All Chapters of Ramalan Buku Merah: Chapter 61 - Chapter 70
108 Chapters
- 60 -
Iris hitam legam milik Airen menatap lekat ke arah lelaki botak yang terbaring tak sadarkan diri. Sebenarnya ia tidak suka menyakiti orang lain, namun keadaanlah yang sudah memaksanya. Ia pun mengambil kunci yang terkait di celana lelaki itu.Saat hendak menuruni tangga menuju lantai satu, tiba-tiba Airen teringat sesuatu. "Sebaiknya aku tidak keluar dengan tangan kosong, aku hanya butuh beberapa menit," ucapnya lirih kemudian berbalik arah menuju lantai tiga.Derap langkahnya berpacu dengan degup jantung yang terus berdetak cepat. Setelah berada di lantai paling atas bangunan itu, ia langsung menuju ke ruang penyiksaan. Dugaannya benar, ruangan itu tidak pernah terkunci.Airen menebar pandangan sekilas lalu mengambil beberapa foto yang tertempel di dinding. Ia sangat penasaran siapa orang-orang itu sebenarnya, sehingga dirinya dan Airel disejajarkan dengan mereka. Setelah dirasa cukup, ia ber gagegas keluar dari ruangan itu. Ia tak ingin berlama-lama dan membua
Read more
- 61 -
Langkah kaki Airen mulai melambat. Rasanya ia sudah tidak mampu lagi untuk berlari atau berjalan. Sambil membekap luka di lengannya yang mulai terasa sakit, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan seseorang tengah mengejarnya atau tidak.Jalanan yang ia susuri masih gelap dan berkelok. Ia berharap fajar segera menampakkan diri. Selain tubuhnya yang mulai lelah, ia merasa tidak nyaman dengan jalanan yang lengang itu. Lebih dari lima menit ia berjalan, ia tidak menemukan bangunan apa pun yang berdiri di kiri kanan jalan.Airen tidak tahu di daerah mana ia berada. Yang pasti tempat itu begitu asing dan sepi. Sejauh matanya memandang, ia hanya menjumpai pohon-pohon di sepanjang jalan. Meskipun demikian, jalanan itu sudah beraspal dan dilengkapi dengan lampu-lampu penerangan meski jarak antar tiangnya cukup jauh. Itu artinya tempat tersebut masih diperhatikan dan bukan daerah yang tertinggal. Bisa juga jalan itu merupakan jalanan lintas kota.Merasa semakin
Read more
- 62 -
Airel mengeluarkan koper Alfie dari bagasi mobil. Lalu menyeretnya menuju ke dalam rumah."Sebaiknnya Paman istirahat terlebih dahulu. Nanti malam saja kita membicarakan tentang kasus Paman Yofi dan Airen," ucap Airel pada Alfie yang berjalan beriringan dengannya. Airel tahu Alfie sangat lelah. Selama perjalanan pulang, Alfie hanya tertidur di mobil."Paman sudah cukup istirahatnya," ucap Alfie lirih. "Perjalanan tadi juga cukup lama.""Beristirahatlah yang benar Paman. Bukan yang hanya kebetulan bisa beristirahat."Alfie tersenyum tipis. "Intinya itu juga sudah beristirahat," bela Alfie yang membuat Airel hanya menggeleng heran.Setelah mengantarkan koper ke kamar Alfie, Airel langsung duduk di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian, Alfie juga ikut duduk sembari meletakkan sebuah laptop di atas meja."Tumben Paman memakai laptop di rumah?" tanya Airel setengah menyelidik. Pemandangan yang memang tidak biasa ditunjukkan Alfie."Ada yan
Read more
- 63 -
