Share

Memilih Pergi

Zahra termenung dalam kamar, dia di rumah Zein karena paksaan Zein saat itu. Sekarang dia sedang beristirahat, tubuhnya lemah karena kehamilannya. Zahra sedang menunggu Zein, akan tetapi setelah hari pemakaman neneknya Zein tak pernah lagi pulang ke tempat ini. Zein sepertinya memang sudah tak menginginkannya. Sudah ada Belle, pengganti Zahra.

Ah, salah. Selama tiga tahun ini Zahra lah yang menjadi pengganti. Sekarang Belle kembali dan posisinya sebagai istri Zein bisa dikatakan telah berakhir.

"Aku harus pergi dari sini. Aku tidak boleh membiarkan diriku terus-terusan menderita," monolog Zahra, bangkit dari ranjang lalu buru-buru mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Selagi Zein tak di sini, Zahra akan pergi dari rumah.

Toh, sejak awal Zein tidak mengharapkan kehadirannya.

Selama tiga tahun Zahra berjuang untuk cinta Zein. Meskipun selama ini dia mendapatkan perlakuan dingin, tetapi Zahra percaya jika suatu saat Zein akan membalas cintanya. Namun, mungkin itu mustahil. Belle tetap pemenangnya!

Setelah mengemasi barang dalam koper, Zahra keluar dari kamar–berjalan dengan langkah cepat karena dia ingin cepat-cepat pergi dari rumah penuh derita ini.

Sekarang saatnya Zahra mengakhiri kebodohannya, dia menyerah untuk cinta Zein dan berniat akan melupakannya.

Namun, tiba-tiba saja Yolanda, ibu Zein, muncul. Ibu mertuanya tersebut menatapnya sinis dan merendahkan.

"Kamu ingin kemana, Gembel?" sinis Yolanda, menatap koper Zahra dengan tatapan curiga.

Yolanda tidak menyukai Zahra sebab perempuan ini telah menjebak putranya tiga tahun yang lalu. Dia yakin sekali Zahra menjebak Zein untuk status Nyonya Melviano dan harga kekayaan.

"Pergi." Zahra menjawab acuh tak acuh. Kali ini dia tidak peduli lagi pada siapapun, sekalipun itu ibu suaminya. Tak ada yang peduli padanya selama ini, mereka semua jahat.

Hanya Raka dan Kakek suaminya yang baik padanya. Ibu suaminya, perempuan dihadapannya saat ini, tak pernah menghargai Zahra.

"Maksudmu menggoda pebisnis lain, Jalang?"

Zahra diam atas hinaan tersebut, dia memilih menahan diri dan bersabar.

"Cih, entah kenapa Zein harus menikah dengan perempuan sepertimu. Kamu hanya perempuan penggoda, miskin dan tidak berguna sedikitpun. Aku sangat miris! Bahkan tiga tahun menikah dengan Zein, kamu tidak bisa memberinya keturunan. Kau pandai menggoda tetapi kau mandul, cacat!" cerca Yolanda tak ada habisnya.

"Tenang saja!" ucap Zahra meninggikan suara. "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun lagi, Nyonya Melviano!" Zahra sama sekali tak menggunakan embel-embel mama pada sang ibu mertua. Dia sudah cukup sabar, tetepi perempuan ini terus menghinanya. "Aku dengan Zein akan bercerai," tambahnya.

"Ouh, baguslah." Yolanda bersedekap angkuh, merasa senang mendengar jika Zein dan Zahra akan bercerai. Akhirnya, wanita tak berguna ini dilepas oleh putranya.

Zahra menghela napas lalu melanjutkan langkah. Namun, Yolanda kembali menghadang.

"Apa lagi?!" Zahra berucap lelah.

"Dalam kopermu pasti ada barang curian dari rumah ini," tuding Yolanda, memanggil maid lalu menyuruh mereka untuk menggeledah koper Zahra.

"Aku bukan pencuri," pekik Zahra, tak rela barangnya diacak-acak oleh maid.

"Tidak mungkin kamu ingin pergi dari rumah ini tanpa mencuri. Sejak awal kan kamu memang mengincar harta putraku. Kamu menjebaknya hanya demi status dan uang, iya kan?!"

Zahra menggelengkan kepala. "Aku tidak seperti itu."

Namun, setelah mengatakan itu, tiba-tiba saja seorang maid menemukan sebuah kalung berharga dalam koper Zahra. Bukan! Itu bukan hasil curian. Zahra sama sekali tak membawa apapun dari rumah ini, dia hanya membawa pakaiannya. Itupun pakaian lama, pakaian yang ia bawa ke rumah ini. Sedangkan kalung itu, dia kalung milik Zahra–itu kalung pemberian ayahnya, benda terakhir dari ayahnya yang Zahra punya.

"I--itu kalungku. Kembalikan!" pekik Zahra panik. Sayangnya kalung tersebut sudah berada di tangan Yolanda.

"Ini Kalung mahal dengan berlian langka. Tidak mungkin ini kalung mu. Ini pasti dari Zein kan? Kamu tidak bisa membawa hadiah pemberian putraku!"

"Itu milikku. Pak Zain tidak pernah memberiku hadiah," ucap Zahra, hampir menangis sebab tak ingin kalung pemberian ayahnya diambil oleh Yolanda. Itu satu-satunya benda berharga miliknya, satu-satunya penghubung antara dia dan ayahnya.

Zahra berupaya merampas kalung tersebut. Dia berupaya menariknya dari Yolanda, sedangkan Yolanda yang Keukeh itu kalung dari Zein berupaya menjauhkan kalung tersebut dari Zahra.

Tiba-tiba saja Zein datang dan langsung memisahkan Zahra dari Yolanda. Dia mendorong Zahra, karena terlihat Zahra seperti menjambak ibunya. Tetapi dorongannya tidak terlalu kuat, cukup pelan.

Namun, kondisi tubuh Zahra cukup lelah, tak bertenaga dan lemah, menyebalkan dorongan Zein yang pelan terasa mengguncang tubuhnya–membuat Zahra terhempas dan berakhir jatuh cukup kuat di lantai.

"Ahkg!" Zahra merintih sakit.

"Zahra." Zein langsung menghampirinya dan berniat membantu. Namun, Zahra menepis bahkan mendorong tubuh Zein yang mencondongkan ke arahnya.

"Menyingkir!" pekik Zahra, setelah itu bersin sebab ada sesuatu yang membuat hidung Zahra gatal. Sesuatu yang ada di tangan Zein.

"Aku berniat membantumu. Maaf …," ucap Zein pada akhirnya. Dia tak sengaja dan menyesal.

Zahra mengabaikan permintaan maaf dari Zein. Dia langsung melayangkan tatapan sinis pada Yolanda. "Bagiamana bisa Pak Zein memberiku hadiah kalung mahal, Tante? Sedangkan Pak Zein saja tak peduli dengan ku, membawa bunga tulip ke rumah ini padahal dia tahu aku alergi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status