"Ehem!"
Hanan yang duduk berhadapan dengan Malilah mendadak berdiri. Ia tak menyangka Fania kembali secepat itu.
"Loh, Dek. Kok dibawa balik?" tanya Hanan heran dan sedikit panik.
"Mama enggak mau makan, mungkin gak mau kalau aku yang suapin." Fania meletakkan nampan sedikit kasar di atas meja dekat Malilah makan.
"Masa sih?" Hanan beranjak menuju kamar ibunya.
"Ma ... Ma! Kenapa enggak makan? Makan biar cepat sembuh! Ntar minum obat!"
Bu Ratih diam saja tak menjawab ucapan Hanan.
"Mama mau Hanan yang suapin?"
Bu Ratih menggeleng. Hanan kembali dengan raut kecewa. Malilah yang baru selesai makan, langsung meraih nampan tadi.
"Aku coba ya," ucapnya. Hanan menatap Malilah sangsi, kemudian mengikuti dari belakang. Fania pun mengikuti.
"Bu, makan ya," ucap Malilah lembut.
Bu Ratih terdiam kemudian mengangguk. Ia beralih menatap ke arah Fania kemudian menata
Malilah terdiam. Ucapan Fania ada benarnya juga. Keduanya sama-sama diam, sampai Arumi selesai menyusui dan mulai tertidur. Fania langsung mengangkat Arumi kembali untuk dibawa ke kamarnya kembali."Karena Arumi sekarang lebih banyak sama aku, jadi ... pekerjaan dapur yang lain saja kamu kerjakan. Nyiapin makanan, nyapu, nyuci!" perintah Fania sebelum meninggalkan kamar. Malilah mengangguk patuh. Tak nyaman juga rasanya hanya berdiam diri bila memang tugasnya terhadap Arumi hanya sebatas itu sekarang.***Arumi kasak-kusuk di tempat tidur. Sepertinya ia gelisah. Padahal hari sudah malam. Fania pun mulai terpejam beberapa kali. Saat Fania mulai terlelap, Arumi kembali menangis."Maas! Kamu gendong dulu dia biar diam. Aku ngantuk berat niih!" ucap Fania tanpa mau membuka mata. Hanan menuruti ucapan istrinya.Dalam gendongan Hanan, Arumi sedikit tenang. Namun bila diletakkan kembali, Arumi mulai rewel lagi. Hampir satu jam sudah
Fania langsung mengangkat Arumi dan membawa ke kamar mereka kembali. Hanan langsung mengejarnya dari belakang. Sementara Malilah langsung terduduk bengong karena kaget. Kejadiannya terlalu cepat. Malilah turun dan diam-diam mengikuti langkah mereka ke kamar, memastikan Arumi tidak menangis.Bruk!Fania menutup pintu kamar dengan kasar, membuat Arumi terkejut dan seketika menangis. Fania meletakkan begitu saja Arumi di kasur."Brengsek kamu, Mas! Kamu ninggalin aku sendiri, cuma buat tidur di kamar pembantu itu! Plaaak!" Satu tamparan dari tangan Fania melayang ke pipi Hanan.Hanan mengusap wajah sambil mendekat pada Arumi yang makin menangis mendengar suara Fania berteriak."Aku belum selesai bicara, Mas! Kenapa kamu bawa Arumi ke sana? Aku kan sudah bilang, biar aku yang bawa kalau dia mau nyusu.""Fania! Kamu sudah berkali-kali kubangunkan, tapi kamu tidur seperti orang mati saja. Siapa lagi yang membawanya
"Pak Bos. Sebaiknya, dikamar ibu saja kalau ....""Aku mau di sini!"Malilah akhirnya mengalah. Ia melangkah keluar menuju kamar Bu Ratih, sekaligus melihat kenapa Bu Ratih tak bersuara. Aneh rasanya bila ia tertidur dengan situasi yang lumayan ribut dan panas saat itu."Permisi, Bu!"Bu Ratih berbalik, kemudian duduk saat melihat Malilah datang bersama Arumi."Bu, maaf. Boleh aku menidurkan Arumi di sini sementara?"Bu Ratih mengangguk dan bergeser memberikan selah. Malilah duduk di tepi ranjang."Kenapa? Apa Hanan ada di sana?"Malilah mengangguk. Ia kemudian memberikan ASI pada Arumi dengan tenang."Hanan memang begitu, kalau lagi marah atau kesal pasti maunya tidur di kamar itu. Itu kamarnya waktu sendiri dulu. Setelah menikah dengan Fania, baru dia pindah ke kamar depan," tutur Bu Ratih pelan. Malilah menyimak dengan baik. Berati tadi Bu Ratih terbangun saat mereka bertengkar?"I
"Enggak enak, tapi kayaknya habis banyak!" sahut Malilah sambil melirik mangkok yang tadi berisi sayur dan piring ikan."Terpaksa, karena aku kelaparan. Tadi malam sampe lupa makan," jawab Hanan sambil meraih tisu."Arumi masih sama Mama ya? belum bangun?" tanya Hanan lagi."Udah, dikamar kok. Sama mamanya!""Apa? Kok ditinggal!"Hanan langsung melompat meninggalkan dapur dan berlari menuju kamar Arumi. Malilah geleng-geleng kepala. Sepertinya emang Hanan yang terlalu berlebihan selama ini.Hanan buru-buru membuka pintu kamar, dan bernapas lega melihat Arumi sedang berbaring di kasur. Ia mendekat sambil melirik Fania di samping Arumi."Mas ....""Aku ... minta maaf ya, soal tadi malam. Aku ... khilaf. Aku juga sudah minta maaf sama Malilah," ucap Fania sambil turun dari ranjang dan bergelayut di lengan suaminya.Hanan terdiam. Kesalnya bukan hanya karena sikap Fania pada Malilah. Tapi juga karena
