Share

Bagian 5

"Selamat datang, silakan." Gadis dengan rambut sebahu itu mengulurkan daftar menu pada pelanggannya.

Seperti hari-hari biasanya, Freya giat sekali bekerja. Sebagai generasi sandwich, gadis itu bahkan memiliki pekerjaan lain selain sebagai pelayan di rumah makan ini. Nanti, setelah jarum jam berada di angka empat sore, dia akan menjadi kasir di sebuah toko buku hingga malam tiba.

"Saya pesan makanan yang paling rekomended saja, Mbak," ucap pelanggan tanpa membuka buku menu.

"Baik, mohon ditunggu sebentar, ya." Freya balas dengan senyum lebar khas dirinya.

Disela-sela pekerjaan yang dilakoni, sembari menunggu pesanan disiapkan untuk diantar ke meja pelanggan, ponsel yang berada disaku celemeknya bergetar.

[Babe, nanti sore aku latihan. Aku akan minta timku untuk mengirim link live streaming padamu, jangan lupa tonton, ya]

Freya menghela napas kasar membaca rentetan pesan yang Sky kirim. Namun dia bisa apa selain berpura-pura mendukungnya. Freya tahu pendapatnya hanya akan berakhir dengan perdebatan.

[ Iya, Sky. Aku akan menontonnya. Jangan buat aku kecewa. Jaga dirimu baik-baik]

"Simpan ponselmu, Freya. Bekerjalah dengan baik atau bos akan memecatmu," celetuk seorang teman.

“Oke, maaf.” Freya lekas menyimpan kembali ponselnya dan pergi mengantarkan pesanan. “Selamat menikmati,” katanya, masih dengan senyum ramah dan meletakkan dua hidangan terlaris di atas meja.

Freya berputar badan dan mendekati meja berikutnya. “Sila— Om? Astaga, dunia kecil sekali, pagi-pagi sudah nongkrong, ya?” seru Freya heboh.

Ia dipertemukan kembali dengan Sean. Seenak jidat dia memanggilnya dengan sebutan ‘Om’. Sementara pria itu hanya menaikkan sebelah alisnya serta mengerutkan dahi. Dia khawatir dengan perspektif rekan kerja yang duduk di sampingnya. Tangannya bahkan sampai terangkat menggaruk pelipisnya. Ingin rasanya, Sean membungkam mulut Freya.

“Keponakanmu?” tanya, salah satu partner kerja Sean. Dia memerhatikan dengan jeli reaksi Sean dan Freya.

Gadis itu seketika melotot galak dan menggeleng cepat. “Bukan! Enak saja, dia— ehm— Om taksi, ya— sebut saja begitu.” Kali ini, Sean mendelik padanya.

“Eh salah, ya?” gumam Freya.

“Oh— aku tahu, kalian pacaran, ya?” sahut salah seorang lagi.

“Diamlah, bukan. Kalian salah paham. Baik, kita mau pesan. Berikan menunya,” tukas Sean cepat. Mengalihkan fokus dua orang yang telah mengelilingi meja itu.

Niatnya, mereka membahas masalah proyek baru dengan lebih santai di rumah makan ini. Namun, yang didapatkan justru hal tidak terduga yang membuat Sean kebakaran jenggot.

“Baik, ditunggu pesanannya, ya, Om.” Sean merangkus wajahnya sembari menunduk. Sungguhkah dia harus dipanggil Om?

“Saya baru tahu kalau ternyata memilih resto ini ada maksud lain selain tempatnya terasa asri.”

“Oh—atau sarapan hanyalah modus buat Tuan Sean Arshaka?”

“Tidak, ayolah! Aku bahkan tidak kenal dengannya.”

“Kenapa tidak kenalan?” sergah pria dengan jas maroon.

Sean bungkam, dia tidak ada niat untuk melanjutkan guyonan mereka. Keduanya langsung disodori sebuah map yang berisikan tumpukan kertas. Mereka harus membaca dan memahami konteks yang ada di sana agar mengenal bagaimana cara kerjasama yang ditawarkan olehnya.

“Sebaiknya memang kita langsung belajar saja,” tandas Sean seolah mentertawakan seraut wajah kesal mereka.

Beberapa menit, tangan kecil Freya kembali dengan nampan penuh pesanan Sean. Ia hendak meletakkan soto pesanan pria itu dan Rawon milik rekan kerjanya. Nahasnya, seekor anjing berlari kearahnya dan membuat Freya terkejut hingga hal tidak diduga terjadi.

“Woah! Ehm—” Hampir saja, Sean mengumpat. Namun, ia lekas menutup mulutnya dengan rapat. Bukan hanya pakaiannya kotor akibat kecerobohan Freya, ia juga merasa kepanasan karena kuah soto yang tumpah tersebut.

“Maafkan, saya, Om. Sungguh, saya tidak sengaja,” sesal Freya. “Itu anjing emang!”

“Kamu mengumpat saya?” sela Sean.

Freya menggeleng cepat, “Tidak, bukan! Itu ada anjing tadi. Anda melihatnya bukan?” elak Freya, jujur.

Mata Sean terpejam, ia berusaha untuk menahan amarahnya.

“Bagaimana, sih, Mbak? Makanya hati-hati! Aku kasih penilaian buruk resto ini!” ancam rekan kerja Sean. Dia keki melihat Sean yang hanya bungkam saja.

“Sudah-sudah. Tidak apa-apa, lain kali lebih hati-hati,” potong, Sean.

“Baik, Om. Saya minta maaf. Boleh saya bantu cuci kemeja Anda? Saya akan antarkan sekaligus dengan payung Anda.”

Tanpa kata, Sean melepaskan kemejanya dan menyisakan kaos polos putih yang membungkus tubuhnya dan meyerahkan kemeja serta jas hitam yang dia kenakan tadi pada Freya.