Airen mulai tersadar dari pingsannya. Perlahan ia membuka mata sembari memegang kepalanya yang terasa berat. Ia mengerjap beberapa kali untuk memfokuskan pandangan. Pelan tapi pasti, ia mulai sadar bahwa dirinya sudah berada di tempat yang berbeda—bukan tempat saat ia pingsan.Ia berusaha duduk dari baringnya, lalu menoleh ke arah tangannya yang sedang terinfus. Seketika pandangannya pun mengedar ke seisi ruangan. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya yang bertumpu di atas tempat tidur.Ia mengernyitkan dahi dan meringis kesakitan saat berusaha bergerak. Rasa sakit itu kembali muncul. "Kenapa aku bisa berada di rumah sakit?" ujarnya lirih di tengah menahan rasa sakit.Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Seorang suster masuk seperti hendak melakukan pengecekan. Wanita bersetelan serba putih itu menghampiri Airen. "Syukurlah kamu sudah siuman," katanya dengan senyum semringah. "Bagaimana kondisimu sekarang?"Airen terdiam cukup lama mencerna ucapan su
Read more
- 64 -
"Sepertinya kau dan kakakmu sangat akrab ya," ujar Johan."Ya, bisa dibilang begitu," aku Airel sembari mengedikkan bahu. "Kami selalu melakukan banyak hal bersama-sama, walaupun kami tumbuh menjadi karakter yang sangat berbeda."Johan berdecak pelan. "Menarik sekali. Aku jadi penasaran seperti apa kakakmu itu."Ucapan Johan membuat Airen tertawa renyah. "Secara fisik, banyak yang bilang kami sangat identik. Padahal menurutku kami memiliki wajah yang berbeda. Untuk kepribadian, mungkin kau tidak terlalu cocok dengannya. Dia tipikal orang yang serius dengan orang lain kecuali denganku dan Paman Alfie," terang Airen."Paman Alfie?" Johan memasang tampang setengah bertanya."Oh, aku lupa kalau belum menceritakan tentang latar belakang kehidupanku." Airen menghela napas pelan. "Singkatnya, aku dan Airel dibesarkan oleh Paman Alfie. Sekitar dua belas tahun kami tinggal bersamanya."Johan mengangguk paham. Ia tahu Airen tidak terlalu ingin menceri
Read more
- 65 -
Airel melempar pandang ke pria yang berdiri di samping ranjang Airen. "Maaf, Johan. Bisakah kau meninggalkan kami berdua?" pinta Airel. "Ada yang ingin kami bicarakan secara empat mata.""Baiklah, aku mengerti," balas Johan segan. Ia berjalan keluar yang kemudian diikuti suster penjaga kamar itu."Apakah kau masih marah dengan Paman Alfie?" tanya Airel pada Airen setelah terdengar pintu ruangan itu tertutup."Kenapa kau selalu berharap aku tidak marah padanya?" desak Airen berbalik tanya.Airel menghela napasnya pelan. "Selama kau menghilang, dia adalah orang yang paling khawatir dengan keberadaanmu. Asal kau tahu, saking khawatirnya, dia juga yang memaksaku untuk melibatkan kepolisian demi mencarimu.""Untuk apa aku peduli dengan hal semacam itu?"Airel mendebas kasar. "Ayolah, Ren! Paman mungkin ada salahnya, tetapi lihatlah kebaikannya pada kita selama ini. Begitukah caramu berterima kasih padanya? Dengan sikapmu yang seperti ini, itu sam
Read more
- 66 -
Airel mengantarkan Alfie ke kamar inap Airen. Setelah itu ia berjalan keluar dan meninggalkan mereka berdua. Ia hanya ingin memberi mereka waktu untuk berbicara lebih intens dari hati ke hati."Bagaimana keadaanmu?" tanya Alfie memecah keheningan yang cukup lama menyergap mereka."Seperti yang Paman lihat. Semuanya baik-baik saja."Tentu saja Alfie sadar itu hanyalah jawaban yang membuat orang lain sedikit lebih tenang mendengarnya. Ia tahu Airen akan selalu berusaha tidak mau menyusahkan orang lain. Tetapi respon jawaban Airen membuatnya sedikit sedih, datar tanpa basa-basi. Ia merasakan ada jarak yang tercipta antara dirinya dan Airen. Selama ini Airen selalu terbuka padanya dalam hal apa pun."Paman tahu kau masih kecewa. Namun satu hal yang harus kau tahu adalah Paman tidak penah berniat buruk terhadap kalian. Kalian adalah satu-satunya hal yang sangat berharga dan Paman miliki saat ini."Airen tidak langsung memberikan komentar. Perasaannya be
