Semua Bab AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA: Bab 41 - Bab 50
117 Bab
Bab 41
Hari ini Albany akan mengunjungi tempat pembibitan dan kebun hidroponik milik seseorang yang baru dikenalnya beberapa saat lalu. Seorang laki-laki alim yang membuat mereka langsung dekat karena kebaikannya. Sebuah rumah yang sederhana di tengah perkebunan yang terlihat pipa-pipa yang membentang ke sana-sini. Hamparan hijau di atasnya membuat pemandangan tampak asri.Albany mengucap salam pada seorang wanita paruh baya yang sedang mengurus bunga di halaman. Wanita berjilbab bergo itu menjawab salam dan menoleh. Senyum ramah terkembang di bibirnya. “Waalaikumsalam, mau ke siapa?” tanyanya ramah sembari menyimpan gunting tanaman dari tangannya ke undakan tempat bunga-bunga dipajang. “Pak Hasan-nya ada, Bu?” Albany balik bertanya. “Eeh … Nak Al. masuk sini.” Belum sempat wanita tadi menjawab, terdengar suara dari ambang pintu rumah. A
Baca selengkapnya
Bab 42
Coba aku telpon saja Om Hendro, Tante. Karena banyak sekali yang harus aku bicarakan masalah pekerjaan dengan Om Hendro,” ucap Za seraya mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya. Rita terlihat salah tingkah. Za menekan nomor kontak Hendro. Tak lama dering ponsel terdengar di ruangan itu. Za juga Rita melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas bufet jati. Wanita paruh baya itu langsung bergerak mengambil benda pipih yang tak henti berbunyi karena Za memang sengaja tak memutuskan sambungannya. “Oh, sepertinya Om Hendro ketinggalan ponselnya. Tadi dia memang sangat terburu-buru,” ucap Rita terlihat gelagapan. Za memicingkan matanya sejenak. Tidak mungkin rasanya benda sepenting itu tertinggal begitu saja di rumah. Jika pun begitu,Om Hendro pasti menyuruh orang untuk mengambilkannya. Bagi seorang pengusaha, sebuah ponsel adalah hal yang penting. Begitu pikir Za. “Apa Om tidak menyuruh orang untuk ke sini mengambilkannya?”tanya Za menyelidik. “Emh, itu … Tante kurang tau, Za. M
Baca selengkapnya
Bab 43
Za mendekat pada ayah mertuanya yang terbaring itu dan menatapnya nanar. “Om,” ucapnya pelan sembari mengelus punggung tangannya yang terasa dingin. Terasa tangan itu bergerak seiring dengan matanya yang juga terbuka. “Za,” ucapnya tak jelas. Za mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Hendro kemudian berceloteh dengan kata-kata yang tak jelas. Mata Za terpicing dengan alis yang bertaut karena berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan ayah mertuanya itu. Beberapa kata yang tertangkap Za adalah notaris, aset dan nama Al, selebihnya hanya celotehan yang tak jelas. Lalu, Hendro menyebut nama Rita dengan air mata yang menetes dari sudut matanya. Za mengangguk seolah mengerti, hanya demi membuat ayah mertuanya itu tenang. Suara klakson yang begitu dihapal membuat Hendro dan Yuyun memucat seketika. “Itu Bu Rita, Mbak,” ucap Yuyun kaget. Bibirnya gemetar ketakutan.“Sembunyi,” ucap Za dan memindai sekeliling. Dia lalu menuju sudut di ujung sebelah lemari dan berdiri dengan jantung
Baca selengkapnya
Bab 44
