Share

Bagian 2

[Sky, kamu baik-baik saja 'kan?]

[Sean tidak melakukan apa pun padamu 'kan?]

[Sky, aku minta maaf. Tolong balas chatku sekali saja.]

Itu adalah tiga diantara puluhan pesan yang sudah dia kirimkan pada Sky. Namun, pria itu belum juga membalasnya hingga malam tiba. Bahkan, Freya rela menunggu balasan pesan itu hingga tengah malam.

Pikirannya kian penuh. Dia mengkhawatirkan kondisi kekasihnya, tapi tidak pernah sadar bahwa pria itu bahkan sama sekali tidak memikirkannya untuk saat ini. Dia justru sibuk dengan botol-botol minuman keras di sebuah bar ternama London.

Tidak lama dari pesan itu terkirim. Freya mendengar denting notifikasi pesan masuk di ponselnya. Ia lekas membukanya. Akan tetapi, bahunya langsung menurun. Semangatnya hilang seketika saat melihat kata demi kata dalam pesan tersebut.

[Sudah tidur? Aku harap kamu tetap jaga kesehatan dan tidak memikirkan apa pun kecuali dirimu dan janinmu, Freya.]

Itu bukan, Sky. Itu dari Sean. Freya tidak mengharapkan pria itu yang berkabar. Melainkan, Sky, kekasih sekaligus ayah dari calon bayinya.

[Jika Sky tidak membalas pesanku karenamu, aku akan pastikan kau tidak akan melihatku lagi!] Ancam Freya dalam pesan balasan itu.

Entah kenapa, gadis itu membenci Sean. Pria itu baik, dia perhatian, tetapi seluruh rasa yang dimiliki oleh Freya telah dihabiskan untuk Sky.

Sekarang semuanya bahkan berantakan, hidupnya, kelangsungan karir serta sekolah adik-adiknya. Freya telah hancur tetapi tidak juga sadar.

[Jangan bertindak gegabah. Besok malam aku sudah tiba di Indonesia.] Lagi-lagi pesan dari Sean dibaca. Kali ini, Freya tidak ingin membalasnya. Dia hanya ingin Sky meneleponnya seperti malam-malam sebelumnya, atau paling tidak chat yang dia kirimkan terbalaskan.

Ponselnya berdering, panggilan masuk diterima. Namun itu bukan dari Sky. Melainkan Sean. Freya melemparkan ponselnya ke ranjang sempit miliknya. Tak acuh dengan getaran yang tercipta dari benda butut itu. Ia putuskan untuk coba memejamkan matanya.

**

Begitu alarm dari ponselnya berbunyi, hal pertama yang dilakukan oleh Freya adalah mengecek ponselnya.

Dia tersenyum tipis, tangan lentik nan kurus itu membuka pesan balasan dari kekasihnya.

[Jangan hubungi gue lagi. Dengar, Freya, gue cinta sama Lo, tapi tidak dengan menikah.]

Mendapatkan balasan seperti itu, dada Freya terasa pedih. Ada yang berdesir membawa rasa nyeri luar biasa.

Lalu selama ini apa? Hubungan kita baik-baik saja, Sky. Bahkan kau tidak pernah memanggilku dengan namaku sendiri. Kenapa semuanya jadi terasa asing? Pikirannya membeku, batinnya terus meronta dan menyalahkan kehamilannya.

Bahkan terbesit pemikiran untuk mengugurkan kandungannya. Ia mencari apa pun yang bisa menghabisi nyawa janin berusia sepuluh minggu itu. Akan tetapi, dia tidak memiliki apa pun dalam kamarnya kecuali pakaian yang itu-itu saja.

Entah juga, sudah berapa kali Sean mencoba menghubunginya selama semalam suntuk. Kali ini, dengan jengah Freya menjawab panggilan itu.

“Tolong! Aku minta sama kamu jangan semakin memperkeruh kondisiku, Sean! Kamu tahu! Aku menerimamu karena aku butuh pelarian saat Sky jauh dariku. Aku butuh kamu hanya untuk memamerkan ceritaku betapa aku sangat mengharapkan dia! Jadi, jangan pernah mengangguku lagi!” teriak, Freya kalap.

“Dengar penjelasanku dulu, Freya. Aku tidak peduli alasanmu menerimaku karena  apa? Sungguh, bagiku itu tidaklah penting. Aku hanya ingin melihatmu bahagia,” tutur Sean dengan begitu lembut.

“Kau buat dia tak acuh padaku. Kau yang buat dia menjauhiku, Sean. Semua gara-gara kamu!”

“Kamu sungguh menganggapnya begitu?”

“Ya! Ya, Sean. Ini semua karenamu! Andaikan kau tidak ada dalam kehidupanku dan Sky, semuanya tidak akan pernah terjadi!”

“Aku minta maaf. Tapi, aku yakin kau butuh aku saat ini, Freya. Kau akan membutuhkanku. Setidaknya sampai anakmu lahir.”

