"Jingga. Siapa yang menelepon? Kenapa kamu kayaknya kesel?" Mas Aksa kembali menanyaiku karena aku masih diam. Rupanya karena terlalu fokus meneelepon aku sampai tidak mendengar derit pintu apartemen yang dibuka oleh Mas Aksa. "Jingga?" ulang Mas Aksa semakin intens. Pria itu menjatuhkan tas kerjanya serampang seraya menghampiriku. Jujur, saat ini aku ingin sekali mengatakan kalau yang menghubungiku itu adalah wanita asing yang mengancam tidak akan membiarkanku bahagia bersama Mas Aksa tapi aku takut membuat lelaki di depanku ini semakin khawatir. Jadi, aku hanya menggumam pendek. "Hm, gak tahu Mas salah sambung," jawabku sambil memaksakan senyum. "Ah, syukurlah. Mas cemas takutnya ada yang mau jahatin kamu," ucapnya seraya masuk ke kamar dan memeluk tiba-tiba. "Kamu tahu gak pas ponsel kamu mati, Mas khawatir banget sama kamu apalagi tadi hujan gede. Mas hubungin kamu terus sampai meriksa pasien aja gak konsen.""Loh, kenapa gak konsen?" "Mas kangen.""Heh?" Badanku yang tadi te
POV Author.Susana rumah sakit pagi itu cukup ramai dan Aksa baru saja beristirahat setelah semalaman dia harus berjibaku dalam operasi penyelamatan Nadia. Dengan lelah, Aksa menyandarkan bahunya di kursi hidrolik yang ada di ruangan. Duduk santai sambil melihat ke arah layar di mana wajah Jingga yang menjadi penghiasnya. Aksa tersenyum sambil membelai layar seakan yang ia belai adalah sosok yang ada di dalam foto. Pria itu sebenarnya sangat rindu dan ingin kembali ke rumah menemui gadisnya tapi sayangnya Nadia masih belum melewati masa kritis. Benturan yang cukup keras karena kecelakaan tunggal yang dialami membuat Nadia harus dirawat di ICU pasca operasi dan sialnya Aksa harus bertanggung jawab akan itu. Aksa yang berpegang teguh pada janjinya sebagai lelaki membuat dirinya sulit bersikap gak perduli ketika harus menyelamatkan nyawa istri sahabatnya itu. Terlebih Nadia masih punya Rara--anak semata wayang hasil pernikahannya dan Rangga, dalam usianya yang genap lima tahun tentau ana
"Jadi kamu sengaja pulang malam agar diantar Tsabit?" Itulah kalimat pertama yang aku dengar ketika diri ini baru saja menutup pintu apartemen setelah menyimpan bunga di vas. Aku reflek menoleh ke arah sumber suara dan mataku seketika membelalak terkejut melihat sosok pria muncul dari balik tembok seolah sudah lama bersembunyi. "Astaghfirullah! Mas Aksa? Mas udah pulang?" tanyaku kaget sekaligus tak menyangka.Bukan apa-apa, masalahnya aku masih mengira Mas Aksa ada di rumah sakit. Jadi, agak syok melihatnya tiba-tiba sudah ada di sini."Ya udah, saya udah pulang lebih awal dibanding kamu. Sekarang, jawab pertanyaan saya! Kenapa kamu gak angkat telepon saya? Dan kenapa kamu gak bilang mau ke mana?" tanya Mas Aksa dengan sikap dingin. Sepertinya dia belum tahu kalau ponselku tertinggal di rumah.Aku berdehem sekali, menggosok punggung tangan dengan tiga jari. "Oh itu, aku lupa Mas ponselnya ketinggalan. Maaf ya Mas? Betewe kabar Nadia gimana? Masa kritisnya udah lewat kan?" tanyaku me
Aku menguap sesekali mengusir kantuk tapi gagal, mata setengah watt dan hidung berair menyempurnakan penderitaan seorang mahasiswi tingkat lawas sepertiku. Pekerjaan rumah tangga seharian dan pergumulan yang menyita jiwa dan raga tak ayal membuatku sangat lelah, hingga aku merasa waktuku 24 jam ini tak cukup untuk mengerjakan semua kewajiban. Apalagi jika mengingat tentang hubungan Mas Aksa dan masa lalunya yang masih teka-teki ... wadidaw! Kepalaku ini rasanya benar-benar mau pecah.Sekarang aku paham, kenapa Bu Zela suka senewen kalau anak-anaknya suka bikin onar ternyata segini susahnya jadi istri dan ibu rumah tangga.Aku jadi kepikiran, gimana nasibku nanti kalau jadi ibu dari anak-anak Mas Aksa? Apakah aku akan bisa sesabar Bu Zela atau Si Mbok? Mengingat baru segini aja, badanku kayaknya udah mau jompo aja.Eh, tapi terlepas dari kesulitan yang kuhadapi tetap saja tak bisa dibohongi membayangkan kalau suatu saat aku akan punya anak, rasanya pasti senang. Lalu, sembari berceng
