All Chapters of The Sunday Sunflower: Chapter 21 - Chapter 30
77 Chapters
Bab 21
Langit cerah. Biru dengan sedikit gumpalan awan seputih kapas. Cuaca yang baik untuk piknik.Gathan dengan kemeja kotak-kotak kecil berwarna biru berpadu celana putih beserta tatanan rambut sempurna, melangkah memasuki pelataran rumah sewa Fanala. Ada keranjang piknik menggantung di satu tangannya. Ia tampak begitu boyfriendable.Buku-buku jari Gathan mengetuk pintu dengan santai. Suasana hatinya sedang baik. Dan suara kicauan burung-burung hias tetangga sebelah membuat siang ini nampak lebih sempurna.Hari ini akan sempurna.Tak lama pintu terbuka. Fanala dalam balutan pakaian semalam muncul seraya mengucek mata dengan cara yang menggemaskan dalam pandangan Gathan. Terang ia telah mengusik tidur gadis itu. Padahal ini sudah siang, lewat tengah hari malah."Kenapa, Than?" tanya Fanala. Suara pelan, khas orang baru bangun tidur."Piknik, yuk?" ajak Gathan. Gatal se
Read more
Bab 22
Gathan menutup pintu di belakangnya. Sebelah tangannya bergerak mengeringkan rambut menggunakan selembar handuk berwarna gelap. Dalam dua langkah ia melompat ke tempat tidur, kemudia berbaring terlentang.Hari ini sangat melelahkan. Tapi itu ada apanya dibanding rasa bahagianya. Seharian penuh menghabiskan waktu bersama gadis yang tengah sangat disukainya saat ini. Tertawa, berlari, di pantai. Bahkan suara tawa Fanala yang merdu masih terngiang-ngiang di telinganya. Membuat ia selalu ingin menghela napas dalam, mengapresiasi suara itu.Tangan Gathan meraba-raba mencari ponsel yang tadi dilemparkannya saja sebelum mandi. Tak lama benda itu pun didapatkannya dekat bantal.Ibu jari Gathan lincah bergerak di atas layar, membuka aplikasi chatting berwarna hijau. Mengecek pesan-pesan yang masuk. Ada dari Sasha, Mimi, juga beberapa group yang diikutinya. Tidak ada yang penting. Ia pun beralih melihat snap-snap t
Read more
Bab 23
Hanya Fanala sendiri yang turun di halte itu. Macam biasa. Malam begini memang tak banyak yang berhenti di halte ini.Ia agak terkejut mendapati ada seseorang laki-laki duduk di bangku halte dengan kepala tertunduk. Terlebih itu orang yang dikenalnya."Gathan?" panggil Fanala.Laki-laki yang masih menggunakan seragam SMA itu mengangkat wajahnya. Menatap Fanala dengan mata yang biasanya berbinar namun kini tampak suram. Serta ada beberapa memar dan luka di wajah tampannya.Fanala mendekat. "Muka lo kenapa?" Ada khawatir terkandung dalam kalimatnya."Lo gak mau ngelakuin adegan yang biasa ada di drama Korea, Fan?" ujar Gathan, tak mengacuhkan tanya yang ditujukan padanya.Sepasang alis Fanala terangkat tipis. Gagal paham."Ngobatin luka gue," jawab Gathan atas tanya tanpa suara Fanala.Fanala mendengus. Bisa-bisanya Gathan bercanda di saat s
Read more
Bab 24
"Dia gak mau liat muka gue, Sha," ulang Gathan untuk kesekian kalinya. "Harus berapa kali, sih, gue bilang?"Dua belas kali sehari dalam satu pekan ini Sasha berkata : 'Baikkan sama Radit sana, Than'. Sampai Gathan muak sekali."Terus lo bakal nurut aja gitu?" tanya Sasha. Ia terus mengekori Gathan. Kegiatannya belakangan ini adalah membordir Gathan dan Radit agar mau berbaikan. Padahal ia tak tahu dua sahabatnya itu bertengkar karena apa. Baik Gathan mau pun Radit kompak untuk bungkam."Gue--""Gue apa?" Tuk! Sasha terantuk. Ia mengusap keningnya yang membentur punggung Gathan. Manusia di depannya ini sungguh tak sadar diri bila sedang diikuti.Sasha memukul punggung Gathan seraya berkata, "Kasih tanda, sih, Than, kalo mau ngerem! Pengen banget gue tabrak."Tidak seperti biasanya bila dipukul Gathan suka bereaksi berlebihan, kali ini laki-laki itu diam saja. Penasaran, Sa
Read more
Bab 25
Fanala menahan ujung lengan kemeja sekolah Gathan ketika laki-laki itu melenggang keluar rumahnya bersama Sasha memimpin jalan.Gathan menghentikan langkahnya, "Kenapa?""Mau ngobrol-ngobrol gak, nanti malem?" tawar Fanala.Alis Gathan terangkat. Bingung. Tak penah-pernah Fanala sukarela mengajaknya mengobrol. Ada angin apa?"Gue tunggu, ya," putus Fanala, melepaskan tangannya dari kemeja Gathan. Membiarkan laki-laki itu kembali melangkah, mengekori Sasha yang telah jauh jaraknya.Dan malamnya Fanala betul-betul menanti Gathan. Dalam balutan hoodie belang berpadu celana jeans panjang, ia duduk di kursi bawah mahoni di sudut halaman. Diterangi cahaya lampu teras yang tak seberapa. Tangannya ia selipkan dalam saku, menghindar dari sejuknya angin malam ini.Fanala berharap Gathan segera datang. Namun seperti penantian pertamanya terhadap laki-laki itu, ia ke
Read more
Bab 26
Gathan menanti. Gerah sendiri. Ia heran kenapa mau-maunya ia mengikuti ide ini. Karena Fanala, Sasha yang kelewat antusias, atau ia yang memang tolol? Akankah seorang idola bisa memperbaiki sebuah persahabatan? Maksudnya, Radit kan tak sefanatik itu.Terdengar suara pintu aula di buka lalu di tutup sekali. Gathan pun berbalik. Tak ada yang dapat dilihatnya dengan topeng Yoona SNSD menutupi wajahnya. Ini ide Sasha, tentu saja. Kata Sasha, Radit kan tak mau bicara bila melihat tampangnya, jadi itu pasti tak berlaku bila wajah cantik Yoona yang menamengi. Ada-ada saja, bukan? Dan yang lebih ada-ada lagi, ia mau-mau saja mengikutinya.Tak ada suara lagi. Gathan pun segera bicara, "Dit?" takut-takut yang ditunggu malah keburu kabur.Bukannya jawaban yang diterima, malah derit pintu yang didapat. Tergesa Gathan menghela topengnya lepas. Dilihatnya Radit bersiap menyelipkan tubuhnya melewati celah pintu menuju ke luar aula.
