"Uang, uang untuk apa Mas?" Tanya Lusi yang langsung menatap ku dengan wajah kaget nya."Shuuut, jangan kenceng-kenceng kamu bicaranya Lus!" Kuletak kan jari telunjuk dibibir. Mengisyaratkan pada Lusi untuk tak berbicara terlalu kencang, karena aku takut Ibu tau."Lah emang kenapa sih Mas? Kamu butuh uang buat apa?" Tanya nya lagi dengan mengernyitkan dahi.Melihat tatapan Lusi yang begitu menelisik, membuatku hanya mampu menelan saliva yang tercekat dikerongkongan."I-itu, itu, mmm..."Aku bingung mau berkata apa padanya, Lusi pun nampak sabar mendengarkan ucapanku sambil tetap meminum es oyen nya."Itu apa Mas? Gak usah berbelit-belit." Jawabnya sedikit membentak, membuatku terkesiap karena kaget.Apalagi ini kali pertama Lusi berkata sedikit keras padaku. Karena biasanya, dia selalu lemah lembut, meskipun memang dia aslinya garang."Mas terlilit hutang Lus. Dan Mas hanya diberi waktu sebulan, untuk melunasinya!" Ucapku berbohong. Karena aku tak mungkin juga jujur pada Lusi. Yang ad
Tak ayal, setelah melihat Ida bersama dengan lelaki itu, pandangan ku seolah-olah tertuju pada butik cantik terus.Tapi jika secara terang-terangan aku memperhatikan mereka, aku malu pada Bram. Karena memang aku sok jual mahal dan cuek pada mantan istriku itu. Sehingga Bram mengira aku benar-benar tak peduli dengan mantan istriku itu.Padahal kenyataan nya, aku selalu kepo padanya. Pada aktifitasnya, maupun kehidupan percintaan nya yang kini terlihat sangat bahagia."Kamu bengong terus dari tadi. Kepikiran mantan istrimu ya?"Lagi-lagi Bran bertanya padaku, seolah-olah diapun juga penasaran tentang hubungan ku dan Ida."Yee kepo." Jawab ku cuek sembari menyesap kopi lagi "Seriusan ini Wo. Kamu kelihatan sedih banget abis lihat mantan istrimu jalan sama cowok itu. Apalagi mantan istrimu makin glowing lagi."Ku usap kasar wajahku serta menghela napas kasar."Ya pastinya, meskipun kita uda mantan. Tapi kan dia dulu pernah menemani hari-hariku selama beberapa tahun juga Bram. Apa lagi,
Hari ini memang aku sengaja mengajak Narendra naik odong-odong di Alun-Alun kota. Karena disini memang sangat ramai. Bisa dikatakan seperti pasar malam bila sore hari.Sesampainya disana, aku langsung memarkirkan sepeda motorku dan berjalan menuju abang odong-odong. Terlihat Narendra yang begitu antusias, apalagi permainan tersebut diwarnai dengan lampu kerlap-kerlip dan lagu anak-anak yang hampir dihafal oleh Narendra."Naik ini ya Nak!" Tukasku padanya digendongan Lusi."Iya Ayah."Segera saja ku ambil dirinya dari gendongan Lusi dan mendudukan nya di kursi odong-odong. Setelah mesin berjalan, dia pun melambaikan tangan pada kami.Seolah-olah dia sedang berjalan-jalan. Seketika hatiku berdesir nyeri. Sudah beberapa lama aku melewatkan masa indah bersama putraku ini.Tanpa terasa butiran hangat mengembun dipelupuk mata. Gegas diri ini mengusapnya dengan cepat. Malu, jika ketahuan sama orang lain kalau aku menangis didepan umum. Apalagi aku sedang bersama Lusi. Yang ada, nanti aku ba
Pov. lusiLebaran Idul Fitri pun telah berlalu. Dan Mas Dendi masih belum juga mendapatkan izin untuk pulang dan menemuiku.Apalagi aku sudah lama tak berkunjung kerumah sanak saudara Mas Dendi dikampung. Ya, karena kedua orang Mas Dendi juga sudah meninggal dunia. Tapi Mas Dendi masih memiliki keluarga besar. Dan aku, masih berkomunikasi dengan mereka lewat hp.Walaupun hanya sekedar bertanya kabar atau pun basa basi yang lainya. Yang pasti, aku tak pernah putus komunikasi dengan mereka.Tapi sudah hampir dua tahun ini, aku sama sekali tak pernah kesana. Itu juga karena sekarang Mas Dendi jarang pulang. Kadang terbesit pikiran negatif padanya. Apalagi, semua sifat manis Mas Dendi padaku sedikit berkurang. Contohnya saat aku dan dia sedang teleponan."Mas, kapan pulang. Uda kangen nih!!!" Ucapku padanya"Kamu kangen aku atau kangen uangku Lus?"Degh!!!Jujur saja, perkataanya membuatku sedikit tersinggung. Memang benar jika aku dulu suka dengan Mas Dendi karena uang nya, apalagi dia
