"Wa alaikumus sallam," jawabnya, "kamu sudah sampai rumah dan bertemu dengan Mommy?" tanya pria itu tanpa basa-basi.
"Iya, sudah," jawabku singkat sembari meredam kegugupan. Jangan sampai suaraku terdengar aneh di telinga Steve."Ya sudah kalau begitu. Aku pergi dulu.""Eh, tunggu!" cegahku. Kenapa seenaknya dia mau memutuskan telepon begitu saja? Masak cuma nanya begitu doang?"Ya?"Mmm ... tapi, mengapa aku mencegahnya memutuskan saluran telepon ini? Aku mau ngomong apa memangnya?Ah, aku jadi bingung sendiri dengan yang aku lakukan."Hmm ... Steve, kamu sudah sampai di Pontianak? Dari jam berapa tadi?"Ya, benar juga. Dia cuma mau tahu kegiatanku. Masak aku tidak boleh tahu kegiatan dia?"Tadi jam setengah dua belas sudah sampai Bandara Supadio," jawabnya to the point."Mmm ... sekarang kamu lagi apa?" Aku mesti tahu apa saja yang ia kerjakan. Mungkin saja dia bertemu dengan wanita lain d"Baik, Mom." Aku menganggukkan kepala. Aku baru ingat, Steven 'kan, pemarah. Walau selama tiga hari ini dia sangat baik kepadaku, belum tentu akan seterusnya. Aku tidak mau memancing kemarahannya. Entahlah ... masih ada rasa segan dan takut terhadap pria tersebut, walaupun kami sudah resmi menjadi suami-istri. Aku khawatir jika ia marah, akan berimbas pada segala fasilitas yang ia berikan untuk membantu keluargaku. Bahkan bisa lebih dari itu. Ia tentu mampu menghancurkan keluargaku. Jangan sampai terjadi.Sehabis sarapan bersama Mommy, aku pun masuk ke dalam kamar. Kulihat ponsel baruku yang tergeletak di atas nakas. Hmm ... bagaimana ngomongnya? Kira-kira Steve ngizinin apa nggak ya? Ragu-ragu aku meraih telepon genggamku, lalu jari pun mulai mencari nama Steven di sana. Kemudian akhirnya kucoba saja menghubungi pria yang kini berstatus sebagai suamiku itu."Hallo," sapanya dengan suara khasnya yang berat dan datar.
"Si Parmin mana, Sih?" tanya Mommy kepada asistennya itu.Pak Parmin adalah supir keluarga Arnold satu lagi. Hanya saja, dia biasanya khusus melayani Mommy."Mmm, nggak usah, Mom!" sambarku sebelum Bu Narsih menjawab, "itu ojeknya sudah datang." Aku menunjuk ke arah seseorang yang memakai motor dengan jaket khasnya di depan pagar. Sepertinya ia sedang bertanya kepada penjaga keamanan sambil celingak-celinguk mengamati. Aku yakin itu tukang ojek yang sedang menungguku."Lain kali bisa sama Parmin aja. Ya sudah, hati-hati," pesan Mommy sambil bersungut-sungut.Aku balas dengan senyum simpul. Lalu menjawab, "Iya, Mom. Aku pergi dulu, assalamualaikum!" Kemudian aku pun segera meraih tangan Mommy dan mencium punggungnya cepat. Lantas berlari kecil ke arah si tukang ojek yang sudah menunggu.***Sesampainya di rumah Bi Eli, di Desa Mekar, aku melihat Nanda tengah asik bercanda dengan Rika. Aku pun turun dari ojek, dan membaya
Manda menatapku dengan sorot yang ... ah, entah. Aku tak bisa mengartikannya. Antara ia kasihan kepadaku atau sekaligus menyesali apa yang telah aku putuskan."Nggak kayak gitu, Manda! Kamu jangan sok tahu, ih!" Aku mencoba tersenyum walau hatiku terasa tertusuk dengan apa yang sepupuku bilang barusan.Gadis itu menarik napas panjang dan mengembuskan udara perlahan-lahan. "Maafkan kami semua, Kak. Kakak jadi tumbal semuanya. Gara-gara kami Kakak jadi harus terpaksa menikah dengan Tuan Steven yang jahat," ucap Manda dengan raut sedih. Ia tertunduk menatap lantai yang dingin."Eh, jangan ngomong begitu!" sambarku. Kuraih jemari Manda dan menggenggamnya erat, "Kakak bahagia, Man! Steven ternyata baik kok, orangnya," ungkapku kepada gadis itu. Aku berusaha meyakinkannya agar tidak berpikiran buruk seperti itu. Aku tidak mau keluargaku terbebani oleh keputusan yang telah aku buat sendiri.Manda menatapku lekat. Entahlah aku tidak tahu dia per
