Semua Bab Istri Yang Tak Dirindukan: Bab 81 - Bab 90
102 Bab
Bab 81 Ustaz Habib
"Mauli, kenapa ponselnya tidak diangkat?" Tanyaku gusar.  Mauli terdiam. Sudah lebih dari sepuluh kali ponselnya menjerit minta diangkat. Panggilan nama Hasan berkedip-kedip bak lampu diskotik yang menyala dalam keremangan.  Wanita muda di depanku tetap diam seribu bahasa sejak kembali dari pusat perbelanjaan. Mungkin hatinya sedang sakit. Ketika bertemu dengan Hasan, suami yang sudah lama menghilang tanpa kabar.  "Hiks … hiks." Mauli menangis sambil menutup wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangan. Bayi yang berusia beberapa bulan itu pun ikut menangis. Aku bisa merasakan perih dikhianati. Berada di posisinya bukanlah hal yang mudah. Apalagi sudah memiliki anak sebagai pengikat pernikahan.  "Mauli, jika menangis bisa membuatmu terhibur, maka lakukanlah itu. Aku akan mendengarkan curhatmu. Aku pernah merasakan di posisimu ini." &nbs
Baca selengkapnya
Bab 82 Selama Ini Kemana?
  Aku terpaku menatap pria yang berdiri di depan mimbar membawakan tausiah. Wajahnya tak banyak berubah, hanya sedikit tirus dan mempunyai jambang.  Kata-kata tausiah yang dibawakan menyejukkan jiwa. Aku ibarat tanaman tandus di Padang gersang. Menjadi segar kembali setelah disiram. Sekian lama aku merindukannya, baru kini dipertemukan kembali.  "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." "Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." "Para hadirin yang dirahmati Allah. Puji syukur kita masih dipertemukan pada bulan suci ramadan kembali. Bulan penuh nikmat dan ampunan, di mana semua dosa-dosa diampuni dan dipermudahkan jalannya. Seperti bayi yang suci baru lahir." Suara khas Habib membawakan tausiah membuatku bangga. Setelah beberapa tahun menghilang, kini kembali dengan membawa kesuksesan.  Empat puluh menit berlalu,
Baca selengkapnya
Bab 83 Pertemuan yang Tak Terduga
  "Nara?!" "Bunda?!" Langsung saja Nara memelukku, lalu mencium tangan ini dengan takzim. Aku hampir saja tak mengenali wajah putri kecilku, yang kini sudah dewasa. Dia lebih cantik dari yang dulu. Kulitnya putih, hidungnya mancung, serta senyumnya yang manis.  "Bagaimana kabarmu, Nak?" Tanyaku melonggarkan pelukan. "Baik, Bun." "Alhamdulillah, Bunda senang kamu baik-baik saja, Nak." "Iya, Bun. Nara sering ke sini menjenguk Abang Habib dan juga Azura. Rumah Nara gak jauh dari sini jika Bunda ingin mampir." "Bunda pasti mampir nanti." "Duh, yang lagi kangen-kangen sampai lupa untuk duduk," sindir Habib. Rasa bahagia ini yang meluap membuatku lupa kalau ada Habib. Ini sudah tujuh belas tahun berlalu, baru kali ini dipertemukan kembali dengan Nara.  
Baca selengkapnya
Bab 84 Kereta Terakhir
  Aku memandang ke arah luar jendela kereta api. Tujuannya menuju ke arah Tebing Tinggi. Kami akan pergi berziarah ke makam Anan. Lelaki yang pernah singgah di hatiku dulu. Pria yang selalu ku rindukan. Tiba-tiba memori ini teringat bak sebuah kaset yang diputar. Bagaimana aku menunggunya dengan setia, tetapi hanya dihadiahi talak ketika pulang dari merantau.Bayangan dua puluh tahunan itu masih melekat di kepala. Sampai kapan pun akan tetap mengisi hari-hariku. "Mas Anan!" Saat wajah lelaki yang kurindukan selama lima tahun kini datang menemuiku tepat berdiri di hadapanku.   Lelaki yang sangat kurindukan bertahun-tahun merantau kini telah pulang dengan membawa kesuksesan. Ia pulang dengan membawa mobil mewah bermerek dan memakai pakaian rapi. Seperti pekerja kantoran dan di tangan kirinya tersemat jam bermerek berharga mahal. Ia pulang membawakan oleh-oleh untuk kedua anakku."Mas!" pan
Baca selengkapnya
Bab 85 Kami Adalah Keluargamu
  Hujan rintik mulai membasahi bumi. Angin bertiup mempermainkan bunga kamboja yang ada di area pemakaman ini. Beberapa peziarah berteduh di teras masjid. Mendung hitam menyelimuti bumi. Langit seakan ikut menangis mengiringi rangkain doa yang kupanjatkan. "Mas Anan, aku datang melihat makammu. Maaf, aku terlambat mengetahui. Engkau kini telah tiada untuk selama-lamanya."  Kukirimkan al-fatiha untuk Mas Anan yang tidur di bawah sana. Waktu seakan berhenti berputar, mengiringi air mata yang mulai merembes. Kemarin dia masih bersamaku menemani hari-hari bahagia kami. Ku rindu tawa, candanya yang renyah menggoda.  Masih kuingat kala kami hidup susah dulu, bagaimana dia dengan gigih bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kini, memori itu tinggal kenangan sepanjang waktu.  "Selamat tinggal, Mas Anan. Semoga amal ibadahmu diterima oleh Yang Maha Kuasa.