Setelah menunggu cukup lama balasan pesan dari Mas Dendi, akhirnya yang ku tunggu-tunggu pun datang juga.Klunting!!!Sebuah notifikasi pesan masuk pun aku terima. Dan kulihat pesan itu berasal dari Mas Dendi. Dengan sigap pula, aku segera membuka nya.[Kamu sakit apa Lus? Kamu yang sabar ya, Mas masih belum bisa pulang. Kamu minta tunggu Ibu.] Balasnya tanpa ada romantis-romantisnya.Entah kenapa tiba-tiba saja air mata ini luruh dengan sendirinya. Hanya kata itulah yang dikirm oleh Mas Dendi.Padahal dulu, jika dia tau aku sakit, dia paati bakal langsung menelfon ku. Atau bertanya aku tak papa kah? Atau aku mengingkan apa? Atau yang memang paling ku tunggu adalah kedatangan nya.Tapi sekarang, Mas Dendi benar-benar tak peduli lagi."Huhuhuhu!!!" Aku sudah tak mampu membendung rasa sedihku.Suara tangisan dan isakan ku terdengar menggema didalam kamar. Atau bahkan sudah terdengar diluar kamar. Aah entahlah, aku tak peduli. Yang terpenting aku bisa meluapkan rasa sakit hatiku."Kamu t
.Hari berlalu begitu saja dengan begitu cepat. Uang yang dipinjam oleh Mas Bowo pun telah aku berikan. Karena aku begitu risih tiap hari ditagih oleh Mas Bowo."Bu, jadi kepasar gak?" Tanya ku pada Ibu yang sibuk menyuapi Narendra.Ya, semenjak Denisa ketahuan berselingkuh bahkan mengandung buah hati dari selingkuhan nya, dia tak pernah bertanya kabar tentang anak nya.Sepertinya Denisa benar-benar tak peduli dengan anak manis ini. Untung saja, suwuk yang diberikan pada Narendra manjur juga. Buktinya, dia sama sekali tak pernah mencari Mamanya.Bahkan dia lebih dekat dengan Ibu maupun aku. Dan aku, juga sudah menganggap Narendra seperti anak ku sendiri. Apapun yang dia inginkan, aku selalu menuruti. Mungkin ini juga efek aku belum memiliki buah hati."Iya bentar, Ibu tak nyuapin Narendra dulu Lus!""Aku ikut ya Ate?" Ucap si ganteng padaku yang langsung aku setujui."Pasti dong sayang, masa' iya Tante mau ninggal kamu sendirian dirumah." Jawabku sambil tersenyum"Hooleeeee!!!" Ucapnya
Aku merasa sedikit tersanjung dengan ucapan Mas Dendi saat dia bilang ingin memberikan kejutan dengan kehadiran nya.Tapi yang membuat ku sedikit bingung, Mas Dendi tak membawa tas besar ataupun koper saat kesini. Apa mungkin dia libur hanya beberapa hari saja? Makanya dia tak membawa baju lagi. Sebab dirumah juga masih ada baju Mas Dendi."Masuk Mas!" Ajak ku pada Mas Dendi yang masih berdiri mematung. Tapi dari pandanganya, dia sedang menunggu seseorang.Aku pun mengikuti gerak mata Mas Dendi yang tertuju pada rumah Bu Surti. Dan pandangan ku pun akhirnya juga tertuju pada rumah itu "Mas, emang ada apa sih kok dari tadi lihat rumah Bu Surti terus?" Ucapku padanya tapi tetap tak bergeming menatap rumah itu."Mmm, itu... Nganu Lus!!!" Ucap Mas Dendi terbata membuat ku reflek menatapnya.Dia pun balik menatap ku dengan wajah gugup. Entah, apa yang sebenarnya ditutup-tutupi Mas Dendi dariku.Sejak lima bulan yang lalu, Mas Dendi sudah tak pernah pulang. Dan sekarang saat dia pulang, ti
Mas Dendi kembali berjalan kearah ku. Dan langsung duduk kembali disebelahku. Kulihat dia mengambil napas panjang dan menghembuskan nya perlahan."Lus, tolong dengarkan aku. Oke, aku akui jika aku salah padamu. Tapi tolong, ngertiin posisi ku."Lagi-lagi ku dengar Mas Dendi mengehela napas. Sedangkan aku masih memalingkan muka darinya. "Aku juga ingin anak Lus!"Seketika diriku langsung menoleh kearah Mas Dendi. Apa dia bilang, ingin anak? Terus dia kira aku juga tak ingin punya anak?Pikiran gila macam apa ini yang ada didalam otak nya. Apa dia merasa cuman dia saja yang ngebet memiliki buah hati, sedangan aku tidak? Makanya dia bisa berbuat seperti ini padaku.Dan tindakan nya ini mengatakan seolah-olah aku yang tak bisa memberikan nya keturunan. Karena buktinya wanita itu hamil anak Mas Dendi.Ya Allah, sesakit ini perasaan ku. Kembali aku menumpahkan air mata yang sedari tadi tak bisa ku tahan, apalagi saat melihat wajah Mas Dendi yang ingin sekali aku cabik-cabik."Hmm, aku tau