“Kita bisa pikirkan ini lain waktu. Sekarang aku antar kamu pulang. Ini sudah terlalu larut untukmu.” Sean melepaskan genggaman tangannya dan beralih untuk mencengkeram kemudi.
Mobil putih itu melaju, menerjang sunyinya malam ibu kota. Freya tetap duduk dengan posisi yang sama. Menghadap pada Sean. Namun, ia menundukkan wajahnya. Memainkan ujung kukunya untuk mengikis tepian kuku atau bahkan kuku yang lain.
Sean meraih jemarinya. Itu hal yang dilakukan untuk menghentikan rasa cemas dan khawatir dalam diri Freya.
“Apa yang ingin kamu katakan?” Hanya dengan gerak-gerik Freya yang demikian saja, Sean bisa menebak ada satu atau dua hal yang ingin Freya ketahui.
Satu tahun mengenal Freya, pria itu cukup mampu memahami bagaimana sikap dan sifat gadis yang ia kehendaki.
“Apa dia mengatakan sesuatu? Apakah dia tahu hubungan kita, Sean?” suara Freya serak dan bergetar.
Sebenarnya Sean tidak ingin menceritakan apa pun tentang sikap dan juga tanggapan Sky di sana. Namun, Sean juga tidak bisa terus membohongi dirinya dan juga Freya. Gadis itu harus tahu apa yang sebenarnya dikatakan oleh adiknya.
“Apakah kamu akan memercayaiku, Freya?”
“Mungkin aku bisa mempertimbangkannya. Aku tidak bisa mengatakan aku tidak percaya, tetapi kadang aku tidak sependapat dengan pemikiran atau penyampaianmu, Sean.”
“Sky mencintaimu. Aku sudah katakan tadi ‘kan? Ya, itu kenyataan yang harus kamu ketahui dan simpan rapat dalam hatimu, Freya.”
“Kamu tidak berdusta?”
Sean menoleh pada Freya dan mengangguk. Ia juga memberikan senyuman manis yang selalu dia tunjukkan ketika ia berkata dengan jujur.
“Tapi— ke—”
“Aku juga sudah katakan alasannya kenapa dia belum ingin menikah ‘kan? Ini bisa kalian jadikan pelajaran. Sungguh, aku tidak menyalahkan kamu, Freya. Aku tahu, terkadang cinta mampu membawa seseorang kejurang kehancuran paling dalam, atau bahkan ke lautan lepas lalu kita hilang kendali dan tergulung olehnya.”
“Aku tahu kamu adalah laki-laki yang bijak, Sean. Orangtuamu berhasil mendidikmu.”
“Aku tahu. Mereka memang yang terbaik. Aku akan mengenalkanmu pada anggota keluargaku lain kali. Kalau kamu tidak sibuk.”
“Sky tidak pernah membahas keluarganya. Dia hanya terus bilang, kalau keluarganya mendukung penuh hobi dan impiannya.”
“Ayah kita adalah orang yang paling mendukung kegiatan itu, Freya. Kau akan tahu kisahnya nanti. Setelah kau benar-benar siap.”
“Apa Sky mengatakan sesuatu tentang hubungan kita? Apa dia tahu, Sean?” Freya belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, hingga dia harus mengulang lagi. Dia sungguh ingin tahu.
“Ya— aku minta maaf. Aku mengatakannya.”
“Apa dia menyangkal anak ini?”
Sean kembali menatap wajah Freya. Kali ini lebih lama karena mobil yang mereka naiki telah tiba di rumah Freya. Tepat di depan gang yang biasa gadis itu lalui.
“Aku tahu dia pasti mengatakan itu. Terkadang aku lebih baik kehilangan bayi ini ketimbang Sky. Aku tidak butuh bayi, aku butuh dia, Sean.”
“Jangan pernah berpikir begitu, Freya. Bayangkan suatu saat dia kembali dan kalian bersatu karena bayi itu. Bukankah itu lebih baik?”
“Aku tidak tahu, apakah aku bisa bertahan selama itu, Sean? Aku tidak sekuat itu. Aku kehilangan arah sejak tahu kalau aku hamil. Aku belum siap dengan semua ini. Aku tidak pernah siap kehilangan Sky.” Lagi-lagi gadis itu menangis.
Sean tahu ini berat. Mereka sudah menjalin hubungan selama tiga tahun, bahkan Sky pernah sempat ingin membawa Freya ke London dan hidup bersama di sana. Namun, gadis itu menolak, dia punya keluarga, dia punya tangung jawab di sini.
Kemudian, semuanya hilang begitu saja hanya karena kecerobohan mereka. Semua ini tidak sepenuhnya salah Freya. Mereka melakukannya atas dasar suka sama suka, jadi tidak ada yang benar-benar bersalah.
“Kamu ingin tahu apa yang dikatakan Sky padaku?”
Freya tidak melontarkan sepatah kata pun, tetapi dia setia menelisik sorot mata Sean, kekasih keduanya.