Read more
Bab 27
"Nih, Dit," Gathan bersuara, menyodorkan sekaleng minuman dingin yang berembun.Radit santai saja seolah tak mendengar suara Gathan, iris matanya juga tak bergarak barang se-nano-mili pun seperti Gathan adalah makhluk tak kasat mata. Ia sibuk dengan ponselnya, bermain game atau entah apalah. Pokoknya sok sibuk sekali.Sasha yang miris melihat kejadian itu menyambar minuman yang disuluhkan Gathan. Ia membukanya, lalu disuluhkan pada Radit yang menerima tanpa banyak kata.Gathan mendengus, namun tak protes. Ia duduk saja di sisi Radit. Dan tahu apa yang dilakukan manusia satu itu? Dia bergeser sampai membuat Sasha hampir jatuh dari kursi yang mereka duduk."Dit!" lengking Sasha, beranjak berdiri, menghardik Radit yang memasang wajah polos."Sorry," lirih Radit."Gak capek apa sih lo giniin Gathan?! Heran gue! Katanya udah baikan tapi masih kayak gini!"
Read more
Bab 28
"Belajar-belajar sana, Than!" suruh Fanala. "Senin mau UN bukannya belajar malah nelepon mahasiswi yang banyak tugas mulu.""Mahasiswi yang lagi banyak tugas mau aja sih ngangkat telepon padahal katanya sibuk." Gathan tersenyum. Taruhan, Fanala pasti kesal sekali di ujung sambungan sana.Ngomong-ngomong belakangan ini mudah sekali membuat emosi Fanala tersulut. Ia pikir gadis itu tengah PMS. Fanala jadi segalak singa sekaligus semenggemaskan bayi panda. Sehingga makin menyenangkan menggodanya.Menurut Sasha, Fanala jadi galak bukan karena PMS karena katanya, Kak Nala orangnya gak gitu. Jadi Sasha pikir itu pasti sebab tragedi hujan-hujanan itu, Fanala malu.Lain Sasha, lain pula Radit. Radit berpendapat Fanala jadi galak dan suka menghindar karena ia sudah terlalu muak dengan Gathan--memang tak dapat diharapkan sudut pandang Radit dapat menyenangkan hati."Gu
Read more
Bab 29
Sudah lebih dari setengah jam Karel meninggalkan kediaman Fanala. Sahabatnya itu pulang paling terlambat dibanding lain, sementara Gathan yang tercepat.Sekarang nyaris pukul sepuluh. Fanala tengah rebah di kamarnya, menatap langit-langit. Ia memikirkan Gathan. Sekarang sudah larut, tak mungkin kan Gathan masih menunggu di halte? Itu juga bila laki-laki itu tak cuma sekedar bergurau tadi.Fanala memejamkan mata, bersiap tidur mengingat esok ada kuliah pagi. Untuk sejenak wajahnya tenang. Kemudian perlahan kernyitan mulai muncul di atara alisnya seiringin suara detak jam yang kian nyaring. Sampai puncaknya, ia mendadak duduk dan meraih ponsel. Dengan cepat menekan nomor Gathan."Halo?" Gathan bersuara di seberang sana. "Karel belum pulang, Fan?""Udah," jawab Fanal. Kok, tiba-tiba ia bingung mau berkata apa. Kenapa ia jadi mudah eror begini sih sekarang?!"Buruan, gih,
Read more
Bab 30
Semakin ia tumbuh dewasa banyak kebahagian dan kesenangan yang mengabur, pudar, bahkan benar-benar hilang. Dan Radit mulai paham mungkin itu memang bagaimana proses pendewasaan berjalan, atau skenerio hidupnya memang mesti begitu--barangkali penulis kurang menyukainya. Namun ia mulai terbiasa--walau tetap tak bisa terima. Tapi kenapa saat ia mulai terbiasa ia langsung dihadapkan pada mimpi terburuk macam ini. Mimpi yang tak bisa ia hadapi.Hari ini semua terasa baik. Banyak tawa, banyak hal manis yang patut diingat selamanya. Lalu tiba-tiba ia dijejalkan hal terpahit yang tak sanggup ia kecap. Hal yang harus ia terima dengan air mata, gigil tubuh yang seketika dingin nyaris beku, dan perasaan bahwa dunia baru saja menenggelamkannya di lubang yang tak akan pernah bisa ia panjat keluar.Kenapa?Apa dunia harus seseimbang itu untuknya? Ia baru saja tertawa lepas sejenak, lalu sekejap kemudian ia harus menangis tak terkendali.
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status