Satu
1
"Aku hamil," lirih Freya. Tangannya bergetar hebat memegang hasil tes kehamilan. Bahkan air mata tidak bisa dibendung olehnya.
"Hamil? Bagaimana bisa?" Sean mencoba untuk tetap tenang. Dia menarik dagu Freya. Ingin melihat wajah yang biasanya ceria dengan ribuan tawa, tetapi kini terlihat muram.
"Katakan padaku, Freya. Bagaimana bisa?Siapa yang melakukannya?"
Hanya suara isak tangis dari Freya yang terdengar jelas. Gadis itu bungkam tidak ingin menjawab.
"Maafkan aku, Sean. Maaf," sesal Freya. Dia sudah mengkhianati hubungannya. Namun, pengkhianatan ini jauh lebih baik ketimbang hubungannya dengan sang kekasih sebenarnya.
Pria yang begitu sabar menghadapi segala perilaku Freya selama ini, harus dikejutkan dengan berita kehamilan kekasihnya. Bahkan selama ini, dia tidak pernah merusak gadis itu. Dia begitu menjaga dan menghormati Freya.
"Katakan padaku, siapa yang melakukannya? Dia yang melakukan?" Sean mencekal erat kedua bahu Freya.
Gadis itu kian menunduk lebih dalam. Awalnya Freya masih tetap bungkam. Menyembunyikan pelaku. Namun, desakan dari Sean yang tiada henti akhirnya membuat Freya mengangguk.
"Bagaimana bisa? Dia bilang mencintaimu! Tapi kenapa justru membuatmu seperti ini, Freya?"
"Jangan salahkan dia. Aku cinta sama dia. Kami saling mencintai."
"Hanya kamu yang mencintai dia, Freya. Buka matamu, jika dia memang mencintaimu, dia tidak akan melakukan hal gila ini bukan?" Hampir saja Sean meluapkan amarahnya.
Dia tidak ingin menambah beban gadis yang begitu dia kasihi, dia cintai bahkan, dia ingin membawa hubungan ini kejenjang yang lebih serius. Namun, ternyata wanita itu lebih memilih menunggu kekasihnya yang berada jauh di perantauan.
"Dia mau bertanggung jawab 'kan? Bilang padaku kalau dia mau bertanggung jawab, Freya," lirih Sean. Tangannya masih setia mendekap bahu kekasihnya.
Menjadi simpanan gadis itu sudah dilakoni Sean selama satu tahun terakhir. Selama ini dia sadar hanya menjadi badut penghibur Freya. Namun, cinta dan kasihnya tulus. Dia tidak menganggap bahwa Freya hanya menjadikannya pelarian.
Sean benar-benar menghabiskan seluruh pikiran dan cintanya hanya untuk seorang gadis yang sudah memiliki kekasih.
"Tidak. Dia ingin mengejar impiannya, Sean. Dia belum mau menerimaku dan anaknya."
Tangan Sean terkepal. Mulutnya selalu dikunci rapat agar tidak mengumpat di depan wanitanya.
"Ini gila, Freya. Dia dengan sadar melakukan tindakan bodoh ini. Lalu kenapa dengan mudahnya dia menolakmu?"
"Dia tidak menolak, hanya menunggu waktu."
"Sampai kapan? Sampai anakmu lahir dan bertanya siapa ayahnya?"
"Cukup, Sean! Aku tidak ingin kamu terus berburuk sangka dengannya!"
"Kamu bodoh, Freya. Dia harus bertanggung jawab. Aku akan temui dia. Tunjukkan padaku, di mana dia? Di mana dia merantau? Siapa dia, Freya?"
"Tidak! Aku tahu kamu akan memakinya bukan? Harusnya kamu sadar, di sini kamu yang menjadi kedua, Sean. Kamu harus menerima semua kenyataan ini. Kenyataan kalau akhirnya aku akan menjadi milik dia seutuhnya!"
"Bodoh! Kamu sudah rugi banyak hal, Freya. Kamu begitu yakin dengannya, jelas-jelas dia bilang tidak bertanggung jawab dalam waktu dekat, Freya. Dia mengulur waktu dan itu merugikanmu! Sekalipun aku menjadi yang kedua, bilang padaku, pernahkah aku menuntutmu, Freya? Pernahkah aku membuatmu merasa sedih dan direndahkan seperti ini? Kamu—" Sean kehabisan kata-kata.
Dia tidak tahu jika cinta mampu membuat seseorang menutup mata dari fakta. Bahwa dia telah dilecehkan dan dihina mati-matian.
