Setelah mandi, Malilah bingung mau memakai baju apa. Sebentar lagi Pak Penghulu akan datang. Tidak ada orang lain selain Bu Ratih, Bik Timah, kedua orang tua Malilah, Pak Seno dan Bu Seno yang menunggu Pak Penghulu dan saksi yang sudah dibayar oleh Bu Ratih. Untuk saksi, Bu Ratih meminta bantuan Penghulu. Bu Ratih enggan memanggil tetangga karena pernikahan memang dilaksanakan secara diam-diam.
"Malilah, sini!" Bu Ratih membawanya ke kamar.
"Kamu pakai ini ya? Ibu ingin sekali kamu memakai baju ini saat menikah," ucap Bu Ratih menyodorkan kebaya terusan berwarna putih. Walaupun kebaya lama tapi terkesan mewah dan elegan. Mungkin karena keindahannya yang sedap dipandang mata.
"Baju siapa ini, Bu?" tanya Malilah sambil memasang ke tubuhnya.
"Ini kebaya Ibu, waktu menikah dengan Papanya Hanan dulu. Masih ibu simpan. Ibu ingin mengenang saat ibu menikah dulu. Kamu enggak keberatan, kan?"
Malilah menatap wajah Bu Ratih lalu
Malam harinya, semua orang sudah menuju peraduan masing-masing. Kedua orang tua Malilah tidur di kamar yang biasanya di pakai Bik Timah. Bik Timah sendiri memilih tidur di kamar belakang yang sudah dibersihkan. Kamar itu dulunya memang kamar untuk pembantu mereka.Malilah membawa Arumi ke kamar ragu-ragu. Ia melihat Hanan sedang menatap isi lemarinya."Bukan aku yang pindahin. Ibu sa-ma Bik Timah," ucap Malilah ragu-ragu takut Hanan marah karena lemari Fania berisi baju-bajunya. Ternyata Hanan diam saja, tak menggubris kembali menutup pintu lemari."Lila ... duduk dulu sini, aku mau ngomong," ucap Hanan sambil menepuk kasur di sebelahnya.Malilah mendekat ragu-ragu. Ia duduk dengan mengambil jarak. Arumi sedang asik bermain di lantai."Sini! Jangan jauh-jauh. Kita sudah sah, kok!" ucap Hanan membuat perasaan Malilah deg-degan. Melihat Malilah diam saja, Hanan beringsut mendekat."Apa ... kamu terpaksa menikah dengan a
Hanan duduk. Mengusap wajahnya kasar. Kenapa rasanya ia ingin marah pada Fania karena membuatnya menyakiti persaan Malilah. Padahal di sini dialah penghianatnya. Menyadari Hanan duduk, Malilah ikut duduk. Hanan melangkah keluar kamar meninggalkan Malilah."Marahkah dia?" pikir Malilah sambil ikut keluar merasa bersalah. Ia melihat Hanan meraih gelas lalu menyendok gula. Sepertinya ia ingin membuat kopi."Sini. Aku buatkan," ucap Malilah mengambil alih sendoknya namun Hanan menolak."Enggak perlu. Aku menikahimu pun hanya demi Arumi! Jadi kamu enggak perlu sibuk mengurus kebutuhanku. Asal kamu tahu! Aku pun menikahimu hanya demi Mama!" ucap Hanan dengan nada ketus.Malilah terdiam, dan kembali ke kamar sambil menangis. Aneh memang. Dulu ia bahkan biasa mendengar Hanan bicara ketus, dan menghinanya saat pertama datang. Tapi ia tak pernah merasa sakit, sesakit mendengar ucapan Hanan barusan.Hanan membawa kopinya ke kamar
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hanan sudah bangun dan duduk di meja makan. Sebulan ia tak merasakan makan yang nyaman. Bu Ratih yang tak mau kalah semangat dari tadi juga sudah bangun membantu Bik Timah di dapur."Arumi dah bangun?" tanya Bu Ratih. Hanan mengangguk. Bu Ratih ke kamar mereka."Sini Arumi. Kamu sarapan dulu, panggil Bapak sama Ibumu sekalian," perintah Bu Ratih.Malilah mengangguk langsung menyerahkan Arumi. Bu Ratih menatapnya sedikit aneh."Kamu lagi datang bulan apa?" tanya Bu Ratih tiba-tiba."Ehm, i-iya Bu," sahut Malilah menyadari Bu Ratih memperhatikan rambutnya yang kering."Heeem!" ucap Bu Ratih seperti sangsi. Malilah cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum Bu Ratih curiga. Ia memanggil kedua orang tuanya terlebih dahulu untuk sarapan bersama."Hanan, Malilah ... Bapak sam Ibu nanti mau liat-liat rumah lama, sebelum kembali ke desa," ucap Pak Cip."Loh, Bapak
