Suara nyaring terdengar ketika tendangan beradu dengan target. Peluh membasahi tubuh Angeline yang telah berlatih fisik selama satu jam. Nathan tidak memberi kesempatan lengah, terus mengejar dengan merubah posisi target, memaksa Angeline berpikir keras untuk mengeluarkan variasi jurus yang berbeda. "Lihat mamamu? Dia wanita yang kuat. Maka kamu harus jadi lebih kuat supaya bisa melindunginya," kata Gloria pada Rafael. Anak lelaki yang kini sudah berusia lima tahun itu menatap nyaris tak berkedip. Tangan kecilnya mengepal setiap kali pukulan atau tendangan Angeline mengenai target. "Aku mau jadi kuat," ucap Rafael. "Anak pintar." Gloria menepuk-nepuk punggung anak itu. Melihat Angeline sudah hampir mencapai batas ketahanan Nathan mengakhiri latihan. Dia menghampiri wanita yang terengah kelelahan itu dan merangkulnya. "Refleksmu sudah lebih baik." Angeline mendongak, "Pelatihku killer." Nathan tertawa, "Baby Girl, aku hanya melakukan permintaanmu."
Gabriel memeluk Angeline seerat mungkin setelah mendengar kabar gembira akan kehamilan putrinya. Angeline menepuk-nepuk punggung sang ayah karena tidak yakin harus memberikan respon seperti apa. Tidak sia-sia mereka menggedor pintu rumah Gabriel di pagi hari. "Congratulations, Angel. And Nathan." Gabriel memegang kedua bahu Angeline. Raut wajah lelaki paruh baya itu menunjukkan bahagia campur haru. "Thank you, Papa. Keluarga akan bertambah ramai." Angeline tersenyum lebar. Nathan mengamati interaksi yang berlangsung di depan mata, siap untuk memisahkan seandainya dia merasa basa-basi berlangsung terlalu lama. "Apa pun yang kamu perlukan, beri tahu Papa. Oke? Kita semua sekeluarga. Jangan sungkan." Gabriel menatap Nathan. "Tenang saja, Pa. Nathan sudah berpengalaman menghadapi wanita hamil." "Tepat sekali," sahut Nathan. "Mana Mike? Aku mau memberitahu dia." Angeline melongok ke belakang. "Mungkin masih tidur. Semalam anak itu tidak pulang. Entah apa
Diam-diam Angeline melirik ke arah Gabriel dan Jonathan yang sedang mengobrol di ruang tamu. Dia sendiri bersama Rafael dan Nathan masih duduk di meja makan. Mike sudah kembali ke rumah sebelah dan Gloria sibuk merapikan dapur. "Menurutmu apa tujuannya?" tanya Angeline dengan suara pelan. "Mungkin ingin menghabiskan sisa hidup dengan bersenang-senang tanpa tanggung jawab," sahut Nathan yang sedang memasukkan irisan daging ke panci. "Hmm ... Memang dia orang seperti itu?" Nathan menoleh, "Baby Girl, kita tidak mengenalnya secara pribadi. Aku tidak dapat menebak sedalam itu." "Iya, betul. Lebih baik tidak usah dipikirkan." Angeline bergidik. "Sekarang makan yang banyak. Ingat, kamu makan untuk dua orang." Nathan memindahkan daging yang sudah matang ke mangkok Angeline. "Thank you, Honey Bunny," bisiknya. "You're welcome." "Mama, mau," pinta Rafael. "Oh, iya, iya. Mama potong dulu." Angeline memotong irisan daging menjadi potongan kecil-kec
Pagi-pagi sekali ... Terjadi percakapan serius di antara Nathan dan Angeline pada malam sebelum keberangkatan mereka ke resor di Kepulauan Seribu untuk gathering. "Kamu yakin bisa ikut ke pulau dalam keadaan hamil muda?" Nathan menatap perut Angeline. "Bisa, Nath. Kamu tidak membawaku panjat tebing atau bungee jumping, 'kan? Kita melalui perjalanan di darat dan laut yang tenang. Tidak akan ada guncangan." Angeline meyakinkan. Dia tidak mau kehilangan kesempatan menikmati udara segar. "If you say so. Tapi kalau ada peringatan cuaca buruk, kamu dan Rafa harus tetap di rumah." "Iya, Sayangku, my Honey Bunny." Angeline menangkup wajah Nathan. "Oke. Semua sudah disiapkan?" "Sudah." "Vitaminmu?" "Sudah." Nathan mengangguk perlahan. Sikap over protektifnya muncul kembali karena kehamilan kedua Angeline. Perjalanan ke pulau memang sangat tenang karena menurut ramalan cuaca hari ini sangat cerah. Angin laut tidak terlalu kencang sehingga yacht yang m