Keduanya mematung tanpa ada kata yang terucap. Namun, sejurus kemudian Albany tampaknya bisa menguasai diri. Dia kembali melangkah melewati wanita yang teramat dicintainya. “Mas,” ucap Za lirih. Albany menghentikan langkahnya dan sedikit menoleh ke belakang. Jika saja ego tak menguasai, ingin dia menarik tubuh kurus itu dan memeluknya erat. Namun, ego mengakar kuat menutupi hati. Albany diam menunggu kalimat apa yang selanjutnya akan keluar dari mulut sang istri. “Bisa bicara sebentar?” ucap Za masih berdiri mematung. Albany memutar tubuhnya perlahan. Sebisa mungkin dia tidak menatap wanita itu. Jantungnya seolah ingin lompat dari rongga dada, saking debarnya tak bisa dia kendalikan. “Ada apa?” tanya Albany menatap sembarang. “Kalau kamu menanyakan soal perceraian, maaf, aku belum sempat mengurusnya,” lanjutnya dengan bibir bergetar. Za membuang muka, karena hatinya justru sakit mendengar itu. Lagi pula, bukan itu yang ingin dibicarakannya. “Bu-bukan itu. Aku ingin membicarak
Baca selengkapnya
Bab 45
“Aku yang melakukannya, Mi. Aku cinta sama dia. Kalau Mami tidak yakin dengan anak yang dikandung Maria, nanti kita bisa tes DNA,” elak Hendro berusaha membela kekasihnya. “Cinta. Cinta monyet hanya akan membuatmu menderita seumur hidup. Dia hanya akan bisa morotin uang kamu. Lalu, jika nanti hasil tes DNA menunjukan jika itu bukan anakmu, apa yang akan kamu lakukan, hah? Membuangnya ke jalanan?” Wanita paruh baya itu kembali berteriak. “Pernikahanmu sudah Mami rencanakan jauh-jauh hari dengan Rita. Dia cantik, pintar dan yang paling penting dia setara dengan kita. Mami tidak mau mendengar penolakan dari kamu. Titik!” teriaknya membahana ke ke seluruh ruangan, lalu pergi meninggalkan Hendro yang duduk termenung sendirian. Ningsih—nama kecil Maria— yang menunggu di luar, tubuhnya luruh dan terisak. Hatinya hancur karena harus menerima kenyataan itu. Berulang kali dia mengelus perutnya yang tak lagi rata. Merasa ketakutan harus mengahdapi masa depan yang suram bersama benih yang tumb
Baca selengkapnya
Bab 46
Deretan rumah-rumah yang terlihat cantik. Gaya minimalis modern dengan wanra putih dan abu yang mendominasi. Mata Bu Ningsih berbinar saat marketing perumahan itu menerangkan dan menunjukan secara detail dari rumah yang ditawarkannya.“Bagus, ya, Al,” ucap Bu Ningsih. Albany yang berada di sampingnya malah terlihat melamun.“Al, Al.” Bu Ningsih menepuk lengan sang putra pelan. Lelaki itu langsung tersentak kaget.“Eh, i-iya, Bu. Ibu suka?” Albany balik bertanya.“Kalau Ibu, gimana kamu aja.” Bu Ningsih mengembalikan keputusan pada anaknya.“Baiklah, Bu, saya ambil yang ini,” ujar Albany pada wanita yang memakai rok selutut itu.Bu Ningsih tersenyum semringah, bukan karena kini dia bisa tinggal di rumah yang bagus, tetapi karena merasa bangga pada sang putra yang sudah berhasil dari hasil jerih payahnya sendiri.“Neng Za juga pasti suka,” ujar Bu Ningsih lirih.Albany melengos. Dia bahkan merasa perih saat mendengar nama wanita itu disebut.**Sudah jadi salah satu agenda Albany kini m
Baca selengkapnya
Bab 47
Laporan keuangan yang diterima Za semakin kacau. Kini produksi di perusahaan itu semakin menurun. Kekurangan modal, juga para karyawan yang sedikit demi sedikit dikeluarkan.Aset perusahaan mulai banyak yang dijual demi menutupi utang usaha juga menggaji karyawan yang tersisa.Za menekuri semua dokumen di depannya. Tadi siang dia mendapat laporan jika pihak bank akan segera menyita gedung yang selama ini Hendro ajdikan jaminan untuk pinjamannya.“Tanpa pantauan Om Hendro, perusahaan sebesar ini bangkrut hanya dalam waktu sekejap. Aku tidak mengerti, bagaimana Tante Rita bisa sekejam itu menggerogoti harta suaminya sendiri?” gumam Za.Perusahaan cabang yang dia pimpin pun mulai terkena imbasnya.“Aku harus menyelamatkan Om Hendro. Aku harus mengeluarkannya dari sana. Tapi bagaimana? Tidak mudah membawa orang sakit untuk melarikan diri,” desahnya.“Seandainya Albany mau membantuku.”Za kemudian memikirkan bagaimana caranya membawa Hendro dari rumah itu. Tentu tak akan mudah, harus menun
