Semua Bab Bakti Seorang Menantu : Bab 61 - Bab 70
221 Bab
61. Pertemuan Helen dan Rahman bagian A.
Saat aku memajukan motor ke luar dari pekarangan rumah, ku lihat seorang wanita memarkir mobilnya tak jauh dari rumahku. Bahkan bisa dibilang depan rumahku, hanya saja itu masih kawasan jalan lintas kecamatan bukan pekarangan. Seorang perempuan berambut pirang dengan kacamata hitam bertengger di kepalanya, werpak jeans selutut yang talinya hanya satu di cantolkan dan yang satu jatuh hingga ke perut. "Hai, Rahman! Kapan pulang?" sapanya dengan tersenyum manis. Wajahnya cantik dan glowing, ditunjang dengan tubuh yang ideal dan high-heels tinggi. Saat pertama aku melihatnya, seperti aku melihat seorang biduan yang biasa nyanyi di acara hajatan, semacam organ tunggal. Tapi makin mendekat, aku semakin hafal siapa dia. Ya, dia Helen Puspita Devi, gadis yang dulu membuatku jatuh cinta bahkan nyaris depresi saat ia meninggalkanku demi menikah dengan pilihan orang tuanya. Aku sangat mencintainya, menjadikannya sebagai duniaku. Bukan sebentar kisah yang pernah kami rajut, hampir 3 tahun, bahk
Baca selengkapnya
62. Pertemuan Helen dan Rahman bagian B.
Rumah orang tua Mala tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya makin parah rusaknya. Hingga ada di beberapa bagian jalan yang mengharuskan istriku turun dan berjalan kaki sebentar. Setelah drama jalan rusak, kami pun sampai. Sebuah rumah sederhana yang setengahnya tembok setengah lagi bilik itu terlihat rapi dan sejuk, karena di halaman ada aneka bunga dan tanaman herbal tumbuh begitu rapi. Kaca jendela yang mengkilap menegaskan bahwa pemilik rumah ini sangat mencintai kebersihan. "Assalamualaikum, Mak, Bapak," ucap Mala seraya mengetuk pintu. "Teteh, Aa," ucap Aisyah, adik bungsunya Mala yang masih duduk di bangku SMA. Gadis itu mencium takjim tangan kakaknya juga tanganku. "Masuk, Teh, A." Ia membuka pintu semakin lebar. "Mak, Abah, Teh Mala pulang," teriaknya sambil berlalu ke belakang, guna memanggil orang tuanya. Mala masih mematung dan memejamkan matanya, dia sedang menghirup udara sepertinya. Mungkin dia sedang mencium bau rumah orangtuanya. "Yank," panggilku. "Akh, iya Ma
Baca selengkapnya
63. Pov Helen.
Pov Helen.Hatiku teriris melihat kemesraan yang ditunjukan oleh Rahman, lelaki yang masih kucintai hingga saat ini. Kalian begitu lantang mengataiku sebagai pelakor tanpa tahu bagaimana rasanya jadi aku. Mala dengan jelas menunjukan bahwa dia menang dengan senyuman ejekannya. Padahal Aku hanya menyapanya saja, tapi lelaki itu jangankan menjawab, dia malah bengong lalu tak menganggapku ada. Syalan. Awas saja! Kamu akan membayar mahal untuk ini, Man. Saat aku melihatnya tadi, ingin rasanya aku memeluknya seketika lalu menumpah segala rasa selama kami berpisah 3 tahun ini. Tapi sorot mata Rahman begitu sangat memancarkan kebencian. Tapi aku yakin, jauh di lubuk hatinya sana, masih ada cinta untukku atau mungkin hatinya masih untukku. Aku tau Rahman hanya menjadikan Mala sebagai tameng kelukaannya saat aku tinggalkan dulu. Itu semua aku lakukan sebagai bakti seorang anak pada kedua orangtuaku. Kini tugas itu telah selesai, apa yang diinginkan Ibu dan bapakku tercapai. Puluhan kontrakan
Baca selengkapnya
64. Pov Helen bagian B
"Enak banget itu yang makan," ucap bapaknya Rahman dari ambang pintu kamar Ria, sambil menatap layar televisi ukuran 40 inci yang tergantung di tembok sebelah kanan aku duduk saat ini. Beliau berdiri disana entah sejak kapan.Aku pun menoleh ke arah tv, dan ternyata sedang iklan pizza, di layar menunjukan seseorang menarik potongan pizza tersebut dan kejunya molor. Mungkin itu yang membuat bapaknya mas Rahman bilang enak. "Bapak mau makan pizza?" tanyaku dengan memandang lekat wajah tuanya. "Akh, nggak. Cuma melihat saja," sahutnya. "Lagian makanan apaan itu?" "Itu makanan italia, kebetulan di kota baru ada gerai pizza, baru buka dua Minggu lalu, kalau Bapak mau, aku belikan ya?""Akh, gak usah, jauh. Lagi pula belum tentu Bapak suka, makanan belum jelas rasanya," ucapnya sambil terkekeh. Tapi aku merasa ini adalah kesempatan terbaikku untuk mengambil hati keluarga Rahman. Tentang lelaki itu sendiri aku sudah ada planing bagaimana cara meluluhkan hatinya. Urusan utamaku masuk dulu
