All Chapters of Misteri Asmara Bella: Chapter 11 - Chapter 20
59 Chapters
11. Bujukan Orang Tua
"Enggak mungkin lah," sanggah Luna cepat. "Apa pun bisa terjadi, siapa tau yang dibilang Maya benar. Secara dia masih pakai baju yang kemarin, kejadiannya pagi dan enggak ada yang ngelihat dia pas lewat koridor. Seharusnya, kalau emang ada yang lihat 'kan mereka udah rame," papar Bella yang membuat mereka terdiam. Di dalam hati mereka menyetujui apa yang diucapkan Bella. Semuanya masuk akal, tetapi mereka masih merasa sedikit ragu. Karena angin malam begitu dingin, apalagi berada di tempat terbuka seperti rooftop. Apa Bima sekuat itu? Galih menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Daripada nebak-nebak gini, lebih baik besok kita ke rooftop. Mungkin di sana ada petunjuk." "Petunjuk apa?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu membuat kelima remaja itu tersentak kaget. "Mama? Mama, ngapain ke kamar aku?" tanya Bella beranjak menghampiri Mamanya. Tanpa memedulikan pertanyaan putrinya, Mama Dea berjalan menghampiri keempat
Read more
12. Meyakinkan Mereka
"Yah, kita boleh berunding dulu enggak di kamar Bella?" tanya Davin menatap menatap Ayah penuh harap. Ayah Shafi menatap orang tua Bella dengan alis terangkat, meminta persetujuan sebagai pemilik rumah. "Boleh, lima belas menit," ujar Papa Dion mengizinkan. "Terima kasih, Pa. Kita ke kamar dulu," pamit Bella yang langsung bangkit dari duduknya dengan senyum lebar. Setelah itu, dia berlari kecil menuju kamarnya diikuti para sahabatnya. Sesampainya di kamar, Maya langsung mengunci pintu karena takut hal seperti tadi kembali terulang. Di mana saat mereka membicarakan hal penting dipergoki oleh orang tua Bella. "Gimana nih, Guys? Gue enggak mau pindah. Sekalipun enggak ada masalah ini, gue juga enggak akan pindah. Gue udah terlalu nyaman, apalagi ada kalian." Luna menatap sahabatnya dengan wajah yang menahan tangis. Di dalam benaknya, dia sama sekali tidak ada pikiran untuk pindah kampus. Bukan masalah uang yang sudah dikeluarkan, tetapi s
Read more
13. Ketakutan Bella
Bella terenyuh mendengar ucapan Mamanya. Dia semakin merasa bersalah karena sudah melakukan dua kesalahan. Yang pertama, tidak menuruti permintaan kedua orang tuanya dan yang kedua, membuat mereka khawatir. Argh! Kenapa dia harus terjebak di situasi yang membuat hatinya dilema? "Tante, enggak usah khawatir, Davin sama yang lain pasti jagain Bella," ucap Davin meyakinkan. Ayah Shafi menatap anaknya dengan sorot mata yang menajam. "Harus! Kalian berdua, Davin dan Galih wajib jagain yang cewek. Anggap aja kalian lagi menjaga bunda." Kedua laki-laki itu mengangguk tegas. Ini sudah menjadi tugas mereka, apalagi keadaan sekarang sedang tidak baik. Tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa. Entah mereka semua ikut menjadi korban atau hanya salah satu. Namun yang pasti, untuk saat ini mereka harus saling menjaga dari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Ma, maafin Bella." Bella
Read more
14. Menginap
Galih menggeleng pelan. "Gue pusing," jawabnya singkat. Mau tidak mau Davin mengambil kertas yang disodorkan Galih. Dia bisa apa, jika para sahabatnya saja tidak ada yang mau. Jika bukan karena penasaran dengan isinya, dia tidak akan mau. Karena dia sendiri juga merasa cukup pusing. "Hai-hai, aku harap kalian masih sehat sampai permainanku selesai," ucap Davin membaca kalimat yang menjadi pembuka. "Halo, Orang Gila," balas Luna yang balik menyapa dengan wajah malasnya. Davin hanya bisa mengusap dadanya sabar dengan tingkah sahabatnya itu. Ingin sekali dia memukul kepala Luna yang tidak pernah benar. Dia sudah memasang wajah serius dan ditambah dengan suasana yang menegang, eh dengan bodohnya Luna malah membalas sapaan si pelaku. "DIa memang pandai menyembuhkan rasa sakit yang dirasakan Orang lain, tetapi tidak dengan aku. Tidak terlalu terkenal bukan berarti anak baik. Aku membencinya, karena tidak ada kata teman di antara kami," lanjut Davin
Read more
15. Jawaban
Mereka yang mendengar pertanyaan Bella pun saling pandang dan menggeleng pelan dengan kompak. "Kurang tahu juga, Bel. Kita aja enggak tahu motif dia melakukan ini apa, jadi ya kita cuma bisa berdo'a aja semoga kita bukan targetnya," jawab Davin apa adanya. Di dalam hati Bella mengiyakan perkataan Davin yang benar adanya. Mereka belum menemukan petunjuk apa pun tentang si pelaku. Karena surat sebelumnya hanya berisi kata-kata tentang Alvin dan Bima. Mereka di sini hanya bisa mengikuti alur dan tidak bisa memilih. Hanya ada dua kemungkinan, target atau bukan. "Gal, lo kenapa diam aja?" tanya Luna menatap Galih dengan mata yang memerah karena menahan kantuk. "Enggak papa," jawab Galih singkat yang membuat Luna mendengkus kesal. "Kayak cewek aja lo. Ditanya kenapa jawabnya enggak papa, padahal mah ada apa-apa," ketus Luna. Galih hanya diam dengan mata menatap Luna tajam.