"Freya katakan padaku. Aku janji tidak akan marah atau memakinya. Aku hanya akan bicara dengannya. Aku akan menuntut hakmu dan anakmu. Dia harus bertanggung jawab."
"Kau berjanji?"
"Ya— tentu saja. Katakan di mana dia, siapa dia?"
"Dia seorang pembalap, Sean. Dia berada di London sekarang. Tiga bulan lalu, dia baru saja pulang."
Sean terdiam, dia berpikir banyak hal. Kepulangan pria itu sama dengan jadwal pulang adik laki-lakinya. Bahkan tempat dan profesinya sama dengan adiknya.
"Jangan bilang namanya, Sky," potong Sean.
"Ya. Dia memang Sky, Sean. Kamu mengenalnya?"
Seketika itu, Sean melerai diri dari Freya. Sekuat hati dia menahan agar tidak meledakkan amarahnya, tetapi gagal. Ia menendang kursi yang sempat dia duduki. Tangannya mengepal dengan kuat.
Dia meluapkan amarahnya. Emosinya memuncak, bahkan ia meninju meja berulang kali. Membuat Freya ketakutan.
"Sial! Kenapa tidak dari dulu aku menyadarinya?! Dia adikku, Freya! Dia adikku! Bajingan!"
"Apa? Tidak mungkin!"
"Ini fakta, Freya. Dia adikku! Sky Ahlam Gatra Fahar! Benar?"
"Kamu tahu namanya karena dia terkenal di dunia pembalap."
"Jangan bodoh, Freya! Dia adikku! Fahar adalah nama ayah kita! Ghazi Fahar. Namaku Sean Arshaka Fahar, kau lupa? Kenapa dia melakukan ini? Kenapa?!" Amarah Sean sudah tidak mampu dia tahan lagi. Ia berteriak kesetanan demi menyadarkan Freya.
Mereka mencintai perempuan yang sama. Nahasnya, Sky telah menghancurkan kehidupan gadis yang mereka cintai.
"Aku akan buat perhitungan dengannya." Tanpa persetujuan dari Freya, pria itu pergi. Dia benar-benar akan menghajar adiknya.
**
Menempuh waktu 14 jam lebih delapan menit, Sean benar-benar mendatangi adiknya di London. Bahkan tanpa berhenti untuk beristirahat, pria itu lekas menemui Sky di apartemennya. Menggedor pintu dengan brutal.
Begitu daun pintu itu terbuka, Sky langsung disambut oleh bogem sang kakak. Ia memekik pelan, tidak sempat untuk mengelak.
"Akh! Apa maksud Lo, hah?!" teriak Sky, begitu tahu bahwa sang kakaklah pelakunya.
"Justru seharusnya aku yang tanya! Apa maksudmu menghamili Freya?!"
"Dia hamil karena ceroboh! Dia yang nolak gue pakai pengaman," jawabnya enteng.
"Sinting, kamu, Sky! Kamu sudah hancurkan masa depan orang lain. Lalu kamu tidak mau tanggung jawab dengan dalih ngejar mimpi? Di mana otakmu?!"
"Oh— dia ngadu?" Sky menghapus darah di hidung dan ujung bibirnya.
"Sky, dengar. Kita memang sudah tidak punya orang tua buat mengarahkan hidup kita. Tapi, seenggaknya kamu harus tahu mana baik dan buruknya satu perilaku. Aku bahkan nggak pernah ngelarang kamu buat senang-senang. Tapi pikir pakai otakmu sebelum kamu bertindak."
"Ucapan Lo sepertinya lo tahu apa itu tindakan. Selama ini hidup lo juga cuma buat kerja kan? Mana tau senang-senang? Nggak usah sok bijak."
"Freya wanita, Sky. Dia hamil. Anakmu! Dia bakalan malu kalau sampai kamu nggak nikahin dia!"
"Itu bukan salah gue! Dia yang ngeyel!"
"Kalian pacaran udah lama, Sky! Jangan jadi pengecut!"
"Gue bakal nikahin dia. Tapi nggak sekarang! Gue masih mau raih cita-citaku."
"Lalu bagaimana dengan cita-citanya?! Dia punya keluarga, dia punya adik! Dia tulang punggung keluarganya, Sky!"
"Oh— lo tahu banyak tentang dia sepertinya." Sean terbungkam.
"Kenapa? Lo ada sesuatu dengannya? Nggak mungkin dia ngadu sama lo secepat ini kan? Gue juga nggak pernah kenalin kalian ke Freya."
"Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan. Tugasmu hanya harus bertanggung jawab. Kamu bisa tetap di sini setelah menikahi dia."
"Tidak semudah itu. Stop ngatur gue, karena lo bukan Papa!"
"Aku kakakmu, Sky. Papa udah nggak ada. Itu karenamu! Kamu egois!"
"Justru gue egois demi impian dia yang tertunda! Itu juga karena wanita kan? Gue nggak mau dipenjara layaknya Papa. Nurut sama perempuan sampai mengubur mimpinya sendiri! Jangan munafik, Lo! Sebetulnya Lo ingin di posisi ini kan?"
Tangan Sean terangkat dan kembali membabi buta menghajar adiknya.
"Papa akan kecewa dengar ucapanmu, Sky. Dia mencintai Mama. Dia rela kehilangan apa pun demi Mama."
"Budak cinta!"
"Sky, cukup! Aku ke sini tidak untuk berdebat atau bahkan bertengkar denganmu. Kamu hanya perlu tanggung jawab sama Freya!"
"Dari tadi lo kekeh membela Freya. Gue curiga kalian ada sesuatu. Lagian selama ini Lo nggak pernah tahu apa pun tentang hubunganku sama dia kan? Ini aneh, tiba-tiba lo kenal dia dan ngotot buat gue tanggung jawab. Kenapa?"
Lagi-lagi Sean terdiam. Haruskah dia mengatakan kalau dia menjalin hubungan belakangan ini? Bagaimana jika Sky justru beranggapan jika anak itu adalah anaknya?
[Sky, kamu baik-baik saja 'kan?][Sean tidak melakukan apa pun padamu 'kan?][Sky, aku minta maaf. Tolong balas chatku sekali saja.]Itu adalah tiga diantara puluhan pesan yang sudah dia kirimkan pada Sky. Namun, pria itu belum juga membalasnya hingga malam tiba. Bahkan, Freya rela menunggu balasan pesan itu hingga tengah malam.Pikirannya kian penuh. Dia mengkhawatirkan kondisi kekasihnya, tapi tidak pernah sadar bahwa pria itu bahkan sama sekali tidak memikirkannya untuk saat ini. Dia justru sibuk dengan botol-botol minuman keras di sebuah bar ternama London.Tidak lama dari pesan itu terkirim. Freya mendengar denting notifikasi pesan masuk di ponselnya. Ia lekas membukanya. Akan tetapi, bahunya langsung menurun. Semangatnya hilang seketika saat melihat kata demi kata dalam pesan tersebut.[Sudah tidur? Aku harap kamu tetap jaga kesehatan dan tidak memikirkan apa pun kecuali dirimu dan janinmu, Freya.]Itu bukan, Sky. Itu dari Sean. Freya tidak mengharapkan pria itu yang berkabar. M
Bagian 1Hujan lebat malam ini membuat Frfeya merasa tenang. Dia ingat banyak hal tentang masa lalunya. Begitu manis dan bahkan seharusnya dia bersyukur bertemu dengan pria layaknya, Sean.**"Cukup! Freya cukup! Please, aku telpon kamu karena pengen denger suaramu. Bukan untuk bertengkar sama kamu! Stop bahas masalah yang sama," ucap Sky dengan tegas dalam sambungan teleponnya."Kamu selalu begitu, Sky. Aku begini karena khawatir sama kamu. Hobi dan impianmu itu bahaya. Kamu mempermainkan nyawamu." Freya tidak ingin kalah. Dia juga tengah memperjuangkan pendapatnya tentang keselamatan kekasihnya. Dia bermaksud perhatian pada laki-laki yang telah menjalin hubungan dengannya selama setahun itu.Gadis itu terus mencari cara agar kekasihnya berhenti dari balapan. Siapa yang mau orang tercintanya mempertaruhkan nyawa hanya demi sebuah kemenangan?Namun, ujungnya pasti selalu dengan perdebatan serta perbedaan pendapat yang membuat mereka terus bertengkar."Tahu apa kamu tentang bahaya, Fre
