"Selamat datang, silakan." Gadis dengan rambut sebahu itu mengulurkan daftar menu pada pelanggannya.
Seperti hari-hari biasanya, Freya giat sekali bekerja. Sebagai generasi sandwich, gadis itu bahkan memiliki pekerjaan lain selain sebagai pelayan di rumah makan ini. Nanti, setelah jarum jam berada di angka empat sore, dia akan menjadi kasir di sebuah toko buku hingga malam tiba.
"Saya pesan makanan yang paling rekomended saja, Mbak," ucap pelanggan tanpa membuka buku menu.
"Baik, mohon ditunggu sebentar, ya." Freya balas dengan senyum lebar khas dirinya.
Disela-sela pekerjaan yang dilakoni, sembari menunggu pesanan disiapkan untuk diantar ke meja pelanggan, ponsel yang berada disaku celemeknya bergetar.
[Babe, nanti sore aku latihan. Aku akan minta timku untuk mengirim link live streaming padamu, jangan lupa tonton, ya]
Freya menghela napas kasar membaca rentetan pesan yang Sky kirim. Namun dia bisa apa selain berpura-pura mendukungnya. Freya tahu pendapatnya hanya akan berakhir dengan perdebatan.
[ Iya, Sky. Aku akan menontonnya. Jangan buat aku kecewa. Jaga dirimu baik-baik]
"Simpan ponselmu, Freya. Bekerjalah dengan baik atau bos akan memecatmu," celetuk seorang teman.
“Oke, maaf.” Freya lekas menyimpan kembali ponselnya dan pergi mengantarkan pesanan. “Selamat menikmati,” katanya, masih dengan senyum ramah dan meletakkan dua hidangan terlaris di atas meja.
Freya berputar badan dan mendekati meja berikutnya. “Sila— Om? Astaga, dunia kecil sekali, pagi-pagi sudah nongkrong, ya?” seru Freya heboh.
Ia dipertemukan kembali dengan Sean. Seenak jidat dia memanggilnya dengan sebutan ‘Om’. Sementara pria itu hanya menaikkan sebelah alisnya serta mengerutkan dahi. Dia khawatir dengan perspektif rekan kerja yang duduk di sampingnya. Tangannya bahkan sampai terangkat menggaruk pelipisnya. Ingin rasanya, Sean membungkam mulut Freya.
“Keponakanmu?” tanya, salah satu partner kerja Sean. Dia memerhatikan dengan jeli reaksi Sean dan Freya.
Gadis itu seketika melotot galak dan menggeleng cepat. “Bukan! Enak saja, dia— ehm— Om taksi, ya— sebut saja begitu.” Kali ini, Sean mendelik padanya.
“Eh salah, ya?” gumam Freya.
“Oh— aku tahu, kalian pacaran, ya?” sahut salah seorang lagi.
“Diamlah, bukan. Kalian salah paham. Baik, kita mau pesan. Berikan menunya,” tukas Sean cepat. Mengalihkan fokus dua orang yang telah mengelilingi meja itu.
Niatnya, mereka membahas masalah proyek baru dengan lebih santai di rumah makan ini. Namun, yang didapatkan justru hal tidak terduga yang membuat Sean kebakaran jenggot.
“Baik, ditunggu pesanannya, ya, Om.” Sean merangkus wajahnya sembari menunduk. Sungguhkah dia harus dipanggil Om?
“Saya baru tahu kalau ternyata memilih resto ini ada maksud lain selain tempatnya terasa asri.”
“Oh—atau sarapan hanyalah modus buat Tuan Sean Arshaka?”
“Tidak, ayolah! Aku bahkan tidak kenal dengannya.”
“Kenapa tidak kenalan?” sergah pria dengan jas maroon.
Sean bungkam, dia tidak ada niat untuk melanjutkan guyonan mereka. Keduanya langsung disodori sebuah map yang berisikan tumpukan kertas. Mereka harus membaca dan memahami konteks yang ada di sana agar mengenal bagaimana cara kerjasama yang ditawarkan olehnya.
“Sebaiknya memang kita langsung belajar saja,” tandas Sean seolah mentertawakan seraut wajah kesal mereka.
Beberapa menit, tangan kecil Freya kembali dengan nampan penuh pesanan Sean. Ia hendak meletakkan soto pesanan pria itu dan Rawon milik rekan kerjanya. Nahasnya, seekor anjing berlari kearahnya dan membuat Freya terkejut hingga hal tidak diduga terjadi.