"Aku tak akan memberi ampun jika kamu sekongkol menyembunyikan sesuatu bersama mereka. Aku akan membunuhmu! Perempuan tua!" teriak Fania gusar sambil membanting pintu kamar Arumi lalu menuju ke kamarnya.Ia membuka lemari pakaiannya dan menjerit sejadi-jadinya melihat pakaian Malilah dan Arumi berada di situ."Jadi ... kamu benar-benar berselingkuh dengan jalang itu, Mas! Jadi, kamu tidur sekamar dengan dia? Tunggu saja pembalasanku!" gumam Fania dengan tangan mengepal.Ia mengeluarkan semua pakaian Malilah dan meletakkannya di kasur. Setelah itu ia meraih gunting yang tergantung di dinding. Dengan mata berkilat dan napas tersengal, ia menggunting baju Malilah satu persatu dan menyisakan tiga lembar saja. Setelah itu, ia melipat dan mengembalikan ke tempat asal, dan meletakkan tiga yang bagus di posisi paling atas."Apalagi?" pikirnya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Ia berbalik menuju ke kamar Arumi. Ti
Sukses menyingkirkan Bik Timah dari rumah tersebut, Fania langsung menyimpan kembali pisau ke dapur. Setelah itu ia merapikan koper dan tas pakaian di kamar Arumi. Sementara untuk kamar Bu Ratih tetap dibiarkan berantakan, hanya di tutup rapat saja. Fania menatap ke sekeliling rumah. Sepertinya semua sudah aman. Tak ada yang mencurigakan. Kemudian ia menutup pintu serapi mungkin, dan langsung meninggalkan kediaman mertuanya dengan dendam yang membuncah di dada.Apapun yang terjadi, begitu Hanan bisa dihubungi, Fania bertekad membuatnya kembali ke rumah bersamanya hari itu juga.***Sementara di rumah lama Malilah, mereka sedang asik bergotong royong membersihkan rumah. Malilah membawa Arumi bermain di luar rumah saja sementara belum beres di dalam.Tidak terlalu kotor karena sempat dihuni oleh pembeli yang ditipu oleh Dimas walau hanya hitungan hari. Sekitar dua jam semuanya sudah beres."Arumi, ayo masuk ... udah bersih!" panggil B
"Lemarinya sudah kosong, Bu!" lapor Malilah dari belakang."Ya Allah, gustiiii. Tega sekali Bik Timah," Bu Ratih mengelus dada. Sementara Malilah diam, tak percaya."Hanaaan! Mana Hanan? Cari tahu dimana dia mengambil Bik Timah dulu," perintah Bu Ratih lemas."Bu ... Dia ... kembali ke rumah Fania," jawab Malilah takut-takut."Apaaa? Kenapa enggak kamu tahan dengan alasan apa aja?" ucap Bu Ratih kaget. Keadaan lagi genting begini malah Hanan pergi begitu saja."Maaf, Bu. Tapi ... Fania berkata mau datang ke sini kalau dia enggak pulang hari ini juga," ucap Malilah pelan. Bu Ratih mengusap dadanya berkali-kali."Kamu sempat simpan nomor Bik Timah?" tanya Bu Ratih kemudian. Malilah menggeleng. Bu Ratih pun makin bingung."Tolong ... ambilkan ponselku di tas. Aku mau telpon Hanan," perintah Bu Ratih lemas. Malilah merogoh tas selempang Bu Ratih yang tergeletak begitu saja di pintu kamarnya. Ia menyerahkan po
Tengah malam, tiba-tiba Hanan ingin buang air kecil. Cuaca musim panas memang menimbulkan hawa dingin yang luar biasa saat malam hari. Hanan menyingkap selimut, dan melihat tempat tidur di sebelahnya kosong.Hanan kembali menggulung diri dalam selimutnya. Sepertinya Fania lebih dulu ke toilet. Biasanya Fania agak lama jika berurusan dengan kloset. Hanan menyipitkan mata melirik angka jam dinding. Kurang sedikit jam dua belas malam. Hanan sudah tak tahan. Ia melangkah keluar menuju ke toilet yang ada di belakang saja."Iya! Iya sabar! Besok pasti kutransfer uangnya. Berapa kali sih kubilang, jangan hubungi aku kalau bukan aku yang hubungi kamu. Kalau suamiku tahu gimana? Goblok kamu! Gak bisa sabar dikit kalau urusan duit!"Hanan menurunkan tangannya dari gagang pintu. Ia memasang telinganya baik-baik. Itukan suara .... Fania? Ngapain dia malam-malam nelpon di toilet belakang? Siapa yang ditelponnya.Tak mau jejaknya ketahuan, Hanan cepat
"Akhirnya kamu nongol juga, Hanaaaaa!" sambut Bu Ratih dengan gigi gemeretak karena gemas."Maaf, Ma. Kemaren aku buru-buru. Mama kan tahu sendiri akibatnya kalau Fania sampai datang," jawab Hanan."Terus, ini kok kamu bisa lolos bagaimana?" tanya Bu Ratih sambil mencibir.Hanan diam saja. Ia tak ingin menceritakan yang terjadi di sana, sampai benar-benar menemukan kebenarannya. Hanan langsung menerobos ke kamar."Halo, anak Papa sudah makan?" sapanya Hanan melihat Arumi asik bermain. Ia melirik Malilah sekilas. Wajahnya terlihat sedih."Kamu udah makan?" tanya Hanan langsung duduk di samping Malilah."Udah!" jawabnya singkat."Kenapa? Kayaknya sedih betul mama mudanya Arumi ini," goda Hanan sambil mengangkat Arumi ke pangkuannya. Arumi menggeliat-geliat minta turun."Iiih, anak gak mau dipegang, masih aja dipaksa," ucap Malilah sambil meraih Arumi."Abis Mamanya enggak mau dipegang-pega