“Kamu baik-baik saja, Freya?” Suara serta tepukan di bahu Freya seketika membawa kesadaran Freya kembali. Entah sudah berapa lama gadis itu duduk melamun di sana dan hujan masih setia mengguyur kota ini. Seakan semesta ikut menangis dan menyayangkan nasib malang Freya.Gadis itu membawa pandangannya pada sosok yang basah kuyup di sisinya. Ia memang memakai payung tetapi, itu tidak berhasil menghalau tetesan air yang jumlahnya ribuan kubik.“Sean?” Mata Freya berkaca-kaca dia tidak percaya melihat pria itu sekarang.“Ini khayalanku saja ‘kan?” lirihnya. Ia memejamkan matanya untuk mengusir pandangan mata yang sempat kabur.“Tidak, ini benar aku. Aku sudah kembali.” Sean membelai lembut pipi Freya. Sean terkejut, Freya demam. Mungkin karena, terlalu lama dia berada di luar ruangan.“Kita masuk dulu, Freya. Kamu demam,” ajaknya.“Tidak! Jauh-jauh dariku. Berhenti memberiku perhatian, Sean. Kita tidak akan bersama. Lupakan impianmu, lupakan aku, lupakan kita pernah bersama.” Freya menepis
"Selamat datang, silakan." Gadis dengan rambut sebahu itu mengulurkan daftar menu pada pelanggannya.Seperti hari-hari biasanya, Freya giat sekali bekerja. Sebagai generasi sandwich, gadis itu bahkan memiliki pekerjaan lain selain sebagai pelayan di rumah makan ini. Nanti, setelah jarum jam berada di angka empat sore, dia akan menjadi kasir di sebuah toko buku hingga malam tiba. "Saya pesan makanan yang paling rekomended saja, Mbak," ucap pelanggan tanpa membuka buku menu. "Baik, mohon ditunggu sebentar, ya." Freya balas dengan senyum lebar khas dirinya.Disela-sela pekerjaan yang dilakoni, sembari menunggu pesanan disiapkan untuk diantar ke meja pelanggan, ponsel yang berada disaku celemeknya bergetar. [Babe, nanti sore aku latihan. Aku akan minta timku untuk mengirim link live streaming padamu, jangan lupa tonton, ya]Freya menghela napas kasar membaca rentetan pesan yang Sky kirim. Namun dia bisa apa selain berpura-pura mendukungnya. Freya tahu pendapatnya hanya akan berakhir de
Bagian 3“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call. Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”“Percayalah aku akan baik-baik saja.”“Hm—”“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana
Freya berjalan begitu saja melewati keberadaan tamunya. Bagaimana tidak Sean-lah yang datang ke rumahnya. Mulut gadis itu terasa berbusa, dia sudah katakan tidak ingin ditemui oleh pria itu, tetapi Sean benar-benar kepala batu.“Freya, tunggu!” Laki-laki itu bangkit dan mengejar Freya yang berjalan dengan langkah cepat. Dia bahkan sibuk memainkan ponselnya untuk memesan ojek online.Panggilan, Sean sama sekali tidak diindahkan oleh Freya. Dia tetap terus melangkah hingga hampir tiba di ujung gang, Sean menghadang jalan. Menutup akses Freya agar tidak lagi menghindar darinya. Tangan Sean terangkat dan menekan kedua lengan Freya.“Freya. Aku tahu kamu membenciku. Aku tidak menutup fakta itu. Aku hanya ingin melihatmu senang, Freya.”“Jika itu yang kamu inginkan, jauhi aku! Pergi jauh dariku Sean! Menghilanglah! Itu adalah kebahagiaanku! Kamu tahu aku menyesal menerimamu! Aku menyesal mengenalmu!” Freya histeris.Semua ini karena hubungan mereka. Freya kehilangan Sky karena Sean. Sky tid
Sebelum keluar dari mobil, Sean mencekal tangan Freya. Gadis itu menoleh dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pria di sisinya tersebut.Sean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berbentuk geometris. Transparan dan tampak jelas isian kotak itu.Ia menyodorkannya pada Freya. "Bukalah.""Tolong jangan secepat ini, Sean," tolak Freya."Tidak. Dengar, kamu pakai untuk saat ini saja. Kamu tidak mau 'kan di dalam orang berpikir macam-macam tentangmu?"Kendati itu hanya sebuah alasan untuk Sean, tetapi niatnya lurus. Dia menjaga nama baik Freya.Sean sama sekali tidak mau kalau Freya dipandang buruk oleh orang lain, bahkan adiknya sekalipun."Setelah itu aku akan melepasnya."Sean mengangguk menyetujui. Akhirnya tangan kecil milik Freya meraih kotak yang berbahan kaca itu dari tangan Sean.Senyum Sean merekah, dia senang. Dia bersyukur Freya memahami jalan pikirannya.Freya membukanya. Tidak