Read more
- 67 -
Setelah melewati pembicaraan yang cukup panjang, akhirnya Airen mengerti dengan tindakan yang dilakukan Alfie. Ia juga meminta maaf atas segala sikap dan tindakannya. Ia pun memutuskan untuk mau kembali ke rumah Alfie. Sebelum pulang dari rumah sakit, Airel menyempatkan diri untuk berbicara dengan Johan. Ia ingin menanyakan kembali alasan pria itu yang sempat menyimpan kertas-kertas miliknya. "Terima kasih telah menolongku hingga aku bisa kembali kepada keluargaku," kata Airen. "Janganlah berterima kasih terus. Aku hanya melakukan hal yang sudah seharusnya," balas Johan sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kuharap kita tetap menjadi teman yang baik ke depannya." Airen tersenyum tipis. "Tentu saja, setidaknya setelah kau jelaskan mengapa kau menyimpan kertas-kertas milikku." "Astaga, masih ingat saja kau." Johan melengos ke samping. "Aku menyimpan kertas-kertas itu hanya karena penasaran dengan gambar orang-orang di dalamnya."
Read more
- 68 -
"Kenapa Dokter Hardian melakukan penculikan terhadapku? Lalu apa hubungan tindakannya dengan beberapa foto orang kembar?" Airen bertanya keheranan sembari duduk di sofa ruang tamu."Sebaiknya kita segera melaporkan hal ini pada Inspektur Yoga. Sehingga kepolisian segera menanganinya," usul Alfie. "Ini terlalu memberi waktu bagi orang itu untuk melarikan diri.""Aku setuju, meskipun kita belum bisa mengaitkan semua benang merah kejadian ini. Setidaknya kita sudah memiliki dasar penangkapannya atas tindakan penculikan," imbuh Airel."Baiklah, aku setuju seperti itu," timpal Airen. "Aku juga akan meminta bantuan Johan untuk memberitahukan dimana lokasi ia menemukanku. Tempat penyekapannya tidak jauh dari sana. Walaupun kemungkinan terbesarnya rumah itu sudah pasti dikosongkan.""Dan aku akan mencari tahu siapa sebenarnya orang-orang yang ada di gambar itu," usul Airel. "Aku berharap kita bisa menemukan rahasia di balik semua ini.""Sayangnya, aku tida
Read more
- 69 -
Airel memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas setelah mengakhiri pembicaraan dengan Airen melalui telepon. Airen hanya memberitahukan bahwa dirinya sedang pergi bersama Bripka Adi ke bekas tempat penyekapannya. Sebenarnya Airel masih khawatir tentang kesehatan Airen yang belum begitu pulih. Namun siapa yang bisa menghentikan tekad adiknya itu? Sehingga ia hanya bisa berharap Airen tetap baik-baik saja.Sementara Airen menyelidiki tempat penyekapan, Airel masih menunggu kedatangan Inspektur Yoga di sebuah kafe. Mereka memang telah membuat janji sebelumnya untuk bertemu. Agar tidak merasa jenuh menunggu, ia sengaja memilih kursi terpencil di sudut ruangan supaya bisa memperhatikan orang lain lebih luas. Sembari mengamati pengunjung kafe, Airel pun mengeluarkan laptop dari dalam tas. Ia berniat untuk mencari informasi mengenai Sukma.Tak butuh waktu lama, ia pun mendapatkan apa yang tengah dicari. Ternyata Sukma memang merupakan pantomimer yang cukup terkenal di kotanya
Read more
PREV
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status