“Dia ....”“Lan, kita balik ke hotel, yuk! Besok balik lagi ke sini. Aku capek.” Suara wanita memotong kalimat Mas Alan.“Eh, iya, El. Bentar. Aku baru ngabarin Kalila kalau udah sampai Dili.”“Oh, oke. Aku tunggu di parkiran, ya.”“Iya. Ini udah selesai, kok.”“Emang sekarang kamu sama Mbak Eliz lagi di mana, Mas?”“Begitu landing, kita langsung menuju rumah sakit, Kal.”Aku hanya mengangguk-angguk. Mas Alan segera mematikan sambungan dan berjanji akan menelepon lagi nanti. “Siapa?” tanya Mas Vino.“Mas Alan.”“Udah sampai dia?”“Udah, malah mereka ....” Aku menepuk kening mengingat sesuatu yang belum sempat disampaikan oleh Mas Alan tadi.“Mereka kenapa, Yang?”“Tadi Mas Alan ada bilang sesuatu tentang adik dari ibunya mantan Mbak Eliz yang jadi penyebab beliau masuk RS. Tapi, belum sempet ngomong sambungan udah diputus.”“Ya sudah nanti ditelepon lagi.”Aku mengangguk. Mas Vino menatap dengan pandangan mengepung.“Kenapa?”“Ee ... aku udah minta bantuan Salma buat nyiapin kamar ya
Aku terenyak mendengar penuturan dan info mengejutkan dari Mas Alan di seberang sana. “Bentar, bentar! Bukannya selama ini Adiwilaga Hospital sedang jaya, Mas? Bahkan anak cabang yang baru sedang dirintis di satu kota yang masih sangat butuh uluran tenaga medis.”“Ya, yang terlihat memang seperti itu, tapi ternyata semua itu hanya cover-nya saja, Kal. Enam puluh persen saham Adiwilaga Hospital adalah milik Judith. Istri Om Heru.”Aku menghela napas panjang. Sejujurnya ini bukan lagi ranahku, Papa, apalagi Mas Alan untuk ikut campur. Namun, nama sesepuh dari silsilah keluarga Papa yang tersemat dalam bisnis keluarga itu membuatku merasa ikut terpanggil untuk tahu lebih banyak. “Ternyata sebelum Nyonya Judith menanamkan modal di Adiwilaga Hospital, perusahaan itu sudah bobrok dari dalam, Kal. Ratusan tenaga medis dan pegawai lainnya yang bekerja di sana terselamatkan berkat bantuan Nyonya Judith. Tapi, Om Heru malah bikin masalah dengannya.”“Lalu, bagaimana proses perceraian mereka,
"Apa? Resto kebakaran?”Mas Vino langsung berdiri dengan ekspresi terkejut yang jelas sekali tercetak di wajahnya.“Kapan kejadiannya, Yah?”Aku pun ikut berdiri walau tak dapat mendengar dengan jelas suara mertua di seberang sana. Mas Vino terlihat semakin gusar. “Iya, Yah. Sore ini Vino baru mau balik ke Semarang.”Beberapa detik percakapan masih terus berlangsung, hingga akhirnya sambungan diputus setelah lelakiku menjawab salam. Mas Vino mengembuskan napas berat dengan mengusap wajahnya kasar. Aku memegang kedua lengannya dan menuntunnya untuk duduk di kursiku.“Duduk dulu, Mas!” Kubuka tutup gelas berisi air putih di meja dan menyodorkannya agar ia minum. Mas Vino menurut dan menenggaknya hingga tersisa separuh.“Makasih, Sayang,” ujarnya dengan nada pelan.Aku hanya mengangguk dan kembali mengelus lengannya.“Mau pulang sekarang?” tanyaku.Mas Vino menengok jam tangannya, lalu menggeleng. “Percuma juga aku pulang sekarang, dua jam setengah baru nyampek. Dan buru-buru pun engga
“Kecuali ... kamu diciptakan lebih dari satu.”“Maksudnya?” tanyaku tak begitu paham.“Ya aku enggak bakal selingkuh kecuali ada wanita yang 100% sama denganmu. Orang kembar identik saja masih ada perbedaannya. Itu artinya, aku enggak akan selingkuh, karena kamu cuma satu.”Aku mencebik, walau tak ayal sukmaku sudah kejang-kejang mendengar penuturannya yang begitu manis. Bahkan lebih manis dari bibirnya. “Jangan bikin aku tambah berat ngelepas kamu pulang ke Semarang, Mas.”Mas Vino terkekeh. “Kamu harus tahu, Yang. Aku akan didepak jauh oleh Ayah jika coba-coba mempermainkan nama pernikahan. Apalagi menantunya kamu, anak sahabat baik Ayah. Bisa habis elangku dicincang sama beliau,” ucapnya sembari bergidik ngeri dan lirih berucap ‘amit-amit’.Aku pun akhirnya tergelak. Sekitar setengah empat sore, semua persiapan sudah selesai. Tinggal menunggu Mas Vino yang masih sibuk mengeringkan rambutnya usai menengok anaknya. Ya, dia bilang pamitan.“Sini aku bantu, Mas!” Kuambil hair dryer