“Jangan bermimpi! Aku tidak akan pernah mau hidup denganmu! Anak ini milik Sky! Hati dan cintaku hanya untuk Sky, ingat itu!”

“Aku akan coba bicara dengannya lagi sebelum kembali. Kamu mau aku bawakan sesuatu?”

Bukannya menjawab pertanyaan dari Sean, Freya justru mematikan sambungan teleponnya. Dia tidak bernapsu melakukan perbincangan apa pun dengan pria itu. Freya hanya mengharapkan Sky, bukan Sean.

Gadis itu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan cairan dari perutnya. Mual berlebih sudah dia hadapi sejak dua bulan belakangan. Kehamilan membuatnya tersiksa.

“Jika ayahmu tidak mau menerimamu, aku pun tidak akan menerimamu!” gumamnya. Ia bertekad bulat untuk mengabaikan apa yang dibutuhkan calon bayinya sebagai bentuk balas dendam dan juga protes atas perilaku Sky padanya.

**

“Pulang sekarang, Sky!” Sean menyeret tangan adiknya keluar dari kelab.

“Lepasin! Siapa lo berani ngatur hidup gue?!” sarkas Sky. Dari dulu sampai detik ini mereka masih saja tidak akur. Hubungan mereka hancur ketika ayah dan ibunya telah tiada.

“Kita perlu bicara, Sky.”

“Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Tuan Sean Arshaka. Stop ngatur hidup gue!”

“Kamu adikku! Sampai kapanpun, kamu tetap tanggung jawabku!” tekan, Sean.

“Benarkah? Ke mana lo selama ini? Ke mana?! Setelah ada masalah ini lo datang dan seenaknya meminta gue tanggung jawab. Kalau emang gue tanggung jawab lo, itu artinya lo aja yang tanggung jawab atas tindakan gue!”

“Kamu gila, Sky! Bukan itu yang aku maksud. Aku tanya sama kamu, apa kamu yakin tidak ingin menikah dengannya?”

“Ya! Gue cinta sama dia, tapi gue nggak mau nikah sama dia tahun ini atau mungkin tiga tahun lagi. Gue harus jadi juara dunia, Sean! Juara dunia!”

Sean tidak habis pikir. Bagaimana bisa adiknya sebuta itu. Jelas-jelas dia bersalah dalam hal ini, tetapi dengan sadar dia berkilah.

“Dia cinta sama kamu, Sky. Hanya kamu yang dia inginkan. Dia tidak pernah melihat atau mengharapkan siapapun kecuali dirimu.”

“Nggak usah sok tahu!”

“Kenapa kamu meragukan dia, Sky? Aku tanya padamu, bukankah kau mendapatkan dia pertama kali?”

“Bukan bukati kalau gue satu-satunya ‘kan?”

Sean tertunduk. Ya, ucapan Sky benar. Nyatanya, Freya menerima kehadiran Sean, sekalipun hanya sebagai bentuk pelarian semata. “Aku minta maaf, selama satu tahun ini, kita memang menjalin hubungan tanpa sepengetahuanmu. Tapi, sungguh aku berani bersumpah bahwa aku tidak menyentuhnya sama sekali, Sky.”

“Heh—” Sky tersenyum miring mencemooh Sean.

“Gue tahu sekarang. Gue juga yakin seratus persen bahwa itu bukan anak gue! Kalian licik! Itu anak lo dan lo minta gue buat tanggung jawab! Munafik lo!”

“Bahkan sekalipun aku tidak pernah nyentuh dia, Sky! Aku berani bersumpah kalau itu anak kalian!”

“Cukup! Cukup, Sean! Dari dulu lo emang selalu seperti itu. Lo iri dengan apa yang gue miliki. Bahkan sekarang wanitaku pun juga lo embat! Dasar munafik!”

“Aku akan menikahi dia jika kamu tidak ingin, Sky. Tapi— setelah ini kau tidak boleh menyentuhnya atau bahkan bertemu dengannya,” tukas Sean.

“Terserah! Gue tidak sudi memiliki hubungan dengan wanita yang sudah kau sentuh! Bajingan!” Sky mendorong bahu Sean dengan sengaja dan kuat. Kemudian berlalu meninggalkan pria jangkung itu.

“Ini kesempatan terakhirmu, Sky!” teriak Sean. Dia ingin menyadarkan adiknya bahwa kesempatannya hanya saat ini saja. Namun, Sky sama sekali tidak menoleh dan menanggapi sepatah kata pun yang diucapkan oleh sang kakak.

Sean menghela napas ia hanya mampu menatap kepergian adik laki-lakinya. Kemudian keluar dari kelab itu. Apa yang harus dikatakan pada Freya setelah ini? gadis itu menaruh harapan besar pada Sky, tetapi cintanya benar-benar dibuang begitu saja oleh kekasihnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status