"Bagiamana bisa Pak Zein memberiku hadiah kalung mahal, Tante? Sedangkan Pak Zein saja tak peduli dengan ku, membawa bunga tulip ke rumah ini padahal dia tahu aku alergi."Zein kaget mendengarnya, seketika menyembunyikan bunga tersebut di belakang tubuh. Hell! Dia malu sekali. Bisa-bisanya dia lupa jika istrinya alergi bunga tulip. Dia terlalu bersemangat saat mencari filosofi tentang bunga dan menemukan makna bunga tulip merah muda yang merupakan tanda atau lambang cinta yang tulus dan lembut. "Ini bukan untukmu," jawab Zein dingin, menutupi perasaan malu sebab kesalahannya sendiri. Konyol! Dia meletakkan bunga tersebut secara asalan di atas meja nakas yang ada di sana. "Aku juga tidak berharap anda memberikan itu padaku. Penyakit!" ketus Zahra sembari mengemasi pakaiannya yang diacak kembali dalam koper. Setelah itu, dia mengeluarkan surat pengunduran diri dan perceraian. "Minta ibu anda mengembalikan kalungku, Pak. Itu kalung-- hadiah terakhir dari ayah saya."Zein tanpa pikir
Hujan turun dengan deras, suhu begitu dingin dan rasanya menusuk hingga ke tulang-tulang. Cuaca seperti mendukung kesedihan serta kehancuran hari Zahra yang saat ini berjalan lunglai dengan menyeret koper. Zahra akan kembali ke rumah neneknya dan dia dahulu. Dia akan mengulang hidup baru dan memperbaiki semuanya dengan cara mencintai diri sendiri. Sebenarnya sebelum meninggal, neneknya pernah mengatakan agar Zahra menemui ayah kandungnya. Ayah Zahra adalah sosok yang baik, tetapi dia meninggalkan Zahra, ibunya dan neneknya saat Zahra berusia tujuh tahun. Orang-orang berseragam hitam memaksa ayahnya agar ikut dengannya. Kalung yang saat ini Zahra kenakan adalah kalung pemberian ayahnya saat akan dibawa pergi oleh orang-orang berseragam hitam itu. Neneknya mengatakan agar Zahra menemui ayahnya setelah sang nenek tiada. Sekarang neneknya sudah tiada tetapi Zahra tidak ada niat untuk mencari ayahnya. Dia harus mencari kemana? Dia sendiri saja ragu apa masih mengenali ayahnya. Air mata Z
Saat Zein menyusul Zahra ke tempat terakhir Zahra menghubunginya, dia terlambat. Dia tak menemukan siapapun di sana, bahkan orang yang berlalu lalang pun tak ada. "Sial! Aku terlambat," gerutu Zein, menendang sisi bagian samping mobil mewah miliknya lalu segera masuk dalam mobil. Hujan masih turun–walau rintik-rintik, dan kemana perempuan itu pergi? Sialan, entah kenapa Zein mengkhawatirkan Zahra. Ketika ingin pulang ke rumahnya, tiba-tiba saja Marcus–tangan kanan Zein mengirim sesuatu. Zein langsung menggeram marah, melihat dokumen berupa foto dan keterangan. Foto tersebut adalah foto Zahra yang tengah rangkul mesra oleh seorang laki-laki di rumah sakit. Zein tak bisa mengenali laki-laki tersebut sebab diambil dari samping, akan tetapi dia merasa tidak asing dengan sosok tersebut. [Tuan, saya tidak menemukan cela yang membuktikan jika Nyonya selingkuh dari anda. Akan tetapi, hari ini saya tanpa sengaja bertemu dengan Nyonya di rumah sakit dan menjumpai Nyonya dengan pria di foto
'Memohon …,' ucap Zein dengan nada dingin dari seberang sana. Dia tidak akan melepas Zahra. Tidak akan pernah! Zahra tak menjawab apapun, segera menjauhkan benda pipi tersebut dari telinga kemudian langsung menekan tombol merah di layar–menyudahi panggilan Zein padanya. Di sisi lain, Zein yang memantau Zahra dari kejauhan seketika langsung melempar ponsel ke sembarang arah. Dia dalam mobil, mengamuk menyaksikan sikap tenang Zahra di luar sana. Harusnya dalam kondisi sekarang Zahra memohon padanya, bukan malah bersikap tegar dan keras kepala. "Fucking jerk!" umpat Zein marah, memukul setir dengan sekuat tenaga. Dia masih di sana, memperhatikan Zahra yang saat ini duduk di sebuah kursi taman, sembari mengeluarkan HP. Kemarahan Zein tiba-tiba redup, melihat sikap tenang Zahra entah kenapa hatinya merasa bergetar. Aneh! Ini sudah malam tetapi perempuan itu seolah bersinar dibawah penerangan lampu taman. Seolah sinar berasal dari Zahra, bukan satu lampu. Sejujurnya Zahra adalah wanita