“Aku meminta izin menikahimu, Freya. Kalau memang dia belum siap. Aku akan menjagamu. Aku tidak akan pernah melarangmu memberikan kabar atau bertukar pesan dengannya. Itu hakmu, tapi kumohon izinkan aku berdiri di sampingmu. Menuntun langkahmu, mendorongmu untuk lebih kuat lagi, dan menarikmu dalam kehidupan yang lebih berwarna.”
Seharusnya itu sudah cukup bagi seorang wanita memercayai sebesar apa cinta Sean pada kekasihnya bukan? Akan tetapi, tidak bagi Freya. Dia memang bodoh, dia tolol dan buta hati. Dia tidak pernah bisa menilai begitu tulusnya Sean menerima dirinya.
Dia hanya tahu kalau, Sky adalah yang pertama dan terakhir untuknya. Seperti apa yang dimimpikan Sky, jika menjadi juara dunia patut diperjuangkan, maka, begitulah perasaan Freya padanya. Sky patut untuk dipertahankan sampai akhir.
“Kamu tidak perlu menjawabnya hari ini. Aku punya banyak waktu untuk menunggumu. Aku punya setumpuk kesabaran untuk menanti jawabannya, Freya,” tambah Sean. Sekali lagi dia tersenyum.
“Aku pamit. Terima kasih sudah mengantarku.” Freya memutuskan untuk tidak menanggapi pernyataan, Sean. Ia turun dan mengabaikan tubuhnya yang kembali menggigil. Hujan masih setia turun. Jas Sean juga setia memeluk tubuhnya yang terlihat kurus.
Sean menatap kepergian Freya, hatinya lara melihat kekasihnya menderita dan ringkih. “Aku akan menjagamu, Freya. Aku akan tetap bersamamu. Entah siapa yang nanti akhirnya kau pilih,” gumam Sean. Kemudian melanjutkan kembali mobilnya kembali ke rumah.
**
“Baru pulang, Kak? Ke mana aja, sih? Dari kemarin kakak nggak bisa ditelpon. Oh— Tuhan, kenapa aku punya kakak dan adik yang setiap hari kerjanya keluar rumah?” celotehan, Zi sudah memberondong kehadiran Sean.
Bahkan pria itu tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat. Tidak peduli jika pakaian sang kakak basah, Zia tetap memeluk tubuh tinggi besar Sean.
“Dasar manja.” Sean mencubit hidung adik perempuan pertamanya.
“Akh! Sakit, kakak dari mana, sih?”
“Melamar seorang wanita.”
“What?!” Zia memekik tidak percaya. Selama ini dia tidak pernah tahu kakaknya menjalin hubungan dengan seorang wanita mana pun, lalu tiba-tiba dia mengatakan barusan melamar seorang gadis?
"Selamat datang, silakan." Gadis dengan rambut sebahu itu mengulurkan daftar menu pada pelanggannya.Seperti hari-hari biasanya, Freya giat sekali bekerja. Sebagai generasi sandwich, gadis itu bahkan memiliki pekerjaan lain selain sebagai pelayan di rumah makan ini. Nanti, setelah jarum jam berada di angka empat sore, dia akan menjadi kasir di sebuah toko buku hingga malam tiba. "Saya pesan makanan yang paling rekomended saja, Mbak," ucap pelanggan tanpa membuka buku menu. "Baik, mohon ditunggu sebentar, ya." Freya balas dengan senyum lebar khas dirinya.Disela-sela pekerjaan yang dilakoni, sembari menunggu pesanan disiapkan untuk diantar ke meja pelanggan, ponsel yang berada disaku celemeknya bergetar. [Babe, nanti sore aku latihan. Aku akan minta timku untuk mengirim link live streaming padamu, jangan lupa tonton, ya]Freya menghela napas kasar membaca rentetan pesan yang Sky kirim. Namun dia bisa apa selain berpura-pura mendukungnya. Freya tahu pendapatnya hanya akan berakhir de
Bagian 3“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call. Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”“Percayalah aku akan baik-baik saja.”“Hm—”“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana
Freya berjalan begitu saja melewati keberadaan tamunya. Bagaimana tidak Sean-lah yang datang ke rumahnya. Mulut gadis itu terasa berbusa, dia sudah katakan tidak ingin ditemui oleh pria itu, tetapi Sean benar-benar kepala batu.“Freya, tunggu!” Laki-laki itu bangkit dan mengejar Freya yang berjalan dengan langkah cepat. Dia bahkan sibuk memainkan ponselnya untuk memesan ojek online.Panggilan, Sean sama sekali tidak diindahkan oleh Freya. Dia tetap terus melangkah hingga hampir tiba di ujung gang, Sean menghadang jalan. Menutup akses Freya agar tidak lagi menghindar darinya. Tangan Sean terangkat dan menekan kedua lengan Freya.“Freya. Aku tahu kamu membenciku. Aku tidak menutup fakta itu. Aku hanya ingin melihatmu senang, Freya.”“Jika itu yang kamu inginkan, jauhi aku! Pergi jauh dariku Sean! Menghilanglah! Itu adalah kebahagiaanku! Kamu tahu aku menyesal menerimamu! Aku menyesal mengenalmu!” Freya histeris.Semua ini karena hubungan mereka. Freya kehilangan Sky karena Sean. Sky tid
