All Chapters of Kau yang Diantaranya: Chapter 21 - Chapter 30
150 Chapters
Istirahatlah Dalam Damai
Dia telah kembali, tapi misteri masih mengikuti kemanapun aku pergi.* * * Aiza dan Wira tiba di lokasi, ketika sampai hari masih menunjukkan pukul tiga lebih dini hari. Itu karena Wira memilih meminjam mobil ke salah satu saudaranya, hal lain karena Aiza sudah macam orang gila yang tak bisa diajak kompromi. Well, sampai di lokasi mereka lekas mengetuk kantor tim SARS yang saat itu tak terlalu ramai. Hanya sekitar tiga orang yang berjaga, keluarga almarhum juga belum datang karena perjalanan jauh dan diperkirakan akan tiba siang nanti. Wira bertemu pria kisaran 40 tahunan, yang menelepon dan memberitahukan kabar kepadanya tadi. Lalu mulai menceritakan kronologis kejadian penemuan tubuh Taklif. Beberapa dari mereka juga sedikit terheran, kenapa tubuhnya baru bisa ditemukan sekarang. "Ini juga karena beberapa kapal besar penjaring ikan sampai ketengah laut, begitu mereka menarik ke atas ada tangan yang menggantung.
Read more
Eiliyah
Bertumbuh dalam damai dan cinta Allah. * * *   Kantin sudah hampir kosong, ketika Aiza memesan es limun dan roti bakar. Ia makan di pojokan seperti biasa, Wira memandang pria tinggi itu sedikit iba. Sementara di sampingnya seorang wanita mengintili. Dengan wajah senang Wira mengantar wanita tadi memesan beberapa menu, lalu pergi ke meja yang sama di mana Aiza duduk.   Lelaki bermata lelah itu berhenti mengunyah, ketika matanya bertemu dengan wanita yang duduk di depannya sekarang. Dengan sedikit canggum ia tersenyum ramah menyapa, dan si kuncir memperkenalkannya pada Aiza.   Namanya Eiliyah seorang guru baru pengampu Bahasa Inggris, dia baru masuk awal bulan lalu menggantikan Mister Arnold yang pulang ke Jerman. Lelaki bule itu kangen rumah katanya dan memilih kembali ke negeri asalnya. Aiza tidak peduli dengan penjelasan Wira, hanya mengangguk dan melanjutkan makan siang.   Walau kesal meras
Read more
Paman Tetangga yang Menghilang
Mataku melihatnya, tapi ketika ku katakan pada mereka. Aku bukan lagi, aku yang dikenal.* * * Masih jelas di ingatan ketika umurku masih empat tahun. Di samping rumah kami ada seorang paman yang hidup sendirian, usianya baru tiga puluh tahun. Ia sangat baik, sering membagi kami hasil kebunnya, bahkan sesekali juga berkunjung ke rumah. Namanya Paman Bushra. Perawakannya tidak terlalu tinggi, tapi ia memiliki otot yang kuat, senyuman ramah dengan mata yang akan membentuk garis ketika ia tertawa. Dia suka sekali menggulung lengan bajunya, hingga aku bisa bergelantungan di lengannya. Suatu hari aku pernah bertanya, kenapa paman Bushra tidak menikah? Tapi dia hanya menjawab singkat, "seseorang menunggu ku." Karena masih kecil jadi tidak terlalu paham maksudnya, mungkin dia menunggu seseorang itu sampai sekarang. Hingga suatu hari ketika sedang bermain di taman pada sore hari, paman itu tersenyum melihatku sedangkan ia duduk di kursi warna
