All Chapters of Terpaksa Jadi Pacar: Chapter 41 - Chapter 50
146 Chapters
Siapa?
Senja telah datang saat Ari menyelesaikan banyak daftar yang menjadi acuannya untuk memeriksa keadaan mobil pelanggan. Entah mengapa, bengkel baru itu tak pernah sepi pelanggan. Beberapa di antaranya memang ada yang datang karena ingin bertemu sang pemilik bengkel yang akhir-akhir ini tak pernah lagi mampir. Beberapa lainnya karena memang hendak mencari muka pada keempat enterpreneur muda dengan banyak bisnis dan usaha. Ari baru tahu bahwa keempat bosnya masih punya banyak bisnis dengan berbagai bidang. Informasi itu ia peroleh dari salah satu pelanggan yang mengajaknya bicara saat Ari menjelaskan permasalahan mobilnya. "Percaya nggak, Mas, kalo pemilik bengkel ini masih muda?" Ari yang sudah tahu hanya menyungging senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Mas, lebih muda dari umur adikku." "Baru lulus SMA. Nggak tau sekarang pada kuliah di mana. Bisnisnya nggak tanggung-tanggung, M
Read more
Siapa?
Senja telah datang saat Ari menyelesaikan banyak daftar yang menjadi acuannya untuk memeriksa keadaan mobil pelanggan. Entah mengapa, bengkel baru itu tak pernah sepi pelanggan. Beberapa di antaranya memang ada yang datang karena ingin bertemu sang pemilik bengkel yang akhir-akhir ini tak pernah lagi mampir. Beberapa lainnya karena memang hendak mencari muka pada keempat enterpreneur muda dengan banyak bisnis dan usaha. Ari baru tahu bahwa keempat bosnya masih punya banyak bisnis dengan berbagai bidang. Informasi itu ia peroleh dari salah satu pelanggan yang mengajaknya bicara saat Ari menjelaskan permasalahan mobilnya. "Percaya nggak, Mas, kalo pemilik bengkel ini masih muda?" Ari yang sudah tahu hanya menyungging senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Mas, lebih muda dari umur adikku." "Baru lulus SMA. Nggak tau sekarang pada kuliah di mana. Bisnisnya nggak tanggung-tanggung, M
Read more
Siapa?
Senja telah datang saat Ari menyelesaikan banyak daftar yang menjadi acuannya untuk memeriksa keadaan mobil pelanggan. Entah mengapa, bengkel baru itu tak pernah sepi pelanggan. Beberapa di antaranya memang ada yang datang karena ingin bertemu sang pemilik bengkel yang akhir-akhir ini tak pernah lagi mampir. Beberapa lainnya karena memang hendak mencari muka pada keempat enterpreneur muda dengan banyak bisnis dan usaha. Ari baru tahu bahwa keempat bosnya masih punya banyak bisnis dengan berbagai bidang. Informasi itu ia peroleh dari salah satu pelanggan yang mengajaknya bicara saat Ari menjelaskan permasalahan mobilnya. "Percaya nggak, Mas, kalo pemilik bengkel ini masih muda?" Ari yang sudah tahu hanya menyungging senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Mas, lebih muda dari umur adikku." "Baru lulus SMA. Nggak tau sekarang pada kuliah di mana. Bisnisnya nggak tanggung-tanggung, M
Read more
Lalita
Sudah dua hari sejak proposal usaha dikirim oleh Ari. Dua hari pula, ia tak menerima kabar apa pun dari Lara. Bahkan, di bengkel tak ada satu pun dari keempat bosnya yang datang berkunjung seperti sebelumnya. "Ada apa, ya?" tanya Supri sembari menyesap kopinya pelan. "Aku juga nggak ero, Pri. Tapi, kalo dipikir-pikir ini nggak wajar, lo." "Lah, kenapa gitu?" "Pasti ada sesuatu," jawab Ari pelan. Lantas, ia mencoba menelisik sekitar. Ia merasa ada yang sedang mengawasinya. Ari mengedarkan pandang dari ujung warung hingga ke jalanan depan. Tak luput pula celah-celah kecil yang berada di sekitar. Semua tempat disisir oleh penglihatannya yang tajam. Sadar ada perubahan ekspresi pada sang kawan, Supri celingukan. Lalu diamatinya tiap sudut yang dipandang Ari dengan seksama. "Cari apa, Su?" Ari mengangkat telunjuknya tinggi
Read more
Seperti yang Lara Katakan
"Masalah sepele?" tanya Ari. Kedua matanya menyipit mencoba menelisik gestur tubuh salah satu bosnya. Lalita mendengkus, lantas mengambil duduk berhadapan dengan Ari. Kedua tangannya melipat tangan di dada. "Kenapa ngeliatin gue kek gitu? Harusnya gue yang ngeliat gitu ke elu!" Ari tergagap sebentar. "Eh, iya bener. Sorry, Bos. Tapi maaf, Bos, ada masalah apa sebenernya?" "Jujur, aja. Siapa elu?" Pertanyaan Lalita cukup membuat Ari tercengang sebentar. Sebelum akhirnya ia mengurai senyum pada bosnya. "Seperti yang, Bos, lihat. Aku hanya montir di sini, Bos." Lalita menggeram sebentar, lalu menelengkan kepalanya. "Maksud gue, apa elu sepupunya Lara?" Sekali lagi pertanyaan Lalita mampu membuat Ari berdebar tak keruan. Ia memejamkan mata, lantas memutar bola mata. Ia harus mencari jawaban yang tepat. "Tuhkan, diem! Kenapa? Karena ketauan?"
