Sean mengusap wajah dengan senyumnya yang tidak habis kira dengan pikirannya sendiri. Ia mati-matian mencemaskan kondisi gadis yang saat ini masih menikmati pelukan mimpi.
"Terima kasih, maaf merepotkan, ya," ungkapnya pada housekeeping.
Sepagi ini Sean sudah membuat onar dengan para petugas. Nyatanya, apa yang dia takutkan tidak terjadi sama sekali.
Freya tidur dengan nyaman dan nyenyak di ranjang luas nan empuk itu.
Pria dengan kaos putih oblong itu duduk di bibir ranjang. Menatap wajah yang begitu polos dan sendu.
Tangan Sean terulur membelai dengan lembut wajah ayu dan berseri milik wanita yang—jika bisa, ia ingin miliki sendiri.
"Kamu membuatku takut, Sayang."
Bisakah kamu tidur lebih lama agar aku bisa memandang, membelai dan memilikimu untukku sendiri? Menatapmu terlelap jauh lebih baik ketimbang saat kau membuka mata. Kamu selalu mengingatnya, bukan aku, batin Sean.
"Hhh aku mau minum punya
Sepanjang perjalanan pulang. Freya tidak banyak bicara. Ia hanya membisu di bangku. Mungkin apa yang sempat terpendam mencuat kembali. Mungkin juga dia kembali ingat akan semua permasalahan yang tengah dihadapi.“Aku ingin mengajakmu bertemu seseorang. Mungkin kamu tidak akan mau, tapi ini untuk kelancaran rencana besok, Freya.” Saat itu gadis bermata hitam pekat tersebut menoleh ke arah Sean.“Jangan bilang kalau itu ayah kandungku.” Tidak perlu menjawab, hanya dengan anggukan saja, Freya sudah tahu keabsahannya.“Bagaimana kamu menemukannya?” Suara Freya mengecil. Entah apa yang dia pikirkan sekarang.“Bagas meminta bantuan anak bengkel untuk mencari tahu. Kebetulan orang bengkel itu banyak, Sayang. Jadi dia bisa cepat ketemu.”“Kalau secepat itu berarti dia dekat denganku?” Kedua kali Sean mengangguk.“Apa yang harus aku katakan padanya? Haruskah aku memakinya?” Freya tersenyum getir. Senyum yang sama seperti saat Sean mendapati kekasihnya membanggaka
Dua manusia yang duduk bersebalahan. Freya dan Sean, saat ini tengah melakukan ijab kabul. Tidak ada yang istimewa dari acara itu. Bahkan tamu pun tidak ada. Hanya ada ayah dan ibu kandung Freya, Bagas, dan dua saksi dari pengadilan agama.Tidak ada pesta meriah. Tidak ada gaun bermandikan permata, tidak ada permadani yang terbentang untuk menyambut kehadiran mereka. Semuanya serba minimalis. Bukan, Sean tidak mampu memberikan kemewahan serta pesta pernikahan yang menjadi impian calon istrinya. Akan tetapi, ada perasaan yang harus dijaga oleh Freya dan juga Sean. Kendati yang terlihat— Sky sama sekali tidak peduli akan hal itu. Namun, Freya peduli sepenuhnya.“Saya terima nikahnya, Freya Kayyona putri bapak Adam Bachtiar dengan mas kawin berupa emas seberat lima puluh gram dibayar tunai.” Sang penghulu menoleh pada dua saksi dan teriakan kata ‘sah’ itu terdengar oleh tujuh pasang telinga yang ada di ruangan itu.Sean menoleh ke arah
“Sejak hari di mana bapak menyerahkanmu pada Gun dan Istrinya, sejak saat itu Bapak tidak berhenti memenuhi kebutuhanmu, Nak. Terus, setiap bulan.”“Kenapa kalian lakukan ini? Kenapa kalian berikan aku pada orang lain?! Aku anakmu ‘kan? Aku darah dagingmu ‘kan?! Kenapa?” berang Freya.“Saat itu, ekonomi bapak dan ibu benar-benar merosot, Nak. Rumah kita terbakar habis. Bapak hanya bisa menyelamatkan dokumen-dokumen penting. Bapak—”“Kalau kalian miskin kenapa harus memutuskan punya anak?!”“Freya,” panggil, Sean. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa wanita itu berpikir kritis seperti demikian.“Ini fakta lapangan, Sean! Seharusnya kalau masih miskin jangan punya anak. Supaya tidak menyusahkan anaknya. Bahkan sampai harus dibuang pada sampah masyarakat. Seperti nasibku!” tekan Freya pada Sean. Sungguh dia masih tidak mampu mengontrol emosinya.“Bap
Sembilan belas“Sebenarnya Freya sama sekali tidak mencintai Sean. Freya— tidak menginginkan pernikahan ini,” paparnya dengan gagap.Mungkin ini terlalu cepat bagi mereka mengetahui satu sama lain. Namun, Freya tidak pernah merasakan bagaimana curhat dengan seorang yang bernama ibu. Dia pikir hal itu tidak harus disembunyikan lagi bukan?Kinasih sedikit terkejut dengan penuturan anaknya. “Kenapa begitu, Nak? Lalu kenapa kalian harus menikah jika kamu tidak mencintainya, Nak? Menurut ibu, Sean pria yang baik,” tutur sang ibu.Mobil masih melaju dengan santai. Sesekali mata Freya menyapu pemandangan dan mengamati jalanan yang dia lewati. Sungguh, rute itu adalah perjalanan saat dirinya pergi ke toko buku.“Ini sulit untuk dimengerti, Bu.”“Ibu akan mengerti. Dari dulu ibu ingin memahami anak ibu. Ibu ingin mendengarmu curhat sama ibu. Ibu merasa itu semua hanya mimpi. Melihatmu hanya bisa berbari
