Aku berlari ke arah parkiran, meminjam motor milik Kenzi--adik tingkatku yang kebetulan terparkir dan langsung pergi menuju rumah sakit. Walau keahlian mengemudi motorku masih pra awal dan sudah lama tidak digunakan tapi kali ini aku harus nekat, kurasa jika harus menunggu gojek pasti gak akan keburu. Selama menggebah motor, aku menyetir bagaikan orang kesetanan, menyalip motor dan mobil sudah tanpa perasaan.Mungkin jika ini dalam kondisi normal, aku akan takut melakukannya tapi bayangan Mas Aksa yang sedang bersama Nadia benar-benar menguji keimananku. Aku tak sanggup lagi berpikir jerih dan yang kupikirkan hanya satu yaitu membuktikan kebenaran tentang suamiku. Sungguh, aku lelah terus menerus dicekoki prasangka yang datang dari kanan kiri, aku ingin menghentikan kecurigaan ini. Sialnya, seolah semesta sedang tidak mendukung. Di saat aku terburu-buru, jalanan menuju rumah sakit sore ini ternyata tak mudah ditaklukan. Selain ramai dan banyak orang pulang kerja, beberapa mobil selal
Aku membanting pintu kamar hotel dengan marah. Tanpa sadar punggungku menghantam keras pintu begitu saja. Kakiku lemas karena tidak dapat menahan bobot tubuhku yang limbung. Seketika badanku merosot ke bawah, terduduk di lantai secara mengenaskan. Hancur! Semua hancur! Baru kali ini aku merasa menjadi wanita paling bodoh sedunia. Mengingat kepedihan yang kualami, air mataku seketika merebak dan rasanya gak ada yang tersisa dari diri ini selain keputus-asaan. Satu-satunya hal yang kuinginkan sekarang hanyalah menangis sejadi-jadinya dan berteriak sekencang-kencangnya.Semula aku menyangka, segalanya telah berjalan sempurna dan menyenangkan ketika Mas Aksa mulai bisa tegas kepada Nadia dengan mengalihkan sumber dana tapi sayangnya dia kembali mengecewakanku. Hari ini, di saat seharusnya aku mereguk cinta dalam pernikahan kami, aku malah melihat dengan mata sendiri kalau dia berciuman dengan wanita yang paling aku benci. Sakit, aku sangat sakit. Aku merasa Mas Aksa tak ubahnya sepert
POV AksaAku melangkah gontai memasuki kamar apartemen. Suasana sepi yang menyapaku menyadarkan kalau gak ada lagi Jingga di sini. Sehari tanpa Jingga, bagiku benar-benar berat. Biasanya jika aku pulang, wajah Jingga yang ceria akan menghiburku tapi kali ini berbeda. Tak ada lagi sosok yang dengan nyaman bermanja padaku dan tak ada lagi seseorang yang memelukku ketika aku rindu. Hampa. Rasanya begitu sangat hampa. Bahkan apartemen ini terasa seperti kuburan saking sunyinya. Setelah meletakkan tas kerja, aku menyandarkan kepala ke punggung sofa sambil mengeluarkan ponsel. Kupandangi foto-foto Jingga yang tersimpan di galeri ponselku yang diambil tanpa sepengetahuan gadis itu. Wajah Jingga yang manis dan berbagai fose candidnya membuatku cukup terhibur. Namun, ketika menyadari kalau kejadian menyenangkan ini bisa jadi tidak akan terulang, perlahan hatiku terasa semakin remuk seolah dicincang puluhan pisau tajam. Rasa bersalah, cinta, kemarahan dan emosi semuanya seakan menjadi padu d
Aku tersenyum menatap pemandangan indah nan syahdu yang ada di depanku.Dari tadi mataku asyik memengamati aktivitas pagi di desa Ciomas. Kulihat banyak warga yang lalu lalang, dari mulai beberapa warga yang sibuk bercocok tanam sampai anak-anak kecil yang semangat bermain air genangan semuanya tampak bahagia. Inilah suasana yang sudah lama aku rindukan, tanpa sangka setelah belasan tahun tidak pulang situasi di kampungku tidak jauh berbeda. Hanya sedikit perubahannya, salah satunya yaitu jalanan ke sini saja yang mulai bagus dibanding saat dulu aku merantau ke Bandung dan bekerja pada Bu Zela. Diam-diam aku bersyukur, bisa menyaksikan semua ini lagi dari rumah bibikku yang teras belakangnya menghadap langsung ke area persawahan.Aku yakin kalau Bu Zela lihat ini pasti akan senang sekali, mertuaku itu sangat suka dengan kesederhanaan. "Haaah!"Aku mendesah lelah ketika menyadari kalau belum apa-apa hatiku sudah rindu saja pada keluarga Prawira. Tak kupungkiri meski aku memutuskan men