Read more
Bersitegang
Sudah dua hari Lara tak terlihat di kampus. Ia lebih memilih untuk menenangkan diri setelah bersitegang dengan Tarissa pada ruang obrolan. Beberapa kali, Lalita dan Derisca datang ke rumah Lara dan Tarissa secara bergantian. Nahas, bukan sambutan baik yang mereka terima. Keduanya kompak enggan menemui siapa pun yang datang. Terang saja keduanya terlibat perang dingin usai saling serang dalam grup perpesanan. Hanya karena sosok Ari, kedua bisniswoman kawakan itu saling diam sekarang. "Jaga tuh jari, Tar," balas Lara setelah merasa disudutkan. Ia bahkan tak habis pikir, Tarissa mengetahui banyak hal. "Nggak usah munak, Ra. Gue tau sendiri, elu sering nelponin dia. Nggak tau siaap yang kegatelan. Tapi yang pasti, keknya dia lebih suka ke gue daripada elu yang arogan." "Kalian pada ngomong apaan?" tanya Derisca. "Iya, loh. Kita kan cuma becanda Tar, Jan diambil h
Read more
Beracun?
Senja sudah tampak di ufuk barat saat teriknya matahari tak lagi menyengat. Pada rumah industrial minimalis, Lara masih enggan beranjak dari ranjang. Ponsel yang diletakkan pada holder masih menampakkan deretan daftar harga saham yang sering naik turun seiring perkembangan informasi. Belum lagi, pada jendela layar lainnya, terpampang jelas deretan kurs dollar yang juga mengalami banyak perubahan. Baru kali ini, melihat bertambahnya kapita keuangan tak membuat Lara senang. Harga saham yang anjlok pun tak segera diselamatkan olehnya. Benar, pandangannya menuju layar ponsel. Namun, pikirannya entah berkelana ke mana. Diembuskannya napas kasar saat perutnya terasa lapar. Mbak Dina, sedari pagi memang sudah menyiapkan makanan. Asisten rumah tangga panggilan itu sudah dua hari bekerja di rumah Lara. Sudah dua hari pula, Lara enggan ke luar rumah. Bahkan, untuk memesan makanan dari luar
Read more
Haru
Lara telah kembali merebahkan diri di ranjang minimalisnya. Diusapnya layar ponsel yang masih menampakkan dua jendela melayang pada bagian atas: satu bursa saham, yang lain BEI. Gadis delapan belas tahun itu merasakan sensasi aneh, setelah makan bersama ART panggilannya. Meski sudah dua hari di sana, Lara bahkan tak pernah menyapa sebelumnya. Namun, kali ini entah mengapa ia ingin ditemani makan. Lantas, Lara kembali mengingat bagaimana Mbak Dina merasa begitu terharu kala diajak makan bersama. "Beneran polos atau pura-pura polos, gue nggak bisa bedain." Lara ingat betul bagaimana ia menggoda Mbak Dina agar mau menemaninya makan. Bukan sekadar hanya menyajikan dan memperhatikannya dari jarak dekat. "Astaghfirullah, Neng, nggak ada, atuh. Semua masakan ini handmade, Neng. Buatan mbak sendiri. Mana mungkin dikasih racun," kilah Mbak Dina, dengan wajah memelas. "Lah, kalo nggak ada
Read more
Mati Keselek
Ari sudah hampir sampai di pos penjagaan sebuah kompleks perumahaan setengah jam selepas pulang kerja. Seorang penjaga yang melihatnya turun dari kendaraan ojek online, berusaha mendekat. "Ada perlu apa, ya?" tanyanya. "Oh, aku temennya si Lara. Bapak itu pasti kenal. Tempo hari pernah ke sini juga soalnya." Sang penjaga pun mengernyit heran, lantas bersiul demi memanggil partner kerjanya. Entah menggunakan bahasa apa keduanya berinteraksi, yang jelas hanya mereka berdua yang mengerti--atau mungkin semua para penjaga kompleks perumahan ini. "Oke, masuk. Tapi, kalo boleh tau, kamu siapanya, Mas?" Ari menyungging senyum, lantas menjawabnya pelan. "Saya montir ples ples, Pak." Tanpa menunggu reaksi atau jawaban, Ari telah berlalu melewati sang penjaga keamanan. Ia masih ingat betul sebelah mana rumah Lara berada. Terlebih, hanya kediaman sang bos besarlah yang p
Read more
Tetap di Hati
"Ya nggak gitu juga, Rii!" Ari kembali duduk sembari mendecih. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke rumah sang kekasih. "Semuanya udah pada tau hubungan kita?" Lara menggeleng, lantas ia mengambil duduk di seberang Ari. "Gue nggak pernah mau ngakuin elu! Mana mungkin mereka tau!" "Buktinya, Lalita tau, Ra!" "Dia cuma mau mancing elu, Begok!" Dikatai sedemikian rupa oleh Lara, tak membuat Ari marah. Ia malah mencondongkan badan, mengikis jarak  pada idaman banyak pria. "Kamu ... nyembunyiin sesuatu?" Lara pun tergemap sebentar, sebelum akhirnya mampu menguasai keadaan. Ia mengulas senyum pada Ari. "Eng-gak!" "Lalita ngasih semua buktinya, Ra. Mana mungkin dia nggak tau." "Mungkin itu semua gegara elu yang ngedeketin Tarissa!" "Aku nggak ngedeketin dia, Ra. Emang pas
Read more
PREV
1
...
34567
...
15
DMCA.com Protection Status