Ponsel Freya berdering di atas nakas. Gadis itu menoleh dan melirik siapa yang mengirim pesan.“Lihat saja, siapa tahu penting,” bujuk sang ibu. Merasa bahwa anaknya hanya melihat dan enggan memegang benda itu karena dirinya.Freya pun menjulurkan tangannya dan meraih benda itu. Ia buka pesannya dan senyumnya mulai terbit dengan lebar.[Kalau kamu mau, kita bisa berangkat besok] tulis Sean di bawah gambar yang dia kirimkan.Paspor Freya sudah jadi, pun dengan visanya. Dia kira ini membutuhkan tambahan waktu yang cukup lama. Namun, Sean benar-benar menepati janjinya bahwa akan selesai dalam empat hari.Tanpa bertanya Kinasih tahu anaknya tengah bahagia. Dia pun ikut tersenyum meskipun tidak tahu penyebabnya.[Tentu saja, lebih cepat lebih baik ‘kan?]“Bu—” panggil Freya terputus, karena fokusnya masih pada ketikannya. Dia menyetujui ajakan Sean untuk pergi ke London besok.“Hm—&rdq
Satu1"Aku hamil," lirih Freya. Tangannya bergetar hebat memegang hasil tes kehamilan. Bahkan air mata tidak bisa dibendung olehnya."Hamil? Bagaimana bisa?" Sean mencoba untuk tetap tenang. Dia menarik dagu Freya. Ingin melihat wajah yang biasanya ceria dengan ribuan tawa, tetapi kini terlihat muram."Katakan padaku, Freya. Bagaimana bisa?Siapa yang melakukannya?"Hanya suara isak tangis dari Freya yang terdengar jelas. Gadis itu bungkam tidak ingin menjawab."Maafkan aku, Sean. Maaf," sesal Freya. Dia sudah mengkhianati hubungannya. Namun, pengkhianatan ini jauh lebih baik ketimbang hubungannya dengan sang kekasih sebenarnya.Pria yang begitu sabar menghadapi segala perilaku Freya selama ini, harus dikejutkan dengan berita kehamilan kekasihnya. Bahkan selama ini, dia tidak pernah merusak gadis itu. Dia begitu menjaga dan menghormati Freya."Katakan padaku, siapa yang melakukannya? Dia yang melakukan?" Sean mencekal erat kedua bahu Freya.Gadis itu kian menunduk lebih dalam. Awalnya
[Sky, kamu baik-baik saja 'kan?][Sean tidak melakukan apa pun padamu 'kan?][Sky, aku minta maaf. Tolong balas chatku sekali saja.]Itu adalah tiga diantara puluhan pesan yang sudah dia kirimkan pada Sky. Namun, pria itu belum juga membalasnya hingga malam tiba. Bahkan, Freya rela menunggu balasan pesan itu hingga tengah malam.Pikirannya kian penuh. Dia mengkhawatirkan kondisi kekasihnya, tapi tidak pernah sadar bahwa pria itu bahkan sama sekali tidak memikirkannya untuk saat ini. Dia justru sibuk dengan botol-botol minuman keras di sebuah bar ternama London.Tidak lama dari pesan itu terkirim. Freya mendengar denting notifikasi pesan masuk di ponselnya. Ia lekas membukanya. Akan tetapi, bahunya langsung menurun. Semangatnya hilang seketika saat melihat kata demi kata dalam pesan tersebut.[Sudah tidur? Aku harap kamu tetap jaga kesehatan dan tidak memikirkan apa pun kecuali dirimu dan janinmu, Freya.]Itu bukan, Sky. Itu dari Sean. Freya tidak mengharapkan pria itu yang berkabar. M
Bagian 1Hujan lebat malam ini membuat Frfeya merasa tenang. Dia ingat banyak hal tentang masa lalunya. Begitu manis dan bahkan seharusnya dia bersyukur bertemu dengan pria layaknya, Sean.**"Cukup! Freya cukup! Please, aku telpon kamu karena pengen denger suaramu. Bukan untuk bertengkar sama kamu! Stop bahas masalah yang sama," ucap Sky dengan tegas dalam sambungan teleponnya."Kamu selalu begitu, Sky. Aku begini karena khawatir sama kamu. Hobi dan impianmu itu bahaya. Kamu mempermainkan nyawamu." Freya tidak ingin kalah. Dia juga tengah memperjuangkan pendapatnya tentang keselamatan kekasihnya. Dia bermaksud perhatian pada laki-laki yang telah menjalin hubungan dengannya selama setahun itu.Gadis itu terus mencari cara agar kekasihnya berhenti dari balapan. Siapa yang mau orang tercintanya mempertaruhkan nyawa hanya demi sebuah kemenangan?Namun, ujungnya pasti selalu dengan perdebatan serta perbedaan pendapat yang membuat mereka terus bertengkar."Tahu apa kamu tentang bahaya, Fre