Sebelum keluar dari mobil, Sean mencekal tangan Freya. Gadis itu menoleh dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pria di sisinya tersebut.Sean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berbentuk geometris. Transparan dan tampak jelas isian kotak itu.Ia menyodorkannya pada Freya. "Bukalah.""Tolong jangan secepat ini, Sean," tolak Freya."Tidak. Dengar, kamu pakai untuk saat ini saja. Kamu tidak mau 'kan di dalam orang berpikir macam-macam tentangmu?"Kendati itu hanya sebuah alasan untuk Sean, tetapi niatnya lurus. Dia menjaga nama baik Freya.Sean sama sekali tidak mau kalau Freya dipandang buruk oleh orang lain, bahkan adiknya sekalipun."Setelah itu aku akan melepasnya."Sean mengangguk menyetujui. Akhirnya tangan kecil milik Freya meraih kotak yang berbahan kaca itu dari tangan Sean.Senyum Sean merekah, dia senang. Dia bersyukur Freya memahami jalan pikirannya.Freya membukanya. Tidak
Freya menatap tajam mata Sean. Siap untuk memakinya.“Kenapa?” tanya Sean dengan polos. Dia memang tidak merasa bersalah dalam hal apa pun.“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Di dalam kita hanya pura-pura, Sean! Kenapa, kamu tidak katakan saja kalau kamu bahkan tidak ingin tahu tentang apa yang dikatakan oleh Dokter?” sanggah Freya berapi-api.“Tentang apa? Oh— tentang berhubungan itu? Aku bahkan sudah lupa apa yang dikatakan oleh Dokter.”“Itu kamu ingat ‘kan? Aku malu, Sean!”“Hei, tenang. Kalau aku katakan apa yang sebenarnya terjadi, sia-sia saja dong apa yang aku lakukan sejauh ini?” Sean kembali menjerat jemari Freya dengan lembut. “Sudah, ya. Sebaiknya kita jalan. Kamu mau ke mana? Mumpung libur kamu bisa jalan-jalan. Aku akan temani,” tambah Sean.“Aku ingin pulang,” tolak Freya. Dia bahkan tidak ada waktu untuk bersenang-senang selama ini. Mungk
Mobil HRV putih yang dikendarai Sean dan Freya sudah memasuki halaman rumah. Kediaman yang masih menyimpan sejuta kenangan indah dari kedua orangtuanya.Sean memutar langkah guna membuka pintu untuk Freya.Sama layaknya Divya dulu, Freya pun dibuat takjub dengan tanaman yang memenuhi halaman rumah serta di bagian lantai peling tinggi, ia melihay tanaman hias yang bergelayut menjuntai ke bawah."Ayo!" Sean menggandeng tangan Freya sarat akan kasih."Ini rumahmu?"Sean mengangguk. "Juga Sky dan dua adikku yang lain.""Kalian empat bersaudara?""Ya. Sky tidak pernah bercerita?" Freya menggeleng, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kekasihnya.Sky hanya terus membahas tentang masa depan mereka kelak serta hobi dan keluarga Freya sendiri. Dia sangat tertutup tentang keluarganya."Mungkin Sky belum menerima kepergian orangtua kita," tandas Sean.Jemari kokoh itu mendorong tuas pintu. Dekorasi dan tatanan bufet se
Sean tidak sabar menunggu kembalinya, Freya. Hingga tiba di ambang pintu ia melihat gadis yang dia nantikan tersungkur dengan muka memar di pipi. Tidak hanya itu, ada bekas tusukan kuku di lengannya.“Siapa yang lakukan ini, Freya?” Pria itu tidak habis pikir. Freya hanya seorang wanita. Dia patut dilindungi bukan justru dianiaya seperti itu. Sean juga penasaran siapa pelakunya. Jikalau pelakunya kabur seharusnya dia melihatnya di depan gang bukan?“Kita harus segera pergi, Sean. Aku sudah dapatkan apa yang dibutuhkan,” ajak, Freya tanpa mau menjelaskan rasa keingintahuan yang melanda oleh Sean.“Tunggu, aku ingin tahu kamu kenapa dan siapa yang melakukannya,” hadang, Sean.“Aku akan jelaskan nanti di mobil,” lirihnya.Tanpa diminta lagi, keduanya keluar dari rumah. Sean masih mengedarkan pandang di dalam rumah Freya, hingga gadis itu menarik tangan besarnya. Dia tidak rela melihat Freya yang tadinya