Pertanyaan Bang Rizal menarikku dari berbagai lamunan di kepala.Sontak aku melirik ke arah Shela lagi. Bang Rizal tidak tahu kalau gadis itu bekerja dengan Steven. Aku tidak mau ada isu skandal di antara kami."Mmm, in syaa Allah, Bang," jawabku ragu-ragu."Kamu hubungi Abang aja kalau mau ngejenguk ayah ya!" seru Bang Rizal."Iya," sahutku lirih.Akhirnya mobil kami sampai di depan gerbang Rumah Sakit Marzuki. Aku dan Shela pun turun."Ini, Bang!" Kusodorkan uang sejumlah lima ratus ribu ke arah Bang Rizal."Eh! Banyak banget, Nay!" Bang Rizal seakan hendak menolak."Nggak apa-apa." Kuletakkan lima lembar uang merah itu ke atas dash board mobilnya."Makasih, Nay," ucap Bang Kamal dengan mengulas senyum getir.Aku hanya mengangguk menjawabnya. Semenjak menikah dengan Steven, memang aku diberi banyak kemudahan. Termasuk soal uang. Lelaki yang kini berstatus sebagai suamiku itu mentran
"Nay! Maaf ya! Itu memang bukan urusan Abang. Maaf, Nay ... Abang gak bermaksud menyinggung kamu," imbuh Bang Rizal dengan raut menyesal. Ia berhasil menyamakan kembali langkah kaki kami.Aku hanya diam. Malas melihat ke arahnya. Aku nggak suka dia sok nyindir seperti itu!"Nay, Abang hanya menyampaikan pesan ayah aja. Nggak lebih. Tapi, kalau kamu nggak mau ketemu dengan ayah lagi ya mau dikata apa."Aku pun menoleh ke arahnya. Bukan itu yang membuat aku kesal! Huh! Sudahlah, aku malas menjelaskan!"Aku bukan nggak mau ngejenguk ayah, Bang. Cuma ini sudah sore. Takut kemagriban," jawabku akhirnya."Sebentar aja, Nay. Itu juga kalau kamu masih peduli sama ayah ... ayah masih ingat dengan kamu."Aku mengernyitkan dahi. Aku bukan nggak mau peduli ...."Dulu juga sebenarnya ayah sering titip uang untuk kamu."Hah? Aku kembali menatap ke arah Bang Rizal."Cuma ... cuma Abang aja yang nggak pernah nyampein k
Ya Allah ....Hatiku terenyuh melihat Ayah di sana hanya bisa terbaring lemah di kasur yang lepek di lantai. Ketika mata tuanya beradu pandang denganku, Ayah terlihat begitu sedih.Perempuan di samping Ayah itu perlahan bangkit berdiri."Bukannya dia ...." Perempuan itu seperti mengingat-ingat ketika melihatku."Sini, Mer. Keluar dulu!" Bang Rizal menghampiri perempuan itu, lalu menarik lengannya, dan membawa wanita itu keluar dari kamar.Sementara itu, mata ayah berkaca-kaca melihatku. "N–Naay ...," lirihnya dengan bibir yang mencong. Sepertinya ayah terkena bell palsy. Ya, Rabb ... hatiku terasa diremas melihat keadaan ayah yang sangat menyedihkan seperti ini. Dia yang dulu masih gagah dan sehat. Dia yang tidak pernah lupa terhadap aku, menantunya dulu. Dia yang selalu menyayangiku seperti orang tuaku sendiri. Sekarang, aah ...."Ayah!" Aku menghambur meraih tangannya dan mencium punggung
Ceklek!Kudorong dengan perlahan pintu besar kamar kami agar tidak banyak menimbulkan suara. Netraku memindai sekitar.Akhirnya mataku berserobok dengan netra kebiruan bersorot tajam itu. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?Aku menutup pintu dengan perlahan lalu melangkahkan kaki dengan ragu-ragu. Degup jantung ini bertalu dengan sangat kencang.Kukaitkan tali tas di gantungan di dekat almari besar kami dan meletakkan paper bag-ku di samping benda itu. Kugigit bibir ini demi melihat Steve duduk di pinggir ranjang dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku sembari menatapku lekat. Sorot mata itu begitu tajam sampai-sampai rasanya hatiku tertusuk begitu dalam."Dari mana kamu?""Maaf, Steve ... a–ku terlambat." Kutundukkan pandangan mata ini ke lantai yang sendu di sana."Aku tahu kamu terlambat. Aku tanya, kamu dari mana?" Masih dengan suara datar dan beratnya Steven mengulang pertanyaa
"Lho, kok, batal?" tanya Mommy dengan raut heran.Sementara aku, bahkan aku baru tahu kalau tadinya mereka berniat melangsungkan acara resepsi pada pekan yang akan datang. Tadinya aku belum mendapat kepastian tanggal dari Steven."Tidak ada pesta-pesta!" Steven dengan kaus tanpa lengannya yang basah karena keringat itu menyambar segelas susu yang tersaji di depan kursi makan miliknya. Kemudian meneguknya hingga tandas. Dengan kasar ia mengusap bekas air berwarna putih pekat itu dari bibirnya sembari menatap tajam ke arahku.Aku hanya bisa diam dan terpaku di tempat duduk. Perlahan kuletakkan potongan roti yang tinggal sedikit ke atas piring di hadapan, aku benar-benar kehilangan selera kali ini. Aku sangat tidak nyaman ditatap oleh Steven seperti itu. Aku yakin dia masih marah kepadaku."Kamu jangan macam-macam, Steve. Kita sudah membooking gedung," ujar Mommy tampak kesal dengan putra semata wayangnya itu.Steven lalu meraih roti sandwic