POV AuthorAksa menepikan mobilnya di tepi sebuah rumah yang memiliki halaman yang cukup luas. Ia melihat lagi dirinya di pantulan kaca spion.Wajahnya terlihat semakin lelah dan lingkaran hitam di bawah matanya tampak semakin jelas. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaannya yang memang sudah kacau. Setelah menghembuskan napas beberapa kali akhirnya dia pun memutuskan untuk turun dari mobil. Aksa menarik napas masygul ketika memasuki halaman. Rupanya inilah rumah Bik Awin, rumah singgah sementara Jingga jika pulang ke kampung halaman. Melihat kondisi rumahnya, Aksa tak heran jika Jingga bisa jadi kerasan di sini. Walau tak semewah miliknya, rumah panggung Bik Awin sangat nyaman dan asri. Terutama rumah ini bereda tepat di daerah persawahan dan di belakangnya terdapat bukit yang Aksa tidak tahu bukit apa namanya. Sejujurnya, Aksa agak ragu untuk menemui Jingga sekarang tapi masih ada yang harus ia jelaskan dan ia pun cemas jika tak bertemu Jingga lama-lama. Dia
Aku menatap ke luar jendela, sama sekali tak membuka percakapan dengan Kalila karena sibuk mengamati jalanan yang mulai menjauh dari daerah perkotaan. Aku sengaja tidak tidur atau bersantai karena tengah bersikap waspada dan bahkan diam-diam aku mengirimkan lokasi terkini ke Nino kalau-kalau aku tidak bisa pulang dengan selamat. Sayangnya semakin jauh kami berkendara, GPS sudah tidak bisa diakses.Aku gelisah tapi tak mau menunjukannya. Aku tidak mau Kalila menilai aku takut padahal aku sendiri yang menyanggupi permintaannya untuk mengikuti. Kupikir ini satu-satunya cara untuk membuka maksud terselubung dari seorang Kalila. Sebenarnya, seusai Kalila bilang ingin menemuiku untuk memberi informasi mengenai kesalahan Mas Aksa yang katanya lebih besar dari berselingkuh, mendadak rasa respect-ku pada Kalila menguap begitu saja dan insting wanitaku langsung memberi kode bahaya.Jujur, awalnya aku sempat tidak perduli pada omongan Kalila, terlebih aku merasa sudah tak ada gunanya lagi meng
Rasanya aku ingin tertawa sumbang atas apa yang sedang terjadi padaku sekarang. Seorang wanita yang sok jagoan dan bodoh telah berhasil diperdaya oleh dua wanita yang pernah mencintai suamiku sendiri. Pantas saja, anjing pasti temannya anjing. Tak heran jika mereka bisa bersama untuk merencanakan hal jahat ini."Dasar tolol! Di mana otakmu, Jingga? Kamu hanya cari mati dan nekat tanpa perhitungan!" Begitulah isi batinku tak henti memaki semenjak aku dijebak dan berakhir terperangkap di kamar tertutup, dalam kondisi badan terikat. Parahnya, aku bahkan hendak dijadikan mangsa bagi Mang Ardi dan teman-temannya di geng semut hitam. Ya Allah apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak mau menjadi bulan-bulanan mereka!Menyadari ketololanku, tanpa terasa air mataku kembali mengalir. Walau rasanya aku sudah lelah menangis karena merasa menyesal dan bersalah pada Mas Aksa karena telah gagal mempercayainya tetap saja aku sangat ketakutan sekarang. Terkadang orang yang balas dendam lebih me
Mataku perlahan terbuka ketika mencium bau obat-obatan yang membuatku mual dan yang pertama kali kulihat adalah langit-langit ruangan yang bercat putih.Aku nggak sadar bagaimana caranya aku bisa sampai di sini. Hanya saat ini kurasakan kepalaku kembali berdenyut, rasanya seolah-olah kepala ini ditusuk ribuan paku. Sakitnya nggak kira-kira hingga aku mengeluarkan sebuah rintihan kecil."Aww!""Eh, Jingga udah bangun? Tsabit! Tsania! Jingga udah bangun!" Suara lantang Bu Zela yang antusias membuat dua orang tetiba datang masuk ke ruagan. "Alhamdullilah ya Allah. Jingga ... akhirnya kamu bangun Ga," ujar Tsabit dengan nada parau dan berat. Pria itu terlihat lega, begitu juga gadis yang ada di sampingnya. Aku tersenyum lemah kepada mereka, bersyukur bisa melihat kedua adik iparku lagi. Pandanganku teralih pada Ibu mertuaku. "Kenapa Jingga bisa di sini, Bu?" tanyaku bingung. Sepertinya aku mengalami disorientasi waktu juga tempat."Kamu pingsan Jingga, kepala kamu kayaknya dibentur oleh