Zahra reflek menggelengkan kepala secara kuat, menampilkan air muka gugup karena cukup panik. "Nenek yang memberitahuku jika aku melompat dari mobil lalu berakhir jatuh ke jurang," jelas Zahra, takut Zein marah karena salah paham padanya. "Aku tidak ingat apapun. Na-namaku saja dikasih oleh Nenek karena kalung yang dia temukan dileherku." Zein menoleh ke leher Zahra, tak melihat apapun di sana. "Di mana kalungmu?" "Nenek menjualnya karena butuh biaya berobatku saat itu." Zein meraih tangan istrinya kemudian mengusap jari manis istrinya yang tak lagi mengenakan cincin pernikahan. "Cincin pernikahan juga dijual?" Zahra menganggukkan kepala, menatap Zein lekat lalu meneguk saliva secara kasar. Sepertinya Zein memang suaminya, pria ini bahkan tahu soal cincin pernikahan di jari manis Zahra. "Humm." Zein hanya berdehem singkat. *** 'Aku benar-benar lupa ingatan dan Tuan Zein memang suamiku. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku menikah dengan sosok monster ini? Ke-kenapa dari banyaknya
Saat ini Zahra berada di ruang keluarga, menemani Nail dan Alean bermain. Sedangkan Zein sudah pergi ke kantor. Sejujurnya, Zahra kasihan pada Alean sebab harus mencari orangtuanya ke kota ini, Alean harus berhenti sekolah. Rencana akan pindah ke sekolah di kota ini. Namun, masalah ini terjadi–Zahra bertemu Zein sehingga Zahra tak sempat mendaftarkan Alean ke sekolah baru. "Zahra Aurelia, putriku!" Zahra reflek menoleh ke belakang, sontak berdiri dengan menatap aneh sosok lelaki paruh baya yang terlihat berjalan ke arahnya. Bug'Pria itu langsung memeluk Zahra, membuat Zahra terkejut. Aneh, karena Zahra nyaman dengan pelukan ini. Dadanya terasa sesak, jantung berdebar kencang dan hati menghangat. Tanpa sadar, Zahra mengeluarkan bulir kristal dari pelupuk. Ada perasaan rindu yang ia rasakan. Pelukan pria ini membuat Zahra merasa sangat dicintai. "Nak." Lucas melepas pelukan, menangkup pipi Zahra kemudian mengecup ubun-ubun putrinya. "Akhirnya kamu kembali, Aurelia ku. Papa sangat
Zahra sekarang di rumah Zein, dia di antar pulang oleh Alana karena Zahra yang keukeuh untuk pulang. Bahkan dia tidak pamit pada ayahnya, saking takutnya dijadikan direktur utama oleh sang ayah. "Zahra yang dulu terlalu keren dan hebat. Aku mana bisa seperti dia, kecuali ingatanku kembali," gumam Zahra, termenung karena insecure serta iri pada dirinya yang dulu. Saat diperjalanan pulang kemari, Zahra bertanya-tanya pada Zahra yang merupakan direktur. Alana menceritakan kehebatan Zahra dalam memimpin perusahaan, mendesain dan menjalankan tanggung jawab. Bukannya bangga pada kemampuannya yang begitu hebat, Zahra malah insecure. Lihatlah dirinya sekarang, sangat kosong dan minim pengetahuan! 'Anda mungkin lupa siapa diri anda, Nona. Tetapi anda tidak akan lupa jati diri anda. Anda panutanku, perempuan hebat yang selamanya akan seperti itu.' Kalimat dari Alana, Zahra tertegun tetapi semakin tertekan secara bersamaan. Sekretarisnya menjadikan dirinya panutan. Bagaimana jika dirinya ya
"Kau dan Nenekmu adalah orang yang menemukan istriku. Kau bisa ceritakan apa yang terjadi saat itu?" Zein berkata pelan, berusaha ramah dan baik karena yang ia hadapi adalah anak dibawah umur. Namun, tetap saja aura mengintimidasi menguar dari dirinya. Zein tetap lah Zein. Alean menatap gugup serta takut, bahkan sudah berkeringat dingin. "Tenang, aku tidak akan mencelakaimu jika kau jujur. Sebaliknya, aku akan memberikanmu hadiah," ucap Zein, berupaya merilekskan Alean. Alean menganggukkan kepala, meskipun aura mengerikan pria ini tak hilang akan tetapi Alean merasa jika Zein memang orang baik. "Saat itu aku dan Nenekku berada di sekitar pinggir jalan, mencari rumput untuk ternak kami. Lalu tiba-tiba saja sebuah mobil lewat. Karena jarang ada mobil mewah melintas di desaku, aku dan Nenekku menonton mobil itu saat lewat. Tetapi mengejutkannya seorang perempuan melompat dari mobil lalu tubuhnya menggelinding ke jurang. Nenek mengajakku bersembunyi di rumput, takut terjadi sesuatu.