Baca selengkapnya
Bab 48
“Mas,” ucap Za dengan mata berbinar. Dia kemudian berlari dan menghambur pada lelaki yang berdiri mematung di ambang pintu.Bahkan tanpa malu Za mendaratkan bibirnya di bibir Albany. Tangannya melingkar di leher lelaki itu. Kaki Za bahkan berjinjit agar tinggi mereka tak berjauhan.Senyum di wajah Za terkikis perlahan, saat melihat ekspresi lelaki di hadapannya begitu dingin. Dia bahkan tidak membalas kecupannya. Za merasa heran. Tidakkah Al juga merindukan hal-hal seperti yang dia rasakan?Rasa yang sudah dia tahan sekian lama, namun sepertinya tidak mendapatkan balasan yang sama.Za mengurai tautan tangannya perlahan. Tumitnya perlahan menjejak lantai, dengan pandangan menatap dalam pada lelaki di hadapan yang matanya memicing tajam.Za mengerti jika sang suami belum mengerti tentang kenyataan jika dia sudah mengetahui kebenarannya. Dia menatap nanar pada kedua manik yang menatapnya heran.“Maaf, karena aku telah menuduhmu. Aku sudah tahu kebenarannya. Kalung itu … Ani yang telah me
Baca selengkapnya
Bab 49
Satu jam lebih akhirnya sayur asem, perkedel jagung, tempe mendoan juga ayam goreng yang kali ini tidak gosong berhasil dihidangkan. Bu Ningsih tampak semringah melihat makanan favorit sang putra tersaji di meja. Jika dulu hanya meja makan yang kecil dan usang, kali ini tempat makan mereka adalah sebuah meja makan yang cukup besar dan bagus.“Al, ayo makan,” ajak Bu Ningsih agak berteriak.Albany yang memang sudah sangat lapar sepulang dari kebun tak bisa menahannya. Apalagi wangi sayur asem juga wangi ketumbar dari tempe mendoan membuatnya menelan ludah berkali-kali.Za melirik sekilas pada suaminya yang ternyata bangkit juga dari tempat duduknya.“Ayo, duduklah di sini,” titah Bu Ningsih menarik kukrsi yang berada di samping Za. Wanita itu malu-malu melirik lalu kembali menatap kosong pada piring di depannya.“Mau Ibu yang ambilkan atau istrimu saja?” tanya Bu Ningsih sengaja. Albany terlihat kikuk.“Biar Za aja yang ambilkan, Bu,” ujar Za lalu mengambil sebuah piring dan mengisinya
Baca selengkapnya
Bab 50
Za terbangun saat sinar matahari menerpa matanya. Dia terperanjat kaget karena teringat kejadian semalam terjadi di sofa depan tv. Sudah pasti Bu Ningsih melihat tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian seadanya. Namun, rasa kalutnya agak sedikit berkurang saat melihat selimut yang menutupi dari dada hingga bawah tubuhnya. Sepertinya Albany menutupkan selimut itu dari semalam.“Nyenyak banget tidurku,” gumam Za memindai sekeliling yang terlihat sepi. Beruntung ini adalah hari Sabtu di mana kantornya libur.Bibirnya melengkung saat mengingat kejadian semalam. Rasanya begitu mudah menaklukan makhluk yang bernama laki-laki. Goda saja syahwatnya, niscaya pertahanannya akan roboh, begitu pikir Za tanpa tahu isi hati suaminya.Wanita itu bangkit sambil membelitkan selit di tubuh langsingnya. Berjalan mengendap menuju kamar yang kata Bu Ningsih adalah milik Albany saat mengobrol semalam.Za sengaja ingin menemui suaminya itu dan memberikan kecupan selamat pagi. Wanita itu menyangka jika sang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status