"Nathan!! Bangun!!" Angeline mengguncang suami yang tidur nyenyak dengan panik. "Uhm ... Angel?" Nathan terbangun dengan susah payah dari mimpi indah. "Aku pecah ketuban!" Lelaki itu langsung terjaga, "Shit! Mana perlengkapanmu?" "Itu, tasnya di dalam lemari. Aku ke kamar mandi dulu." Kedua tangan Angeline gemetar karena lonjakan adrenalin. Nathan bergerak cepat membereskan segala sesuatu. Tidak lupa membangunkan Gloria agar menjaga Rafael, juga menelepon Gabriel. Setelah beres semua dia menuntun Angeline yang telah berganti pakaian ke mobil. Ketika Nathan melajukan mobil keluar pekarangan, mobil Gabriel menyusul tepat di belakang mereka. Iring-iringan mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Selagi di jalan Angeline menelepon dokter bahwa dia mengalami pecah ketuban. Segera setelah tiba di rumah sakit perawat mengantar Angeline ke bangsal persalinan. Nathan dan Gabriel mendampingi. "Lagi-lagi pecah ketuban," keluh Angeline yang sebenarnya i
Pendar lembut rembulan menyusup lewat jendela kamar yang tidak tertutup tirai. Satu-satunya penerang dalam kegelapan malam tersebut jatuh di tempat tidur berukuran king size, tempat dua tubuh menggeliat seirama dalam pergumulan yang semakin memanas. Suara-suara lirih keluar dari bibir merah muda merekah, menandakan hasrat kian bergelora. Sampai tiba-tiba ... Suara tangis bayi memecah keheningan malam. Angeline yang sedang berada di bawah Nathan serta-merta mendorong lelaki itu ke samping. Prioritas saat ini adalah menenangkan bayi berusia lima bulan yang mungkin lapar di tengah malam. Angeline membungkus tubuh seadanya dengan selimut dan mengambil Olivia dari boks. Nathan yang terguling ke samping hanya bisa mengerang tak berdaya. Nasib lelaki yang sedang fokus bercinta dengan istri, tapi harus berhenti di tengah jalan karena anak terbangun. Dengan gontai Nathan memakai kembali celananya. "Sorry ... Aku terlalu keras menendangmu?" ucap Angeline penuh penyesalan. Ol
"Untung tidak masalah bagi Oliv untuk berpergian dengan pesawat. Tidak perlu menunggu sampai dua atau tiga bulan ke depan." Angeline memandangi Olivia yang sedang minum ASI dari botol menjelang pendaratan. "Betul sekali. Rafael juga senang bisa naik pesawat. Ya, 'kan?" Nathan mengacak-acak rambut putranya. "Hmph! Papa! Tidak mau!" protes Rafael. "Papa jahil ih," timpal Angeline. "Sorry, Papa rapikan lagi rambutnya." Sambil terkekeh Nathan menyisiri rambut Rafael sebisanya. Anak kecil itu merengut semaksimal mungkin. Dia memang paling keki kalau Nathan menjahilinya. Gloria yang duduk tepat di belakang keluarga kecil ini tidak banyak berkomentar. Dia memanfaatkan waktu untuk istirahat. "Kulihat kalian bukan seperti papa dan anak, tapi seperti dua bersaudara yang sedang bertengkar," celetuk Angeline. Nathan tertawa, "Yah, mungkin ini efek samping sebagai anak tunggal." Angeline menoleh, "Rico tetap tidak masuk hitungan ya?" "Dia hanya adik tiri."
Akhir minggu tiba. Semua orang datang ke restoran hotel bintang lima milik Golden Yue Group untuk makan malam bersama. "Well, sepertinya ini hari membawa pasangan masing-masing," ujar Nathan. Angeline mengerucutkan bibir melihat Gabriel datang bersama seorang wanita yang terlihat jauh lebih muda, bahkan mungkin hanya berusia beberapa tahun di atas Nathan. Cantik dan penampilannya cuek sih, tapi kenapa harus memilih yang sangat muda? "Aku tidak perlu kamu untuk memperkeruh keadaan, Boy," balas Gabriel. "Hai semuanya. Perkenalkan, aku Veronica. Panggil saja Vera." Wanita berambut pendek sebahu itu menyapa semua orang dengan keramahan yang tidak dibuat-buat. "Hai, Vera. Duduklah di sini." Ruby melambai. Vera pun duduk di sebelah Ruby, sementara Gabriel duduk di sebelahnya. "Pantas saja Papa mengundang kami ke hotel. Rupanya mau memperkenalkan seseorang." Angeline tersenyum manis. Kemanisan yang menyembunyikan sindiran. Nathan mengenali kesinisan tersel