“Lain kali hati-hati. Untung Tuan Sean, kalau kena orang lain, habis karirmu.” Sekali lagi, teman Sean membuat ketakutan Freya meningkat.

“Sudah jangan dibesar-besarkan.” Sean tidak ingin seseorang kehilangan pekerjaan.

Gadis itu lekas kembali ke belakang dan di sana dia dimaki habis-habisan oleh sang bos. Bagaimanapun, ini murni karena kecelakaan, hingga dirinya masih aman.

**

Dalam perjalanan pulang ke rumah, Freya terus menatap layar ponselnya. Dia memusatkan bola matanya pada sebuah motor sport besar bewarna biru putih dengan nomor sebelas di bagian depan motor tersebut.

Tegang, itulah yang dirasakan Freya, dia bahkan menggigit ujung kukunya mencoba meredam ketakutannya, bagaimana tidak? Motor sport itu melaju dengan sangat kencang. Berada di barisan ke dua dari dua puluh dua peserta. Tidak! mungkin hanya tersisa sebelas orang karena ada yang terguling dan terjatuh tadi.

“Please, lindungi dia Tuhan. Lindungi dia,” rintihnya. Memohon pada pemilik nyawa agar kekasihnya tidak mendapatkan kesialan hari ini.

Dua belas lap harus dilalui dalam pelatihan kali ini. Sky akan bertanding tepat akhir pekan nanti. Hanya doa yang mampu diserukan Freya sekarang.

“Yeah! Good job, Sky!” teriaknya begitu lap terakhir berhasil dilalui. Bahkan tangannya reflek memukul bahu kang ojek.

Ia juga tidak peduli jika Sky berada di posisi nomor dua. Bagi, Freya yang penting pujaan hatinya selamat.

“Aduh, Mbak! Telinga dan bahu saya sakit, ada apa?!” seketika ojek online itu berhenti mendadak.

“Maaf, Pak. Tidak ada apa-apa. Ayo lanjut saja,” perintah Freya.

“Lanjut ke mana, Mbak? Kita sudah sampai,” paparnya sembari menoleh ke arah gadis yang masih menunggang jok motor bututnya.

“Oh— udah sampai, ya. Maaf, Pak. Saya tidak tahu.” Freya turun dan berlalu begitu saja.

“Mbak! Helmnya,” teriak pria tua itu.

“Oh— iya, lupa lagi, Pak. Maaf, ini, ya.” Tangan kurusnya mengulurkan helm berwarna hijau dengan senyum manis menghiasi wajahnya.

“Eh, mbak!” Freya yang semula sudah memasuki gang pun dibuat berhenti dan menoleh kembali.

“Apalagi, sih, Pak? Mau numpang berak?”

“Bukan, Mbak. Mbaknya belum bayar, ‘kan tunai keterangannya di sini.”

“Aduh!” Freya menepuk dahinya pelan. Entah kenapa dia selalu pikun dan ceroboh.

“Maaf, ya, pak. Ini, ambil aja kembaliannya.”

“Ye, si embak, ini kembalian juga cuma serebu masa mau diminta?”

“Boleh saja kalau bapak tambahin.” Keduanya meringis bersamaan. Kemudian Freya dan tukang ojek memisahkan diri.

Ia harus bergegas membersihkan diri dan segera pergi ke toko buku. Freya mesti berganti tugas.

“Mbak, bagi uang ada? Aku mau nonton sama temen.” Baru juga selangkah ke dalam rumah, sang adik sudah harus menodongnya dengan permintaan yang menurutnya sangat tidak penting.

“Nggak ada, Ja. Mbak belum gajian, nanti aja kalau udah gajian dari toko buku, ya,” jelasnya. Lelah di wajah Freya seolah tidak dipedulikan oleh remaja tanggung itu. 

Di luar rumah, Freya bisa saja berpura-pura tegar. Tapi begitu tiba di rumah, dia justru tidak mampu menyembunyikan rasa lelah dan frustasinya.

“Masa nggak ada uang sama sekali, sih? Kan harusnya sisa uang, Mbak ada,” sembur Raja.

“Ada, Ja. Tapi buat nyambung idup. Siapa tahu gajian mbak diundur ‘kan? Lagian nonton bisa lain waktu, kalau mbak ada rejeki tambahan,” tutur Freya. Berharap kalau adiknya mau mengerti posisinya saat ini.

“Bilang aja pelit!” Setelah mengatakan hal itu, Raja sengaja menabrak bahu Freya dan membanting pintu di belakang sang kakak hingga gadis itu memejamkan matanya, terkejut.

“Yang sabar, ya, Mbak. Kalau Dinda sudah besar nanti, Dinda bantu cari duit,” kata adik Freya yang paling kecil.

“Eh— ngomong apa? Nggak ada, tugas Dinda hanya belajar. Nggak usah bingung sama duit.” Senyum Freya terkembang. Hanya Dinda alasan Freya mau kembali ke rumah.

Gadis berusia sepuluh tahun itu terkadang lebih memanusiakan Freya ketimbang orang tua dan adik pertamanya.

“Aku sudah siapin bekal buat Mbak. Mbak bisa mandi dan berangkat.” Lagi-lagi senyum manis dengan lesung pipi itu terlihat di mata Freya. Ia mengangguk dan mendaratkan kecupan hangat pada dahi adiknya.

“Terima kasih, ya.” Freya pun pergi, menghilang di balik pintu kamarnya dan menatap ranjang sempit miliknya.

Ingin rasanya ia merebahkan tubuh barang sejenak. Akan tetapi, perjalanannya menuju toko cukup memakan waktu sehingga dia tidak bisa membuang waktu walau hanya lima menit saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status