Aku menatap perempuan yang ada di depanku dengan wajah datar. Sudah lima belas menit berlalu aku dan Kalila duduk berhadapan di meja kafe tapi wanita di depanku belum juga bersuara. Tadinya, aku malas sekali menemui perempuan yang telah berselingkuh dengan Bang Deni ini tapi dia terus memohon hingga aku tak ada pilihan selain menemuinya.Entah apa tujuannya tapi kuakui kalau aku penasaran. Kalila hanya tersenyum tipis sambil menyesap teh yang disajikan pramusaji. Kalau dipikir-pikir Kalila tidak berubah banyak, dia tetap seperti dulu manis dan kurus. Hanya aku bisa melihat sedikit perubahan di kantong matanya yang menghitam. Dalam hati aku bertanya-tanya. Mengapa ia datang sendiri? Lalu kemana Bang Deni? Dan banyak lagi pertanyaan lain yang hanya bisa kusimpan sendiri karena gak penting juga untuk diutarakan.Bagiku Kalila dan Deni adalah masa lalu yang sebenarnya menjadi jalan terbaik dari Allah untuk menyatukanku dan Mas Aksa. "Saya sebelumnya mau mengucapkan terima kasih karen
Aku berlari ke arah parkiran, meminjam motor milik Kenzi--adik tingkatku yang kebetulan terparkir dan langsung pergi menuju rumah sakit. Walau keahlian mengemudi motorku masih pra awal dan sudah lama tidak digunakan tapi kali ini aku harus nekat, kurasa jika harus menunggu gojek pasti gak akan keburu. Selama menggebah motor, aku menyetir bagaikan orang kesetanan, menyalip motor dan mobil sudah tanpa perasaan.Mungkin jika ini dalam kondisi normal, aku akan takut melakukannya tapi bayangan Mas Aksa yang sedang bersama Nadia benar-benar menguji keimananku. Aku tak sanggup lagi berpikir jerih dan yang kupikirkan hanya satu yaitu membuktikan kebenaran tentang suamiku. Sungguh, aku lelah terus menerus dicekoki prasangka yang datang dari kanan kiri, aku ingin menghentikan kecurigaan ini. Sialnya, seolah semesta sedang tidak mendukung. Di saat aku terburu-buru, jalanan menuju rumah sakit sore ini ternyata tak mudah ditaklukan. Selain ramai dan banyak orang pulang kerja, beberapa mobil selal
Aku membanting pintu kamar hotel dengan marah. Tanpa sadar punggungku menghantam keras pintu begitu saja. Kakiku lemas karena tidak dapat menahan bobot tubuhku yang limbung. Seketika badanku merosot ke bawah, terduduk di lantai secara mengenaskan. Hancur! Semua hancur! Baru kali ini aku merasa menjadi wanita paling bodoh sedunia. Mengingat kepedihan yang kualami, air mataku seketika merebak dan rasanya gak ada yang tersisa dari diri ini selain keputus-asaan. Satu-satunya hal yang kuinginkan sekarang hanyalah menangis sejadi-jadinya dan berteriak sekencang-kencangnya.Semula aku menyangka, segalanya telah berjalan sempurna dan menyenangkan ketika Mas Aksa mulai bisa tegas kepada Nadia dengan mengalihkan sumber dana tapi sayangnya dia kembali mengecewakanku. Hari ini, di saat seharusnya aku mereguk cinta dalam pernikahan kami, aku malah melihat dengan mata sendiri kalau dia berciuman dengan wanita yang paling aku benci. Sakit, aku sangat sakit. Aku merasa Mas Aksa tak ubahnya sepert
POV AksaAku melangkah gontai memasuki kamar apartemen. Suasana sepi yang menyapaku menyadarkan kalau gak ada lagi Jingga di sini. Sehari tanpa Jingga, bagiku benar-benar berat. Biasanya jika aku pulang, wajah Jingga yang ceria akan menghiburku tapi kali ini berbeda. Tak ada lagi sosok yang dengan nyaman bermanja padaku dan tak ada lagi seseorang yang memelukku ketika aku rindu. Hampa. Rasanya begitu sangat hampa. Bahkan apartemen ini terasa seperti kuburan saking sunyinya. Setelah meletakkan tas kerja, aku menyandarkan kepala ke punggung sofa sambil mengeluarkan ponsel. Kupandangi foto-foto Jingga yang tersimpan di galeri ponselku yang diambil tanpa sepengetahuan gadis itu. Wajah Jingga yang manis dan berbagai fose candidnya membuatku cukup terhibur. Namun, ketika menyadari kalau kejadian menyenangkan ini bisa jadi tidak akan terulang, perlahan hatiku terasa semakin remuk seolah dicincang puluhan pisau tajam. Rasa bersalah, cinta, kemarahan dan emosi semuanya seakan menjadi padu d