Perlahan mobil melaju di bawah kepungan senja yang mulai memelas manja dengan sinar emasnya. Aku masih termenung, mencerna ucapan wanita di seberang sana. Kujauhkan sedikit ponsel dari telinga untuk memastikan bahwa panggilan masih tersambung.“Hallo, Kalila, kamu masih di sana, kan?”“Iya.”“Kal, tolong aku ....” Lagi, Nindi seperti tengah memohon pertolongan, tapi apa?Aku melirik pada Papa yang terus fokus menyetir.“Maaf, aku sedang di jalan.”“Oke. Nanti aku telepon lagi.”Klik. Sambungan diputus.“Siapa?” tanya Papa.“Nindi, Pa.”“Nindi? Nindi yang pernah Alan bawa ke rumah?”“Iya, Pa.”“Ngapain dia telepon kamu?”Aku hanya mengedikkan kedua bahu. “Enggak tahu. Katanya nanti mau telepon lagi pas tadi Kalila bilang lagi di jalan.”Papa tak lagi bersuara. Aku pun tak memberitahunya perihal wanita itu yang minta tolong. Toh, memang belum jelas apa yang dia inginkan atau bahkan dia rencanakan. Semoga bukan sesuatu yang serius dan membahayakan.Tidak berapa lama mobil sudah sampai di
Aku masih melongo mencerna ucapan Nindi di seberang sana. Nindi hamil anaknya Aldrin? Apa mereka sudah menikah? Atau mungkin mereka ....“Kalila ... tolong aku, Kal. Bagaimana nasibku dan anak ini jika ayahnya dikurung dalam penjara?”Aku menghela napas. Kuelus perut yang sedikit terjadi pergerakan di dalamnya. Sebagai sesama perempuan, tentu hati kecil ini mulai merasa simpatik dengan kondisi Nindi. Namun, apa dia benar-benar hamil sungguhan? Bagaimana jika hanya pura-pura demi sang pujaan? Aku berdehem sebentar. “Mohon maaf, suamiku sedang mendapat musibah dan saat ini sedang tak berada di tempat.”“Tolong, Kal, tolong sampaikan pada Vino jika nanti masalahnya sudah selesai, tapi ... aku mohon secepatnya beritahu suamimu.”Aku hanya diam.“Atau ... bolehkah jika aku sendiri yang menghubungi nomor Vino?”“Apa kamu punya nomornya?” tanyaku curiga.“Tidak. Jika kamu tak keberatan, aku ingin memintanya padamu.” Tumben minta izin? Aku membatin.“Maaf, aku tidak bisa memberikan nomor Ma
Satu minggu berlalu.Mas Vino sudah kembali ke Jogja, sebab sebentar lagi acara tujuh bulanan kandunganku akan digelar. Mas Alan pun juga sudah kembali dari Dili dengan membawa beberapa info mengenai Nindi dan juga Aldrin. “Jadi pelaku pembakaran restomu itu mantan pacar adiknya Wisnu, Vin?” tanya Mas Alan.Saat ini kami sedang berkumpul dengan Papa dan juga Mama di ruang keluarga.“Betul, Mas.” Suamiku menjawab. “Entah kenapa balas dendamnya malah sama restoku. Aneh!”“Mantan pacar adiknya Wisnu yang mana? Yang pertama apa yang kedua?” Papa menimpali. “Yang kedua, Pa. Namanya Gendis. Tapi, katanya, sih, putusnya sudah lumayan lama. Cuma si cowoknya memang belum bisa move on. Dan selama putus, dia terus cari info siapa yang sedang dekat dengan Gendis sampai si Gendis enggak mau diajak balikan.” “Apa kamu pernah punya hubungan sama Gendis?” timpal Mama.Mas Vino diam dan melirikku.“Jawab aja, Mas. Enggak pa-pa, kok!” ucapku datar.“Emm ... kalau punya hubungan, sih, enggak pernah,
“B-bukan begitu, Yang. Aku cuma-“ Segera kutinggalkan ruang keluarga sebelum Mas Vino menyelesaikan kalimatnya. Ruang yang biasanya selalu penuh kehangatan, sebab di sana kami biasa bercengkerama dan mengobrol santai dengan ditemani minuman hangat dan camilan, tetapi kini berubah suasana. Aku benar-benar tak suka melihat Mas Vino yang terlihat sangat peduli dengan Nindi. Padahal belum jelas anak dalam kandungan wanita itu benih siapa. Bukan tak punya hati dan tak mau peduli, tetapi semuanya butuh bukti agar tak salah mengambil keputusan. Brakk! Kubanting pintu kamar saat menutupnya dari dalam. Derap langkah kaki Mas Vino tampak tergesa-gesa menyusulku. Terdengar handle pintu ditarik dan dengan cepat sepasang tangan melingkari perut buncitku dari arah belakang. “Sayang, maaf ... aku enggak ada maksud nyakitin kamu,” ucap Mas Vino memelas dengan dagu yang ia tempelkan di salah satu bahuku. “Aku cuma banyangin saat ini Nindi ada di posisi kamu yang sama-sama tengah hamil. Ingin dima