Read more
16. Mencari
"Ini diacak," lanjut Galih. Melihat tatapan bingung dari para sahabatnya, dia menghela napas pelan. Jika bukan karena keadaan yang mendesak, dia tidak akan mau berdiskusi dengan mereka yang cukup menyebalkan. Ternyata yang benar-benar pintar di sini hanya dirinya. "Enggak mungkin ada yang namanya iok. Ini diacak supaya kita mikir dan enggak mungkin juga sebuah clue semudah itu. Kita harus cepat, entah itu dari otak atau fisik. Karena, jika kita telat sedikit saja maka nyawa taruhannya," jelas Galih lalu mengambil napas. Tenggorokannya terasa kering karena berbicara lumayan panjang. "Kalau diacak jadi apa? koi?" tanya Luna ragu. "Itu nama ikan," sahut Maya membuat Luna tersenyum lebar. Bella terdiam dengan mata terpejam, berusaha menggali ingatannya tentang nama teman sekampusnya yang terdiri dari tiga huruf, yaitu i, o dan k. "Iko!" seru Bella membuka matanya dan tersenyum senang karena bisa menemukan nama orang itu. "D
Read more
17. Kamu Peduli Orang Lain?
Jika seorang ibu yang biasanya lemah lembut lalu angkat bicara dalam keadaan emosi, maka seorang anak tidak bisa berkutik lagi. Tidak ada yang dapat dilakukan selain diam dan mendengarkan. Sama halnya dengan Bella, sedari tadi dia hanya duduk dengan kepala menunduk. Mendengarkan semua ucapan Mamanya yang sedang marah. Bella takut jika Papanya marah, tetapi lebih takut lagi saat Mamanya yang marah. Apalagi melihat air matanya yang menetes seiring dengan bertambahnya emosi, membuat dadanya terasa sesak. "Apa yang ada di pikiran kamu, Bella? Kenapa kamu melakukan hal senekat ini?" tanya Mama Dea tidak habis pikir. Bella tidak menjawab, tetap pada posisinya yang menunduk. "Kamu pikir dengan melakukan hal kayak gini, kamu jadi jagoan? Apa kamu enggak mikirin perasaan mama sama Papa?" tanya Mama Dea lagi seraya menghapus air matanya yang tiba-tiba mengalir. Sakit rasanya saat anak yang sela
Read more
18. Luna Beruntung
"Iya, karena kalian enggak akan pulang kalau enggak penting," jawab Galih santai yang tanpa sadar menyentil hati Bunda Elsa. "Kalau sudah tahu kenapa kamu bikin ulah? Kamu tahu 'kan, kalau waktu kami sangat berharga?" tanya Ayah Ethan. Galih terkekeh kecil. "Tau. Bahkan saking berharganya kalian sampai enggak peduli sama aku." "Bicara apa kamu, Galih? Kami peduli sama kamu. Enggak ada orang tua yang enggak peduli sama anaknya," sahut Bunda Elsa dengan suara yang sedikit meninggi. Tentu saja dia tidak suka dengan kalimat yang dilontarkan anaknya itu. Bagaimana bisa, Galih berbicara dengan enteng kalau dia dan suami tidak peduli? "Bukannya pekerjaan lebih penting daripada anak?" Wajah Galih kembali datar dengan tangan terkepal. Brak! Ayah Ethan memukul meja dengan keras. "Kami bekerja juga untuk kamu. Kalau bukan karena kerja keras kami, hidup kamu en
Read more
19. Terlambat?
"Daripada Papi marah lebih baik do'ain Luna. Pi, kalau bukan karena nyawa orang lain yang sedang terancam, Luna juga enggak akan masuk ke dalam hal berbahaya gini. Sekarang, hanya kami yang bisa memecahkan kasus ini, Pi," sahut Luna panjang lebar. "Kenapa harus kalian? Ada pihak polisi 'kan yang lebih pengalaman?" tanya Mami Lila heran. Masih berat rasanya untuk membiarkan anaknya terlibat dalam hal mengerikan. Apalagi pelaku itu sudah menghilangkan dua nyawa dalam waktu dua hari. "Karena kami mempunyai clue, Mi," jawab Luna jujur. Baiklah, tidak ada cara lain selain jujur daripada orang tuanya terus menyidangnya dan itu membuat pergerakan mereka terhambat. Raut terkejut terlihat begitu jelas di wajah kedua orang tua Luna. Bahkan Papi Fathee langsung menatap mata anaknya intens, berusaha mencari kebohongan tetapi nihil. Wajah dan tatapan Luna begitu serius. "Ka - lian da - pat dari mana?" tanya Papi Fathee terbata-bata karena masih terkejut.
Read more
20. Ditabrak
Bella dan yang lain menoleh ke kanan dan kiri jalan, berharap Iko masih berada di sekitar sini. Meskipun banyak kendaraan yang lewat, tetapi tidak menyurutkan semangat mereka untuk menemukan laki-laki itu. "Vin, Iko pakai baju apa dan ciri-cirinya gimana?" tanya Maya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Pakai kemeja sama topi warna putih. Dia juga bawa tas," jawab Davin membasahi bibirnya yang terasa kering. "Ke sana aja yuk! Siapa tahu dia ke sana," ajak Luna menunjuk ke arah kanan. Tanpa membuang waktu mereka mulai berjalan ke kanan dengan perasaan yang semakin tidak karuan. Bahkan Bella melupakan pertengkarannya dengan orang tuanya dan pergi tanpa pamit. Yang ada di pikiran mereka saat ini hanya Iko, Iko dan Iko. Laki-laki pendiam yang sangat susah mereka temukan dan sekalinya bertemu, mereka justru kehilangan jejak. Brak! Suara seperti or
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status