Hanan kehilangan jejak Dimas yang membawa Malilah begitu cepat. Tapi hatinya mengatakan pasti Dimas membawa Malilah kembali ke rumah mereka. Akhirnya ia pun menyusul kesana.Brrukk!Karena terburu-buru Hanan lupa menurunkan standar sepeda motor. Ia berhenti sebentar, namun tak perduli langsung berlari menuju rumah Malilah. Ia mendengar suara Malilah sesekali menjerit dari dalam.Hanan mencoba mendorong pintu, dan ternyata tak terkunci. Pelan-pelan ia menerobos masuk. Ia melangkah pelan-pelan ke kamar Malila. Sesekali tangannya menutup telinga, tak tahan dengan rintihan Malilah. Ingin rasanya ia menerobos, tapi Dimas benar. Dia berhak atas Malilah karena suaminya. Tapi, rasanya Hanan tak terima caranya. Hanan masih melangkah pelan sambil memutar otak. Teringat ibunya pernah merekam Dimas perbuatan Dimas dulu. Hanan mengeluarkan ponsel dan melakukan hal yang sama. Ia mendekat ke pintu kamar sambil memegang ponsel."Buka bajumu, Lila!""Mas!
Di belakang Hanan Malilah merasa tubuhnya mengecil. Hanan seperti hapal mati tiap tikungan yang mereka lalui. Setajam apapun tikungan, tetap saja Hanan memesang gaya ala pembalap motogp. Lutut hampir menyentuh aspal."Pak Boos!" Malilah menggigil ketakutan. Hanan tak mendengar."Pak Booooos!" Malilah menepuk pundak Hanan dari belakang. Hanan langsung menepi.Ciiiiit!Malilah langsung mundur, karena Hanan mengerem mendadak, tubuhnya mepet. Sedangkan posisinya ia tidak memakai pakaian dalam."Kalau pencet rem jangan mendadak!" protes Malilah risih."Lah kamu mukul mendadak! Kenapa? Kebelet?""Ih, bukaan. Pak Bos, mau bawa aku kemana? Ini kan sudah masuk jalanan sepi."Malilah menoleh ke kanan dan ke kiri, benar-benar sepi. Tak satu pun ada rumah di dekat tempat mereka berhenti."Yang jelas mengamankanmu dari Dimas!" Sahut Hanan sambil menstarter kuda besinya lagi."Jangan laju-laju juga
"Oh, iya."Wanita yang dipanggil Bu Seno tersebut terlihat begitu patuh dan hormat pada Hanan."Ayo! Ke kamar," ajaknya."Biar saya yang antar, Bu. Sekalian ada yang mau dibicarakan berdua!" Bu Seno mempersilahkan dengan santun."Kamu mandi dulu aja, dibelakang!" perintah Hanan sambil membuka lemari dalam kamar tempat ia meletakkan barang Malilah.***"Itu gedung apa?" Tanya Malillah yang sejak tadi pusing mendengar suara berisik tanpa jeda, sambil menatap keluar lewat jendela kamarnya.Hanan menarik Malilah duduk di tepi ranjang."Kamu dulu pernah tanya kan, aku kerja apa?""Ini kantorku. Aku kerja disini. Pemiliknya aku sendiri, managernya aku sendiri, staff accountingnya juga aku sendiri. Pak Seno dan Bu Seno itu karyawan tetapku," ucap Hanan sambil tertawa. Malilah menatap Hanan tanpa berkedip. Menunggu penjelasan."Itu gedung walet, peninggalan Almarhum Papa. Waktu Papa meninggal, ak
Mengendarai sepeda motor di jalan yang mulus dengan pikiran kacau, membuat perasaan Hanan seperti terombang-ambing di lautan. Setelah melihat ketulusan Malilah dalam menyayangi Arumi yang begitu besar, perlahan tapi pasti rasa ingin selalu melindungi Malilah juga makin besar.Hanan menghentikan kendaraanya di sebuah warung kopi tepi jalan."Kopi hitam Bulek! Gak usah pake gula!" ucapnya sambil menghempas tubuh di kursi rotan yang panjang."Tumben!" gumam Wanita penjaga warung berbadan tambun tersebut sambil meraih gelas."Sekali-sekali Bulek, masa mau manis terus. Kaya hidup. Kadang ada pahitnya!"Penjaga Warung nyengir, sambil mengaduk kopi hitam tanpa gula kemudian mengantar ke meja dekat Hanan beristirahat."Ketengan! Sambil nunggu dingin," tawar Penjaga Warung sambil menyodorkan sebuah bungkus rokok yang sudah terbuka dan sebuah korek gas.Hanan menggeleng. Ia tak pernah berurusan dengan rokok,