Share

Cinta yang Menjadi Benci

"Bagiamana bisa Pak Zein memberiku hadiah kalung mahal, Tante? Sedangkan Pak Zein saja tak peduli dengan ku, membawa bunga tulip ke rumah ini padahal dia tahu aku alergi."

Zein kaget mendengarnya, seketika menyembunyikan bunga tersebut di belakang tubuh. Hell! Dia malu sekali. Bisa-bisanya dia lupa jika istrinya alergi bunga tulip. Dia terlalu bersemangat saat mencari filosofi tentang bunga dan menemukan makna bunga tulip merah muda yang merupakan tanda atau lambang cinta yang tulus dan lembut.

"Ini bukan untukmu," jawab Zein dingin, menutupi perasaan malu sebab kesalahannya sendiri. Konyol! Dia meletakkan bunga tersebut secara asalan di atas meja nakas yang ada di sana.

"Aku juga tidak berharap anda memberikan itu padaku. Penyakit!" ketus Zahra sembari mengemasi pakaiannya yang diacak kembali dalam koper. Setelah itu, dia mengeluarkan surat pengunduran diri dan perceraian. "Minta ibu anda mengembalikan kalungku, Pak. Itu kalung-- hadiah terakhir dari ayah saya."

Zein tanpa pikir panjang merampas kalung tersebut dari mamanya lalu memberikannya pada Zahra. Dia berharap dengan begitu Zahra memaafkan kesalahannya mengenai bunga ini.

"Zein, jangan berikan. Itu kalung mahal dan dia berniat membawanya pergi dari rumah ini." pekik Yolanda.

"Itu kalung milik Zahra, Mah. Jadi dia berhak membawanya kemanapun." Zein membela Zahra, lagi-lagi bertujuan supaya Zahra terkesan padanya. Dia sedikit menyesali perlakuannya beberapa hari ini pada Zahra.

"Bagaimana bisa dia punya kalung semahal itu? Itu berlian langka sedangkan dia hanya perempuan miskin."

"Mama dengar bukan, itu pemberian ayahnya. Dan … miskin?! Setidaknya dia kaya akan ilmu pengetahuan dan berbakat dalam banyak bidang," ucap Zein, tanpa sadar dan spontanitas sebab tidak terima mamanya mengatai istrinya.

Pada akhirnya Yolanda menyerahkan kalung tersebut pada Zahra.

Zahra terkesima sejenak. Namun, Zahra tak akan luluh. Jika dia bertahan hanya karena dibela oleh Zein hari ini, itu sama saja dengan dia membiarkan dirinya untuk terluka selama seumur hidup.

"Pak, aku tidak punya banyak waktu. Ini-- surat perceraian kita yang sudah ku tandatangani dan surat pengunduran diriku sebagai sekretaris anda," ucap Zahra sembari menyerahkan surat tersebut paada Zein. Setelah itu, Zahra berniat pergi dari sana. Akan tetapi Zein menarik pergelangan tangannya.

Zein seketika mengatupkan rahang, melayangkan tatapan tajam dan membunuh pada Zahra. "Aku tidak akan menceraikanmu, tidak akan melepasmu sampai kapanpun. Sebab kau telah menjadi milikku, Zahra Aurelia Melviano. Selamanya!!" geram Zein dingin.

Zahra tersenyum tipis, menyembunyikan luka di balik senyuman itu. "Belle pasti akan kecewa jika mendengar pria yang dia cintai mengklaim wanita lain sebagai miliknya. Caramu berbicara seolah anda mencintaiku, Pak. Tapi tidak mungkin sebab anda berhasil menanam benih di rahim wanita lain. Belle hamil anakmu, jadi lebih baik cepat ceraikan aku lalu menikahlah denganya."

"TIDAK!" bentak Zein marah. "Aku tidak akan menceraikanmu dan tidak berniat sedikitpun menikahi Belle. Kau satu-satunya yang berhak mendapat status sebagai istriku."

Zahra terdiam sejenak, sedikit tersanjung oleh perkataan Zein. Hanya dia satu-satunya yang berhak?! Su-sungguh?! Namun, ucapan Yolanda membuat hati Zahra kembali menciut, menjatuhkan Zahra sadar diri jika Belle selamanya akan menjadi pemenang.

"Apa? Belle hamil anak kamu, Sayang? Artinya Mama akan menimang cucu? Ah, bagus kalau begitu. Akhirnya …." Yolanda memekik senang.

Zahra tersenyum lembut, menyipitkan mata untuk menutupi bulir kristal. Ibu mertuanya sangat bahagia setelah tahu Belle hamil, padahal Belle bukan istri dari Zein. Apa jika Zahra memberitahu jika dia juga tengah hamil, Yolanda akan bahagia? Tidak, dia hanya akan mendapat caci makian. Atau … anaknya kelak akan mendapat perlakuan tidak adil dari neneknya sendiri. Belle disayangi oleh Yolanda, anaknya akan dimanja oleh Yolanda. Sedangkan anak Zahra, mungkin hanya mendapat sikap dingin. Jadi lebih baik dia tidak mengatakannya! Namun--

Zahra menatap perutnya. Sangat sakit!!