“Woah! Ehm—” Hampir saja, Sean mengumpat. Namun, ia lekas menutup mulutnya dengan rapat. Bukan hanya pakaiannya kotor akibat kecerobohan Freya, ia juga merasa kepanasan karena kuah soto yang tumpah tersebut.
“Maafkan, saya, Om. Sungguh, saya tidak sengaja,” sesal Freya. “Itu anjing emang!”
“Kamu mengumpat saya?” sela Sean.
Freya menggeleng cepat, “Tidak, bukan! Itu ada anjing tadi. Anda melihatnya bukan?” elak Freya, jujur.
Mata Sean terpejam, ia berusaha untuk menahan amarahnya.
“Bagaimana, sih, Mbak? Makanya hati-hati! Aku kasih penilaian buruk resto ini!” ancam rekan kerja Sean. Dia keki melihat Sean yang hanya bungkam saja.
“Sudah-sudah. Tidak apa-apa, lain kali lebih hati-hati,” potong, Sean.
“Baik, Om. Saya minta maaf. Boleh saya bantu cuci kemeja Anda? Saya akan antarkan sekaligus dengan payung Anda.”
Tanpa kata, Sean melepaskan kemejanya dan menyisakan kaos polos putih yang membungkus tubuhnya dan meyerahkan kemeja serta jas hitam yang dia kenakan tadi pada Freya.
“Lain kali hati-hati. Untung Tuan Sean, kalau kena orang lain, habis karirmu.” Sekali lagi, teman Sean membuat ketakutan Freya meningkat.
“Sudah jangan dibesar-besarkan.” Sean tidak ingin seseorang kehilangan pekerjaan.
Gadis itu lekas kembali ke belakang dan di sana dia dimaki habis-habisan oleh sang bos. Bagaimanapun, ini murni karena kecelakaan, hingga dirinya masih aman.
**
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Freya terus menatap layar ponselnya. Dia memusatkan bola matanya pada sebuah motor sport besar bewarna biru putih dengan nomor sebelas di bagian depan motor tersebut.
Tegang, itulah yang dirasakan Freya, dia bahkan menggigit ujung kukunya mencoba meredam ketakutannya, bagaimana tidak? Motor sport itu melaju dengan sangat kencang. Berada di barisan ke dua dari dua puluh dua peserta. Tidak! mungkin hanya tersisa sebelas orang karena ada yang terguling dan terjatuh tadi.
“Please, lindungi dia Tuhan. Lindungi dia,” rintihnya. Memohon pada pemilik nyawa agar kekasihnya tidak mendapatkan kesialan hari ini.
Dua belas lap harus dilalui dalam pelatihan kali ini. Sky akan bertanding tepat akhir pekan nanti. Hanya doa yang mampu diserukan Freya sekarang.
“Yeah! Good job, Sky!” teriaknya begitu lap terakhir berhasil dilalui. Bahkan tangannya reflek memukul bahu kang ojek.
Ia juga tidak peduli jika Sky berada di posisi nomor dua. Bagi, Freya yang penting pujaan hatinya selamat.
“Aduh, Mbak! Telinga dan bahu saya sakit, ada apa?!” seketika ojek online itu berhenti mendadak.
“Maaf, Pak. Tidak ada apa-apa. Ayo lanjut saja,” perintah Freya.
“Lanjut ke mana, Mbak? Kita sudah sampai,” paparnya sembari menoleh ke arah gadis yang masih menunggang jok motor bututnya.
“Oh— udah sampai, ya. Maaf, Pak. Saya tidak tahu.” Freya turun dan berlalu begitu saja.
“Mbak! Helmnya,” teriak pria tua itu.
“Oh— iya, lupa lagi, Pak. Maaf, ini, ya.” Tangan kurusnya mengulurkan helm berwarna hijau dengan senyum manis menghiasi wajahnya.
“Eh, mbak!” Freya yang semula sudah memasuki gang pun dibuat berhenti dan menoleh kembali.
“Apalagi, sih, Pak? Mau numpang berak?”
“Bukan, Mbak. Mbaknya belum bayar, ‘kan tunai keterangannya di sini.”
“Aduh!” Freya menepuk dahinya pelan. Entah kenapa dia selalu pikun dan ceroboh.
“Maaf, ya, pak. Ini, ambil aja kembaliannya.”
“Ye, si embak, ini kembalian juga cuma serebu masa mau diminta?”
“Boleh saja kalau bapak tambahin.” Keduanya meringis bersamaan. Kemudian Freya dan tukang ojek memisahkan diri.
Ia harus bergegas membersihkan diri dan segera pergi ke toko buku. Freya mesti berganti tugas.