Read more
Wanita Itu dan Kamar Ke Empat
Bagaimana bisa mereka tersesat sejauh ini? Kembali pada waktu dunia fana, sebelum semua terlambat.* * *Sepulang dari perjalanan kami, Wira memutuskan untuk memperbaiki kuliahnya. Dia akan mengejar ketertinggalan dengan cara mengambil semester pendek. Sementara Aiza akan memulai bimbingan tugas akhir, namun ada hal lain yang ingin ia lakukan. Menutup indra ke enamnya, untuk itu ia akan mengerjakan tugas akhir di kampung halamannya. Tapi sebelum itu, Aiza kembali ke kosan. Bayu bilang dia menitipkan tasnya pada pemilik kosan, begitu sampai ia langsung mengambilnya. Hanya saja rasanya ada yang aneh sekarang, ia merasa diawasi dan diikuti. Namun bukan oleh manusia, nampaknya setelah kembali dari laut selatan penglihatannya semakin menambah peka. Aiza tau kamar ke empat dari kamarnya, telah menjadi rahasia umum. Tak ada yang mau tinggal di kamar itu, hingga kamar di sampingnya pun sering kosong memilih tidur di kamar ke tiga. Si e
Read more
Bayangan yang Mulai Menghilang
Kau bisa melihat bayangan kematian, namun sedikit orang yang menyadari pertanda ini. Mungkin, itu sebabnya kau memiliki mata keenam.   Untuk menyadari apa yang tak di sadari orang awam. * * *   Aku menghubungi Mbak Wati, salah satu sodara dari ayah juga. Lebih tepatnya sepupu dari keluarga istri Wa Ega, Wa Ratna. Tidak kusangka ternyata sepasang suami istri ini mampu melihat dunia lain, makanya Wa Ratna memberi tahuku tentang saudaranya yang lain. Salah satunya Mbak Wati ini, yang sudah sering mengalami hal-hal aneh sejak ia masih kecil.   "Assalamualaikum, hallo Mbak." Sapaku begitu telponnya ia jawab.   "Ya, ada apa Za?" Suara Mbak Wati selalu berat, sepertinya hari-harinya setelah memiliki anak pertama tidak terlalu baik.   "Maaf mengganggu Mbak, tapi.. Mbak pernah kejadian melihat bayangan orang yang justru mulai pudar di cermin?"   "Hm, bayangan
Read more
Rasa Penasaran Eiliyah
Penasaran memang wajar, tapi harus siap dengan konsekuensinya. Jangan dicari kalau mereka memang tak ingin dicari.* * * Setiap hari aku memperhatikannya, pura-pura tak peduli tapi semesta memberi tanda. Salah satunya adalah si gagak, entah dia kenalan ku yang dulu atau bukan. Lagi-lagi mata hitam legamnya mengamatiku di pohon belakang, samping ruang kantor guru. "Kau datang lagi. Apa kali ini, hanya peringatan atau kabar kematian?" Aku menemuinya dan berbicara, walau entahlah apa dia mengerti atau tidak. Hanya intuisi saja yang bermain sekarang, aku sedikit enggan sebenarnya berada di halaman belakang ini. "Lagi-lagi kau datang menemui si jelek ini?" Dia mahluk yang berdiam di pohon asem ini, wanita bergaun putih. "Setidaknya dia mandi, kau sendiri kenapa tak pergi mandi sana." "Hihihi! Mau ikut?" Dia tertawa mengajak, wajah pucat dengan rambut kusut.
