All Chapters of Istri Yang Tak Dirindukan: Chapter 71 - Chapter 80
102 Chapters
Bab 71 Ranjang Suamiku
  "Apa yang sudah kau lakukan di sini? Kenapa kamu bisa ada di dalam kamarku." Aku terkejut, ketika melihat Nurul berada di ranjang Mas Rahman.  Wanita yang memakai baju tidur itu menoleh, lalu memandang dengan tatapan sinis. Perlahan, dia bangkit dan duduk di sofa yang berhadapan dengan ranjang. Kakinya yang satu lagi ditopang kan ke atas paha. Terlihat betisnya yang putih mulus. "Ini kamar Mas Rahman. Itu artinya … kamarku juga.  "Apa katamu?!" Aku membentak menatap Nurul. Bisa-bisanya Nurul mengakui kamar yang aku tempati adalah miliknya.  Sejak Nurul menjadi istri kedua Mas Raman, dia seakan menjadi penguasa di rumah ini. Bahkan, dia sudah tidak punya rasa sungkan tidur di atas ranjang suamiku. Tempat kami melabuhkan cinta.  "Maaf, Mbak. Mas Rahman memintaku tidur di sini. Kamar kami sedang direnovasi." 
Read more
Bab 72 Tertawa Di Atas Derita
  Aku menatap matahari yang baru tenggelam di ufuk barat. Sinar keemasannya mulai menghilang di garis cakrawala. Terasa hawa dingin menyusup dalam tubuh yang baru saja melaksanakan ritual mandi wajib. Yah, masa nifasku sudah berakhir. Dua bulan aku dan Mas Rahman tidak pernah melakukan hubungan suami-istri. Malam ini saatnya aku membuatnya bahagia.  Ingin kuhabiskan malam-malam romantis dengannya. Setelah melahirkan Hafiz dia tidak pernah lagi menyentuhku. Apalagi sekarang ada Nurul yang selalu siap melayaninya. Hati ini terbakar cemburu, jiwa meronta ingin mencabik-cabik wajah maduku. Wanita itu dengan sengaja masuk ke dalam rumah tangga kami. Sebagai wanita ketiga yang tak diundang.  "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Aku menoleh ke belakang. Mas Rahman baru pulang dari pondok pesantren. Wajah lelahnya kelihatan sekali dari suara yang mengucap salam. 
Read more
Bab 72 Finah yang Keji
  Seketika air mataku merembes keluar tanpa diminta. Aku melepas kepergian Habib dan Nara. Kini sudah saatnya mereka menentukan jalan hidup sendiri. Aku tidak ingin menjadi penghalang untuk Habib, dan Nara meraih cita-citanya. "Bunda jangan sedih. Habib pasti akan kembali jika tugas ini sudah selesai," ucap Habib menghapus jejak air mataku. "Iya, Nak. Bunda akan menunggu kalian di sini.""Ayah, tolong jaga Bunda selama Habib pergi!" Pintanya kepada Ustaz Rahman. "Iya, Habib. Tentu Ayah akan menjaga ibumu dengan baik. Kamu tetap saja fokus mengajar di sana. Ayah pasti akan menjaga amanahmu," kata Ustaz Rahman. "Jaga dirimu baik-baik di sana, Nak!" Lirihku. Bibir ini bergetar seiring pilu yang menyayat hati. Ketika melepas dua buah hatiku merantau di kampung orang. Wajahku menengadah menatap Habib, lalu bergantian Nara. Gadis manis yang kini sudah tumbuh dewasa. Cantik, Soleha dan juga pi
Read more
Bab 74 Ingatan Masa Lalu
  Beberapa Tahun Kemudian Mobil masuk ke halaman pesantren MTTQ melewati dua pos penjagaan. Dari dalam mobil bisa kulihat barisan para santri yang sedang menuju ke masjid. Mereka melaksanakan salat berjamaah bersama. Waktu sudah menunjukan pukul tiga lewat empat puluh lima menit. Sudah saatnya tiba melaksanakan salat asar. Para santri putri hilir mudik melewati santri putra. Mereka hilir mudik memenuhi pondok pesantren yang dipimpin oleh Kyai Hasyim. Sementara santri pria bergerombolan menuju ke masjid. Sarung berkibar bak bendera yang memberi hormat tertiup angin. Aku juga memperhatikan hijab santri putri yang melambai dipermainkan angin. Udara di pesantren ini sangat sejuk. Letaknya di daerah Kabanjahe."Nyonya, kita sudah sampai," ucap sopir membukakan pintu. Lamunanku ambyar seletika begitu sudah sampai di rumah. "Em … iya, Pak," jawabku gugup. Aku turun dari mobil dengan disambut
Read more
Bab 75 Ustaz Faruq
  Pukul tujuh malam Syawal mengajakku ke rumah Kyai Hasyim. Malam ini ada acara sukuran di rumahnya. Anak---Kyai Hasyim baru kembali dari Dubai. Menurut gosip yang kudengar Ustaz Faruq seorang duda. Sudah lama mereka bercerai dan mempunyai anak satu. Usianya hampir sama dengan Hafiz.  "Ayi, aku senang sekali bisa bertemu denganmu di sini. Syawal banyak bercerita tentangmu. Katanya kamu pandai menyanyi juga mengaji," ucap Nyai Salma menyambut kedatanganku bersama Syawal. Aku mencium tangannya dengan takzim. Begitu juga dengan Syawal.  "Saya juga senang bisa berkunjung kembali ke rumah ini dan bertemu dengan Ibu," ungkapku menyerahkan sebuah bingkisan.  Aku membawakan dua kotak bika Ambon sebagai oleh-oleh untuk Nyai Salma. Meski kadang wanita sepuh itu melarang membawa apa pun. Namun, aku tidak enak bila datang dengan tangan kosong.  Nyai Salma adalah istr
Read more
BAB 76 Sesal Tak Bertepi
 Dari semua tempat yang pernah kukunjungi, aku sama sekali tidak menyangka, jika akan bertemu dengan Ustaz Rahman di sini. Di kediaman Mual Salma dan Kyai Hasyim.  Medan itu kota yang luas. Tapi kami harus bertemu di Kabanjahe. Apalagi keluarga Nyai Salma adalah termasuk saudara dekat Ustaz Rahman. Aku sama sekali tidak menyangka akan pertemuan ini. Dunia ini sungguh sempit bukan? Bayangan Ustaz Rahman sedang tersenyum menggoda, bak sebuah kaset yang berputar di kepala. Dia memakai sarung saat mendekat ke arahku. Bahkan jubah yang dipakainya melambai-lambai tertiup angin. Ketika itu Ustaz Rahman baru selesai melaksanakan salat asar.  Peci yang bertengger di kepalanya semakin menambah ketampanan Ustaz Rahman. Membuat para wanita jatuh hati setiap memandangnya. Senyumannya melengkung, memperlihatkan lesung pipi. Aku jatuh cinta dengan pesona pria lajang yang sudah memikat hatiku.  