Ceklek' Zahra yang menunggu di depan pintu ruang kerja Zein, seketika menoleh saat mendengar pintu di buka. Dia langsung menghampiri Alean, segera membawa adiknya tersebut dalam pelukannya. "Kamu tidak apa-apa, Alean?" tanya Zahra, mendapat anggukan dari Alean. "Aku tidak apa-apa, Kak. Aku hanya mengobrol dengan Tuan Zein," jawab Alean, tersenyum cerah ke arah Zahra. Hari ini Alean sangat bahagia, senang karena dia mendapatkan sebuah keluarga. "Kenapa masih memanggilnya Kak, Aiden?" tegur Zein, berada tepat di belakang Alean dan Zahra. Hal tersebut membuat Zahra buru-buru menoleh ke belakang. Merasa dirinya terlalu dekat dengan Zein, Zahra melangkah mundur untuk menciptakan jarak. Namun, hal tersebut diketahui oleh Zein, pria itu menarik pinggang Zahra–merangkulnya dengan mesra. "Siapa Aiden?" tanya Zahra, hanya diam meskipun Zein memeluk pinggangnya. Sejujurnya, Zahra ingin protes akan tetapi dia takut protesnya malah membuat Zein semakin menjadi-jadi."Sekarang namanya adalah
"Aku benar-benar tidak bisa. Bukan karena aku takut mencoba, Tuan Zein, tetapi aku sadar diri. Kemampuanku tidak ada." "Ada," jawab Zein tegas, "kau hanya perlu memancing supaya dia muncul. Wife, kau sangat hebat, kemampuan mu luar biasa dalam mendesain. Ingatanmu tidak terhapus, hanya tertimbun.""Bagaimana jika aku menghancurkan semuanya? Sungguh, aku bukan Zahra yang kalian inginkan. Aku-- yah aku! Aku hanya perempuan desa yang hidup dengan sederhana, pengetahuanku tak luas dan terbatas. Intinya … aku adalah aku!" pekik Zahra, terlalu tertekan dengan semuanya. Zahra yang dulu terlalu sempurna, Zahra sekarang merasa tak bisa mengimbangi. "Syuuttt." Zein memperdalam pelukannya, mendudelkan wajah di pucuk kepala Zahra lalu mengecupnya beberapa kali supaya menenangkan Zahra. Zein tahu dia terkesan menekan Zahra, akan tetapi ini demi kebaikan istrinya. Jika Zahra kembali ke kantor, melakukan aktivitas yang sama seperti dahulu, mungkin ingatan istrinya akan kembali muncul. "Tenang, Wi
"Hei, Bisu!" Deana mendekati Nail kemudian langsung menendang mainan anak kecil tersebut. Nail mendongak, menatap berang bercampur kesal pada sosok perempuan yang sangat ia benci tersebut. Namun, dia hanya diam. Nail hanyalah anak kecil. Meskipun ada perasaan ingin melawan, tetapi perasaan takut lebih mendominasi. "Apa kamu sudah mengatakan pada Kak Zein untuk menikahiku?" bentak Deana. Dia tahu Zein tak di rumah, oleh sebab itu dia berani memaki-maki Nail. Maid? Cih, tak ada yang berani melawan Deana di sini. Semua maid takut padanya sehingga mereka tak berani mengadukan keburukan Deana pada Zein. "Kamu belum menyuruh Kak Zein yah untuk menikahiku? Sialan! Kamu memang anak kurang ajar," maki Deana, berjongkok lalu menjewer kuat telinga Nail. Namun, tiba-tiba saja seorang menarik rambutnya dari belakang kemudian mendorong kasar dirinya ke kolam. Byurrrr' Tubuh Deana basah seluruhnya, buru-buru kepermukaan kemudian langsung memburu oksigen. Mata Deana langsung menatap tajam ke a
"Ekhmm."Zahra yang sedang belajar bersama Alana tersebut reflek menoleh ke arah Zein. Pria itu berada tepat di belakang Zahra, berdiri dengan bersedekap di dada. Tatapan pria itu menghunus tajam, terkesan marah dan sedang menahan emosi. Alana yang melihat Zein di sana, langsung berdiri kemudian membungkuk hormat pada Zein. "Selamat sore, Tuan Zein." Alana berkata sopan. "Humm." Zein hanya berdehem sebagai tanggapan. Zahra yang melihat ikut berdiri, buru-buru membungkuk pada Zein untuk memberi salam. Jangan-janagn Zein terlihat marah karena Zahra tidak memberi salam saat pria ini datang. Zein terkenal arogan, tentu saja semua orang harus hormat dan tunduk padanya. "Se-selamat sore, Tuan--" Ucapam Zahra berhenti, mendadak Alana memegang pundaknya–memaksa agar Zahra menegakkan tubuh. Setelah Zahra berdiri tegak, Alana menyikut lengan Zahra. Kemudian dia berbisik untuk menegur sang nona."Nona Zahra jangan membungkuk pada Tuan Zein, sebab Tuan adalah suami Nona." ucap Alana yang m