Read more
Kematian yang Hening
Apa yang paling membahagiakan untuk mereka yang menua?Orang terkasih berada di sampingnya, ketika hembusan nafas terakhir.* * * Arunika menemani roda si kuda besi melangkah, menelusup di celah-celah dedaunan dan beton kokoh yang megah. Istana para manusia dan hunian makhluk tak kasat mata. Panggilan subuh tadi menjerit di telinga, Wira menelepon perihal kabar duka. Burung gagak mengepak sayap memberi pertanda di balik jendela, lagi-lagi ia menatap tanpa suara. "Sudah dijemput? Hm, aku dapat beritanya." Bulu hitam legamnya nampak mengkilap, dengan cahaya merah dari sorot matanya. Aku merinding tapi tak takut, mungkin berusaha membiasakan diri setelah delapan tahun ini. "Tunggu. Aku punya roti, ambillah." Sang gagak tak lekas mengambil, ia masih diam mengamati hingga fajar makin meninggi barulah ia pergi. Motor matik sudah masuk lingkungan sekolah, tepat kulihat Wira dan Eiliyah datang
Read more
Aiza Masa Kecil
Teman kecil yang menghilang, entah karena alasan apa.* * * Setelah kepergian paman Bushra, rumah di samping kami hening. Keluarga besar paman menjualnya, hingga pemilik baru datang. Kami masih tinggal bersebelahan, sayangnya ayah melarang untuk bermain kesana.  Pernah bertanya kenapa tidak boleh, padahal aku lihat ada tiga bocah asing di sana. Mereka tersenyum ketika aku mengintip ke halamannya, tapi bapak bilang tidak boleh. Karena bosan dan merasa kesepian, sering sekali mengendap-ngendap bertemu dengan mereka dan bermain di taman depan. Kebetulan ada taman yang sekaligus berfungsi, sebagai lapangan basket atau voli di depan rumah. Tentu saja aku mengajak mereka bermain di sana, ada perosotan dan ayunan, juga box pasir. Tetapi beberapa waktu aku pernah jatuh dari ayunan, karena salah satu dari mereka mendorongku terlalu kencang.  Beberapa kali ketika Enah sibuk di dapur, dan bapak yang masih bekerja.
Read more
Menutup Mata Keenam
Kami tak terlihat untuk sementara, tapi kami pasti kembali.* * * Pukul sebelas malam lewat beberapa menit, ketika mobil keluarga Aiza berhasil menepi di halaman sebuah pesantren. Mereka turun dengan Aiza yang terlelap tidur, rupanya seseorang telah menunggu mereka sejak tadi di depan pintu. Seorang wanita kisaran 40 tahunan, menyapa mereka berdua dan mempersilahkannya masuk. Mereka berdua nampak terlihat lelah, tentu bukan hanya karena fisik. Pria berjanggut menghela napas sejenak, sebelum akhirnya meminta saudara termuda mereka melakukan sesuatu pada mobil di parkiran sana. Entah doa apa yang dibacakan lelaki itu, sebelum mempersilahkan keduanya duduk setelah lima menit yang terasa berat dan panjang. Begitu mereka cukup tenang, wanita tadi membawakan air bening hangat dan beberapa cemilan. Sebelum mereka minum, lelaki berjanggut tadi membacakan doa yang ditiupkan pada airnya dan mempersilahkan keduanya minum.
Read more
Kenapa Eiliyah?
Berdamai dengan keadaan dan kenyataan, lebih sulit ketika memotivasi diri sendiri. Terkhusus, orang yang pergi adalah seseorang yang paling kau sayangi. * * *   Mereka duduk berhadapan setelah ucapan wanita itu, kembali mengusik ketenangan Aiza. Sengaja Aiza memilih tempat yang jauh dari jangkauan Wira, dan tak pernah dikunjungi lelaki itu. Kalau tidak mereka akan bertemu dan meributkan kembali, permasalahan yang tidak penting untuk Aiza.   Dua cangkir kopi panas baru saja dihidangkan di atas meja, namun suasana ini jauh lebih pahit untuk Aiza. Wanita di hadapannya tak juga bergeming, walau ia mengatakan berbagai macam hal mengenai keinginannya untuk mengetahui dunia ini. Dunia yang justru terasa mencekam dan mengerikan bagi mereka yang memiliki mata keenam.   "Jadi, kau ingin aku membuatmu bisa melihat hantu?" Aiza menatap tajam, sedangkan Eiliyah mengangguk menjawab. "Sudah kubilang sebelumnya. Tidak se
Read more
PREV
123456
...
15
DMCA.com Protection Status