Zein duduk termenung di dalam ruang kerjanya, dia melamun memikirkan Zahra yang sudah tiga hari keluar dari rumah akan tetapi tak kunjung menghubunginya. Perempuan itu seharusnya memohon pada Zein, meminta agar kembali kepada Zein. Namun, Zahra sama sekali tak pernah menghubunginya dan tak pernah menemuinya jua. "Zahra Aurelia." Zein menyebut nama istrinya secara pelan. Namun, dia sangat emosional saat melakukan itu. Entah kenapa ada perasaan aneh ketika dia melakukannya. Tiga hari ini Zein merasa hidupnya tak benar. Zahra pergi dari rumah ini, ikut serta membawa hangat serta cahaya di rumah ini. Biasanya pagi, Zahra selalu menyiapkan bekal untuknya. Siang–di kantor, perempuan itu akan mengantar makan siang. Malam, setelah di rumah, dia akan menyiapkan air pemandian untuk Zein. Ketika bekerja di rumah, Zahra akan datang membantunya. Perempuan itu memberikan secangkir kopi lalu selalu peka dengan memijat pundak Zein saat merasa lelah. Sekarang tak ada yang mengurusnya. Baru tiga har
"Jadi Tuan Zein tidak setuju dengan perceraian kalian?" tanya Lucas pada putrinya, Zahra. Lucas sudah mendengar cerita dari Raka yang mengatakan jika tiga tahun yang lalu putrinya telah menikah dengan seorang tuan muda dari keluarga Melviano. Pernikahan mereka karena sebuah kesalahan dan Zein membenci putrinya karena alasan tersebut. Sekarang putrinya menyerah pada Zein namun naas dia sedang mengandung anak dari pria itu. Zahra menganggukkan kepala. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu mengkhawatirkan ku, Ayah," jawab Zahra pelan, menundukkan kepala untuk menutupi kesedihannya. Dia membenci Zein namun di satu sisi dia masih mencintai pria itu. Dia tahu dia bodoh, akan menghapus cinta yang telah bersemayam dihatinya selama tujuh tahun tidak mungkin semudah itu bisa ia lakukan. Meskipun Zein telah melakukan kejahatan padanya, tetapi Zahra tak membencinya. Padahal Zahra sangat ingin membenci Zein, pria itu tidak pantas mendapatkan cintanya."Nak, kamu bisa mengugurkan bayi itu. Dia bisa m
"Zahra Aurelia Melviano!"Mendengar namanya diteriaki, Zahra mendongak ke arah suara tersebut. Langkahnya langsung berhenti, begitu juga dengan Raka dan bodyguard yang mengawal. Zahra terkejut bukan main saat mendapati Zein di depan, sekarang sedang berjalan menghampirinya.Zahra terlihat tegang, gugup dan cukup waspada. Setelah hari itu, sejujurnya Zahra belum siap untuk bertemu dengan Zein. 'Aku pasti bisa. Aku harus menghadapinya.' batin Zahra, mengepalkan tangan kuat untuk memberinya dukungan. Saat Zein telah berada tepat di depannya, Zahra langsung mengangkat dagu secara angkuh. "Apa yang kau lakukan di sini?" geram Zein dingin setelah dia berada di depan Zahra. "Kita sudah tidak punya urusan, Pak Zein. Jadi kurasa aku tidak perlu menjawab pertanyaan tidak penting anda," jawab Zahra datar, mengangkat pandangan–memberanikan diri untuk balas menatap Zein yang mengintimidasi. "Kau bicara apa? Kau masih istriku dan urusanmu adalah urusanku," datar Zein, mengulurkan tangan lalu d
"Aku Belle, bukan Zahra, Zein."Zein menghela napas pelan, kaku menunduk untuk memijit pangkalan hidung. Shit! Bagaimana bisa dia berpikir Zahra masih disini?! Perempuan itu bahkan telah berkhianat dan kini memilih bekerja dengan selingkuhannya."Humm." Zein berdehem rendah, kembali menatap Belle lalu pura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Setelah Zahra menggugat cerai dirinya, entah kenapa Zein tak berminat menemui perempuan manapun. Termasuk Belle. "Sedang apa kau ke sini?""Kabar baiknya kehamilanku sudah dalam kondisi baik. Aku sudah bisa bekerja dan mari kita lanjutkan proyek dress musim gugur, Zein. Aku siap menjadi model untuk acara sebesar itu," ucap Belle bersemangat. Ini kesempatannya untuk membuktikan diri pada Zein. Tiga tahun ini Belle berhasil membuat namanya populer di dunia fashion dan model. Tentunya dengan bantuan kekasihnya dahulu. Namun, karena pria itu memilih istrinya dan tak bisa membantu Belle lagi, maka Belle kembali ke sini. Zein berkuasa dan disegani di dunia