“Mbak, bagi uang ada? Aku mau nonton sama temen.” Baru juga selangkah ke dalam rumah, sang adik sudah harus menodongnya dengan permintaan yang menurutnya sangat tidak penting.
“Nggak ada, Ja. Mbak belum gajian, nanti aja kalau udah gajian dari toko buku, ya,” jelasnya. Lelah di wajah Freya seolah tidak dipedulikan oleh remaja tanggung itu.
Di luar rumah, Freya bisa saja berpura-pura tegar. Tapi begitu tiba di rumah, dia justru tidak mampu menyembunyikan rasa lelah dan frustasinya.
“Masa nggak ada uang sama sekali, sih? Kan harusnya sisa uang, Mbak ada,” sembur Raja.
“Ada, Ja. Tapi buat nyambung idup. Siapa tahu gajian mbak diundur ‘kan? Lagian nonton bisa lain waktu, kalau mbak ada rejeki tambahan,” tutur Freya. Berharap kalau adiknya mau mengerti posisinya saat ini.
“Bilang aja pelit!” Setelah mengatakan hal itu, Raja sengaja menabrak bahu Freya dan membanting pintu di belakang sang kakak hingga gadis itu memejamkan matanya, terkejut.
“Yang sabar, ya, Mbak. Kalau Dinda sudah besar nanti, Dinda bantu cari duit,” kata adik Freya yang paling kecil.
“Eh— ngomong apa? Nggak ada, tugas Dinda hanya belajar. Nggak usah bingung sama duit.” Senyum Freya terkembang. Hanya Dinda alasan Freya mau kembali ke rumah.
Gadis berusia sepuluh tahun itu terkadang lebih memanusiakan Freya ketimbang orang tua dan adik pertamanya.
“Aku sudah siapin bekal buat Mbak. Mbak bisa mandi dan berangkat.” Lagi-lagi senyum manis dengan lesung pipi itu terlihat di mata Freya. Ia mengangguk dan mendaratkan kecupan hangat pada dahi adiknya.
“Terima kasih, ya.” Freya pun pergi, menghilang di balik pintu kamarnya dan menatap ranjang sempit miliknya.
Ingin rasanya ia merebahkan tubuh barang sejenak. Akan tetapi, perjalanannya menuju toko cukup memakan waktu sehingga dia tidak bisa membuang waktu walau hanya lima menit saja.
Bagian 3“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call. Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”“Percayalah aku akan baik-baik saja.”“Hm—”“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana
Freya berjalan begitu saja melewati keberadaan tamunya. Bagaimana tidak Sean-lah yang datang ke rumahnya. Mulut gadis itu terasa berbusa, dia sudah katakan tidak ingin ditemui oleh pria itu, tetapi Sean benar-benar kepala batu.“Freya, tunggu!” Laki-laki itu bangkit dan mengejar Freya yang berjalan dengan langkah cepat. Dia bahkan sibuk memainkan ponselnya untuk memesan ojek online.Panggilan, Sean sama sekali tidak diindahkan oleh Freya. Dia tetap terus melangkah hingga hampir tiba di ujung gang, Sean menghadang jalan. Menutup akses Freya agar tidak lagi menghindar darinya. Tangan Sean terangkat dan menekan kedua lengan Freya.“Freya. Aku tahu kamu membenciku. Aku tidak menutup fakta itu. Aku hanya ingin melihatmu senang, Freya.”“Jika itu yang kamu inginkan, jauhi aku! Pergi jauh dariku Sean! Menghilanglah! Itu adalah kebahagiaanku! Kamu tahu aku menyesal menerimamu! Aku menyesal mengenalmu!” Freya histeris.Semua ini karena hubungan mereka. Freya kehilangan Sky karena Sean. Sky tid
Sebelum keluar dari mobil, Sean mencekal tangan Freya. Gadis itu menoleh dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pria di sisinya tersebut.Sean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berbentuk geometris. Transparan dan tampak jelas isian kotak itu.Ia menyodorkannya pada Freya. "Bukalah.""Tolong jangan secepat ini, Sean," tolak Freya."Tidak. Dengar, kamu pakai untuk saat ini saja. Kamu tidak mau 'kan di dalam orang berpikir macam-macam tentangmu?"Kendati itu hanya sebuah alasan untuk Sean, tetapi niatnya lurus. Dia menjaga nama baik Freya.Sean sama sekali tidak mau kalau Freya dipandang buruk oleh orang lain, bahkan adiknya sekalipun."Setelah itu aku akan melepasnya."Sean mengangguk menyetujui. Akhirnya tangan kecil milik Freya meraih kotak yang berbahan kaca itu dari tangan Sean.Senyum Sean merekah, dia senang. Dia bersyukur Freya memahami jalan pikirannya.Freya membukanya. Tidak