Baca selengkapnya
Bab 86 Pertemuan Dengan Ustaz Iman
  "Humairah, kamu sebaiknya ikut Bunda saja. Sekarang kita adalah keluarga. Jangan sungkan memanggilku dengan sebutan Bunda." "Baik, Bun." Humairah menjawab dengan anggukan.  Kemudian dia mempersiapkan semua baju-bajunya untuk dibawa. Gadis berkerudung satin itu hanya tinggal sendiri di rumah tua ini. Sejak Mas Anan meninggal, dia tak punya saudara lagi selain kami. Entah di mana ibu yang sudah melahirkannya. Kabar yang terakhir kudengar Sarah sudah menikah dengan lelaki lain.  Humairah juga tak lagi mendengar kabar tentang ibu kandungnya. Sarah bak ditelan bumi menghilang begitu saja. Kasihan Humairah, meski dia anak dari hasil perselingkuhan Mas Aman, tetapi gadis itu tetap tak berdosa. Bagaimanapun juga aku harus melindunginya. Sampai ada seseorang yang akan datang untuk melamarnya sebagai istri.  "Sudah siap?" Tanya Habib menghampiri kami. &nb
Baca selengkapnya
Bab 87 Izinkan Aku Menjadi Suamimu
   Pernikahan tanpa cinta tidak akan pernah merasakan rindu walau ia jauh. Kebahagian rumah tangga yang harmonis bagaikan bayangan semu, yang tak akan pernah terwujud. Aku pikir hidup berumah tangga dengan Ustaz Rahman akan terbina keharmonisan, nyatanya salah. Ustaz Rahman malah membawa wanita lain ke rumah. Bagaimana mungkin hatiku bisa bertahan, jika ada orang ketiga yang datang. Kaca yang sudah retak makin hancur. Aku melihat pernikahan ini tidak bisa dipertahankan lagi.  Bagiku, Ustaz Rahman adalah orang terpenting setelah anak-anak. Meski sikap lelaki itu kadang acuh, aku pikir bisa membuat rumah tangga bertahan lama. "Ayi, ini Nurul. Kalian akan tinggal satu rumah sekarang. Aku minta harus akur jangan bertengkar," tutur Ustaz Rahman ketika memperkenalkan Nurul yang datang membawa koper besar. Hari yang ditakutkan tiba dan tak pernah terlintas sedikit
Baca selengkapnya
Bab 88 Rahasia Nurul
  Pesta sudah selesai, para tamu juga sudah pulang. Pengantin masih duduk bersanding di pelaminan. Senyum bahagia jelas terpancar di wajah Humairah dan Syawal. Mereka bak pasangan sejoli yang serasi. Malam semakin larut. Rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Langit gelap gulita tanpa bintang dan bulan yang menyinari. Dari balik jendela bisa kusaksikan malam yang mencekam. Di kamar ini, duduk seorang diri. Tugasku sudah hampir selesai dalam membesarkan anak-anak. Nara sudah menikah begitu juga dengan Habib. Mereka masing-masing sudah mempunyai anak. Tinggal Hafiz yang masih belum menikah.  Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, usia pun sudah bertambah tua. Mas Anan juga sudah tiada sebelum sempat melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa. Masih ada satu yang menjadi beban pikiranku. Habib harus sudah menikah sebelum maut menjemput ajalku.  Tok tok tok! Suara ketukan pintu terdengar di lu
Baca selengkapnya
Bab 89 Bukan Muhrim
  "Mas, kamu sudah bangun?" Tanyaku kepada Ustaz Rahman.Mata Ustaz Rahman mengerjap. Memperhatikan sekeliling ruangan. Dia menatapku seakan aku ini asing baginya. "Di mana aku, Ay?""Kamu ada di rumah sakit, Mas.""Apa yang sudah terjadi denganku?""Kamu terkena demam berdarah.""Benarkah?""Istirahatlah! Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa."Aku beranjak dari tempat duduk ingin keluar dari kamar inap Ustaz Rahman. Namun, tangannya mencekal pergelangan tanganku."Tunggu, Ay!" Sergahnya."Ada apa, Mas?" Aku berbalik menatap wajahnya sambil melepas cekalan tangannya. "Maaf, Mas. Aku tidak halal bagimu.""Maafkan aku, Ay. Semua ini salahku. Seharusnya aku tidak pernah menjatuhkan talak tiga kepadamu.""Semua sudah terjadi, Mas. Untuk apa disesali.""Andai aku bisa menahan emosiku saat itu. Saat ini kita masih menjadi suami istri yang sah."
Baca selengkapnya
Bab 90 Berhenti Menemuiku
Hujan deras mengiringi langkahku. Ketika akan pulang selesai mengajar. Di tengah perjalanan terpaksa aku harus berhenti. Berteduh di bawah pohon beringin yang rindang. Jarak antara rumah dengan pondok pesantren hanya sekitar lima ratus meter. Namun rintik air yang deras bisa membasahi tubuhku, jika diteruskan menuju ke rumah. Dinginnya udara yang sejuk terasa menusuk tulang. Angin berhembus sangat kencang. Pohon yang beringin ikut bergoyang terhempas angin. Hijab yang kukenakan juga melambai-lambai, tertiup hembusan ranting pohon beringin. "Pakai payung ini! Kamu tidak akan kebasahan sampai pulang ke rumah."Aku menoleh ke samping. Tiba-tiba Ustaz Rahman sudah berdiri di belakangku. Sepertinya dia juga baru pulang mengajar. "Gak usah, Mas. Terima kasih. Aku tidak membutuhkannya." Aku sedikit bergeser ke samping. Menjaga jarak hingga satu meter. "Kenapa? Apa begitu bencinya kamu denganku? Hingga menolak niat baikku.""Bukan begitu.""Lalu?""Berhentilah menemuiku!""Maksudnya?""Ma
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status