"Selamat, Tante," ucap Zahra sembari tersenyum lembut setelah itu segera beranjak dari sana sebab perutnya sangat sakit.

"Zahra, jangan keras kepala dan kembali masuk dalam kamarmu!" Marah Zein.

"Kita sudah selesai, Pak."

"Bagiamana dengan kakek? Kau tidak memikirkan perasaannya? Dia sudah sangat baik padamu." Zein terus mencegah.

"Aku akan menemuinya dan membicarakan hal ini secara pelan-pelan," jawab Zahra pelan, menahan sakit di perutnya. Di waktu bersamaan, Zahra kecewa. Dia kira Zein menahannya sebab sebuah perasaan. Ternyata Zein menahannya tak lebih karena untuk menjaga perasaan kakeknya saja.

"Ck, Zein. Biarkan saja dia pergi. Untuk apa menahan perempuan penggila harta seperti dirinya. Lebih baik kamu sekarang fokus pada Belle, dia akan menjadi istrimu dan Mama akan menyambutnya dengan senang hati sebagai menantu Mama."

"Mah!" gertak Zein, merasa jika mamanya hanya memperparah keadaan. Zahra tidak boleh pergi darinya dan siapapun akan ia lawan untuk hal itu. "Belle tidak akan pernah kunikahi. Apa yang terjadi padanya-- anak dalam perutnya hanya kecelakaan satu malam. Aku bertanggung jawab tetapi tidak dengan menikahinya!" jelas Zein dengan dingin. Dia tidak terima jika Zahra Keukeh untuk bercerai dengannya. Sekalipun ada perceraian, itu atas kehendak Zein sendiri. Dia yang berhak!

"Kecelakaan?" sinis Zahra tiba-tiba, melepas cekalan tangan Zein di pergelangannya. "dengan mudah Pak Zein menyebut yang terjadi pada kalian adalah sebuah kecelakaan semata."

"Memang begitu faktanya. Sekarang masuk dalam kamarmu. Wajahmu pucat dan istirahatlah." Zein berkata datar, tetapi perhatian secara bersamaan.

"Bagaimana dengan malam tiga tahun yang lalu, antara anda dan saya?" Zahra mengangkat alis, berusaha tetap tegas walau perutnya sangat sakit. "Itu juga merupakan sebuah kecelakaan. Tetapi mengapa anda tidak berpikir begitu? Malah anda menyebutnya sebagi jebakan licik untuk menikahi mu," ucap Zahra, setelah itu dia melanjutkan langkahnya. Tak ada lagi yang harus ia bicarakan dengan Zein. Semua sudah usai!

Lihat?! Zein tidak menjawabnya, pria ini memang tak menghargainya sama sekali. Untuk apa dia bertahan?!

"Satu langkah saja kau berani keluar dari rumah ini, jangan harap kau bisa kembali padaku lagi, Zahra Aurelia Melviano!" teriak Zein marah, berharap dengan begitu Zahra mengurungkan niat untuk pergi dari sini. Namun, Zahra yang sudah diambang kata menyerah sama sekali tak mendengar. Dia bahkan tidak tertarik saat Zein menyertakan nama keluarga pria itu di belakang namanya.

Semua terasa hampa! Berakhir!

"Zahra, kau tidak akan bisa hidup tanpaku! Kau hanya sedang bermain-main agar aku peduli padamu. Besok juga kau akan kembali ke rumah ini," teriak Zein dengan bersedekap di dada, begitu arogan dan enggan mengejar Zahra. Dia tak akan mencegah Zahra, dia yakin perempuan ini hanya menggertak supaya diperhatikan.  

Zahra tersenyum tipis mendengar teriakan Zein tersebut. Dia terus melangkah untuk keluar dari rumah ini, tak peduli pada ucapan suaminya. Zein terlalu percaya diri, dan Zahra pastikan kali ini Zein salah besar. 'Aku pastikan aku tidak akan pernah kembali padamu, Pak. Bahkan saat kamu memohon-mohon sekalipun. Aku membencimu!'

Comments (6)
goodnovel comment avatar
CacaCici
Pakai, Kak. (⁠人⁠ ⁠•͈⁠ᴗ⁠•͈⁠)
goodnovel comment avatar
Wishing Happynese
baca novel ini pake koin kah?
goodnovel comment avatar
CacaCici
Huaaa … terimakasih sudah suka novel kita ini dan terimakasih sudah bersedia selalu menunggu, Kakku. (⁠✿⁠ ⁠♡⁠‿⁠♡⁠)(⁠。⁠♡⁠‿⁠♡⁠。⁠)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status