Read more
Bab 76 Dimana Ayahku
  Malam merangkak naik, aku merebahkan badan ketika naik di atas ranjang. Pertemuan hari ini dengan Ustaz Rahman membuatku terbayang masa lalu. Tubuh kurusnya, juga tatapan sendu Ustaz Rahman, membuatku hampir saja luluh.  Mata ini menatap langit kamar yang bercat putih dengan pikiran melayang entah kemana. Menerawang jauh sampai ke wajah pria yang sudah lama tidak kutemui. Senyumnya masih manis seperti dulu, hanya tubuhnya sedikit kurus. Walau kondisi Ustaz Rahman tidak seperti dulu, tetap tidak mengurangi rasa ketampanannya.  "Bunda! Boleh saya masuk?"  Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Itu panggilan dari Hafiz. Kalau sudah begini, pasti ada yang ingin dia katakan padaku. Hafiz jarang-jarang menemuiku. Kalau pun dia akan be
Read more
Bab 78 Masa Lalu Kelam
  Hafiz tampak tegar walau wajahnya terlihat sendu. Sejak pulang bertemu dengan Ustaz Rahman, dia terus diam dan membisu. Mungkin Hafiz kecewa setelah pertemuan tadi dengan ayahnya.  Aku menghirup udara dengan rakus. Mencoba menepis bayangan pria berwajah oriental itu. Bahkan senyumnya terlihat dipaksakan. Sejenak kupandangi tubuh kurusnya. Ada yang terasa sesak dalam dada ini. Melihat dia termenung, matanya berkaca-kaca seperti ada hujan yang akan turun dengan deras.  "Nak!" Panggilku lembut.  Hafiz menoleh, lalu menyandarkan kepala di pangkuanku. Kubelai rambutnya yang hitam tebal. Gamis ini sudah basah oleh air matanya. "Kenapa Ayah tak pernah mencari kita, Bun? Ayah egois!"  "Tidak, Nak. Ayahmu tidak egois." "Apa dia tidak tahu kita di sini hidup seperti apa. Bunda harus bekerja mencari nafkah dan memenuhi keb
Read more
Bab 79 Permainan Nasib
"Bagaimana, Ayi? Kamu setuju, kan dengan perjodohan ini?" Nyai Salma bertanya dengan binar bahagia. Dari matanya bisa kulihat terpancar kebahagian di wajahnya. Wanita berusia empat puluh tahunan ke atas itu, ingin menjodohkanku dengan sang putra semata wayangnya. Yah, aku terkejut mendengar kalimat perjodohan. Mulanya kami hanya membicarakan masalah pondok pesantren, dan juga kehidupan sehari-hari. Namun, aku terkejut ketika mendengar permintaan Nyai Salma yang tiba-tiba. Wanita yang tidak bisa memberikan suamiku keturunan. Sementara Ustaz Faruq dan Ustaz Rahman yang mendengarnya seketika tersedak secara bersamaan. Bagaimana hatiku bisa menerima Ustaz Faruq, di sisi lain masih ada cinta untuk Ustaz Rahman Maulana. Melihatku ingin menikah lagi dengan pria lain pasti hati ayahnya---Hafiz hancur. Mana ada pria di dunia ini yang rela bila kekasih hatinya menikah dengan pria lain. "Umi, apa-apaan sih main jodohin segala kayak
Read more
Bab 80 Perebut Hati
  "Oma!" Aku menoleh ke belakang seketika. Melihat bocah berusia empat tahun berlari ke mendekati seorang wanita seumuran denganku. Gadis kecil itu memakai kerudung warna pink. Sama seperti Nara waktu kecil dulu.  "Alina, jangan lari-lari, Nak. Nanti kalau jatuh gimana?" "Aina dah tuat, Oma." Wanita itu tersenyum mengecup pipi sang cucu. Bocah itu terlihat manis sekali. Lesung pipinya melengkung di pipi kanannya. Dari caranya tersenyum dan tertawa, aku bisa merasakan ada yang berbeda. Entah mengapa hati seperti ada kekuatan batin dengan balita itu.  "Sayang, ayo kita temui Abi! Pasti Abi sekarang lagi gelisah nungguin kamu." "Iya, Oma." "Cucunya, Bu?" Tanyaku menatap balita itu. "Iya, Bu. Namanya Alina, umurnya empat tahun. Dia cucu pertama saya," jawabnya merapikan hijab balita itu.
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status