Freya menatap tajam mata Sean. Siap untuk memakinya.“Kenapa?” tanya Sean dengan polos. Dia memang tidak merasa bersalah dalam hal apa pun.“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Di dalam kita hanya pura-pura, Sean! Kenapa, kamu tidak katakan saja kalau kamu bahkan tidak ingin tahu tentang apa yang dikatakan oleh Dokter?” sanggah Freya berapi-api.“Tentang apa? Oh— tentang berhubungan itu? Aku bahkan sudah lupa apa yang dikatakan oleh Dokter.”“Itu kamu ingat ‘kan? Aku malu, Sean!”“Hei, tenang. Kalau aku katakan apa yang sebenarnya terjadi, sia-sia saja dong apa yang aku lakukan sejauh ini?” Sean kembali menjerat jemari Freya dengan lembut. “Sudah, ya. Sebaiknya kita jalan. Kamu mau ke mana? Mumpung libur kamu bisa jalan-jalan. Aku akan temani,” tambah Sean.“Aku ingin pulang,” tolak Freya. Dia bahkan tidak ada waktu untuk bersenang-senang selama ini. Mungk
Mobil HRV putih yang dikendarai Sean dan Freya sudah memasuki halaman rumah. Kediaman yang masih menyimpan sejuta kenangan indah dari kedua orangtuanya.Sean memutar langkah guna membuka pintu untuk Freya.Sama layaknya Divya dulu, Freya pun dibuat takjub dengan tanaman yang memenuhi halaman rumah serta di bagian lantai peling tinggi, ia melihay tanaman hias yang bergelayut menjuntai ke bawah."Ayo!" Sean menggandeng tangan Freya sarat akan kasih."Ini rumahmu?"Sean mengangguk. "Juga Sky dan dua adikku yang lain.""Kalian empat bersaudara?""Ya. Sky tidak pernah bercerita?" Freya menggeleng, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kekasihnya.Sky hanya terus membahas tentang masa depan mereka kelak serta hobi dan keluarga Freya sendiri. Dia sangat tertutup tentang keluarganya."Mungkin Sky belum menerima kepergian orangtua kita," tandas Sean.Jemari kokoh itu mendorong tuas pintu. Dekorasi dan tatanan bufet se
Sean tidak sabar menunggu kembalinya, Freya. Hingga tiba di ambang pintu ia melihat gadis yang dia nantikan tersungkur dengan muka memar di pipi. Tidak hanya itu, ada bekas tusukan kuku di lengannya.“Siapa yang lakukan ini, Freya?” Pria itu tidak habis pikir. Freya hanya seorang wanita. Dia patut dilindungi bukan justru dianiaya seperti itu. Sean juga penasaran siapa pelakunya. Jikalau pelakunya kabur seharusnya dia melihatnya di depan gang bukan?“Kita harus segera pergi, Sean. Aku sudah dapatkan apa yang dibutuhkan,” ajak, Freya tanpa mau menjelaskan rasa keingintahuan yang melanda oleh Sean.“Tunggu, aku ingin tahu kamu kenapa dan siapa yang melakukannya,” hadang, Sean.“Aku akan jelaskan nanti di mobil,” lirihnya.Tanpa diminta lagi, keduanya keluar dari rumah. Sean masih mengedarkan pandang di dalam rumah Freya, hingga gadis itu menarik tangan besarnya. Dia tidak rela melihat Freya yang tadinya
Sebuah poster informasi tentang nobar yang akan diselenggarakan di resto tempat Freya berada saat ini. Minggu depan siaran langsung pertandingan balap motogp akan dipertontonkan dan tempat itu menggelar di rooftop restoran. Itulah yang menyita perhatian Freya, hingga dia tidak lekas memesan apa yang ingin dimakan olehnya.Sean menatap ke arah yang dituju oleh netra kekasihnya. Pria itu mengembuskan napas dengan perlahan.“Sebelum itu dimulai, kita sudah tiba di sana, Sayang. Kumohon jangan terlalu banyak pikiran,” pinta Sean. Dia sangat mencemaskan kondisi janin Freya. Kendati saat mereka cek up tadi, semuanya tampak normal. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan hasilnya akan berbeda jika, Freya terusa mermborbardir pikirannya dengan kecemasan pada orang lain— dengan kata lain, Sean cemburu.“Sedetik pun aku tidak pernah bisa mencegah memikirkan, Sky. Kamu yang katakan sendiri ‘kan? Aku boleh melakukan apa pun.”