Baca selengkapnya
65. Pembelaan Rahman.
Pembelaan Mas Rahman. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini begitu indah. dimulai dari kejutan Mas Rahman pulang, dan dengan tanpa kusangka Mas Rahman mengajakku menemui kedua orang tuaku, yang sedang aku rindukan. Sungguh, ini adalah sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Aku memiliki suami yang sangat mengerti dan peka, tanpa harus bicara terlebih dahulu. Tapi sayang, di tengah kebahagiaan yang sedang saya rasakan, Helen menjadi momok bahagia. Apalagi sekarang mereka saling bertemu kembali, aku tidak tahu isi hati suamiku seperti apa. Sedangkan Helen sudah jelas menantangku untuk merebut Mas Rahman. Apa yang akan terjadi nanti, jika misalnya Mas Rahman sampai tergoda kembali oleh Helen? Tak bisa kubayangkan kejadian itu terjadi. Aku mengusap perut buncitku, dan anakku merespon dengan cepat, dia bergerak dengan kuat, hingga aku bekerja keras untuk ngilunya. Kutatap wajah lelapnya. Wajah tampan yang sudah menjadi candu, aku selalu suka memandangi wajahnya
Baca selengkapnya
66. Pembelaan Rahman bagian B.
"Mala! Ayo, segera siap-siap. Kita harus pergi lebih pagi, agar tidak mengantri lama," ucap Mas Rahman yang baru saja memasuki dapur. "Sebentar Mas, aku buat kopi buat kamu dan menyelesaikan ini dulu," sahutku sambil tanganku semakin cekatan membolak-balik nasi. Serta memberinya bumbu dan kecap. "Mau kemana kalian?" tanya Ibu. "Mau ke Bank, Bu," sahut mas Rahman."Ngapain?" "Mau ngajuin pinjaman," jawab Mas Rahman pelan. "Buat apa? Bikin rumah? Kamu gak mau ngurusin Ibu bapakmu lagi, Rahman?" Pertanyaan Ibu membuat suamiku terdiam dan menunduk. "Bukan begitu, Bu." "Biarkan mereka mengurus hidupnya sendiri, Mirah. Ingat! Rahman sudah mempunyai istri. Artinya tanggung jawab dia sebagai suami akan dipertanyakan jika terus-menerus tidak mandiri," ucap Bapak dari arah belakang. "Rahman tetap tanggung jawab kok. buktinya, keperluan rumah ini separo dari gajinya dia, kalau ngandelin kamu, mana cukup!" sentak Ibu dengan amarah yang sepertinya akan meledak. "Ini pasti gara-gara kamu,
Baca selengkapnya
67. Pov Rahman bagian A.
POV Rahman.Sungguh, aku tak habis pikir dengan kelakuan Mbak Susan dan juga Ibu. Sebegitu bencinya mereka terhadap istriku? Apa salahnya Mala pada mereka? Aku terkadang malu dan bingung dengan sikap Ibu kepada Mala. Aku tidak bisa mengabaikan istriku. Aku pun tidak bisa mengabaikan Ibuku. Tapi Ibu selalu saja membuat masalah, aku kasihan pada Mala, yang selalu saja di pojokan, yang selalu saja disalahkan. Ditambah dengan Mbak Susan tinggal di rumah ini. Malah menambah beban pekerjaannya Istriku saja. Mala itu lagi hamil, ada janin yang harus dijaganya. "Apa Mbak Susan selama ini selalu mengandalkan kamu untuk mengurusi suaminya?" tanyaku pada Mala yang tengah menunduk menikmati nasi goreng buatannya. "Ya, mau bagaimana lagi, Mas. kan Mbak Susan kerja. Dinas malam, dia pulang pagi-pagi langsung tidur. Akhirnya, ya urusan Bang Rahmat sama Wulan jadi tanggung jawabku. Lagian kalau bukan aku siapa lagi? Mana tega aku membiarkan Ibu mengurusi mereka. Aku mengurusi rumah ini saja, Ibu ma
Baca selengkapnya
68. Pov Rahman bagian B.
"Banyak sekali itu. Itu untuk angsuran berapa puluh tahun? Kamu harus hati-hati dengan pinjam-meminjam, meskipun jaminannya adalah gajimu. Kalau saran Bapak sih, kamu ngambil secukupnya saja untuk rumah. Biar yang lain-lainnya nanti nyicil saja. Jangan sampai, kau gadaikan Sk-mu itu, hingga pensiun. bisa-bisa nggak akan sejahtera hidupmu, Man," tutur Bapak sambil memandangku. Ada gurat kekhawatiran di tatapan mata Bapak. "Iya, Pak. Rahman juga nanti mau mempertimbangkan angsurannya. Agar bisa terpenuhi dengan baik. begitupun untuk kebutuhan Rahman sehari-hari. karena Rahman kan, tidak bisa lagi mengajar seperti waktu masih nge-honor. Tapi nanti, Rahman akan membuka les privat lagi di rumah. Kayak dulu, untuk mencari tambahan. Tapi untuk saat ini sih, Rahman masih fokus mengajar satu Sekolah karena Rahman guru baru diangkat. Pelan-pelan nanti kalau sudah mengenal warga di sana, Rahman juga akan membuka les seperti dulu di sini," ucapku pada Bapak."Bagus pemikiranmu, Man. kita sebagai
Baca selengkapnya
69. Gagal cair bagian A.
Gagal cair."Mau kemana kalian?" tegur Bu Samirah. "Mau ke bank, Bu." jawab Rahman dengan cepat. "Ibu ikut, tungguin, ucapnya ketus, saat melihat, menantu dan anaknya telah bersiap pergi. Rahman dan Mala saling tatap melihat tingkah wanita yang paling tua itu, kini berubah bak tak ingin kalah saing dengan Mala. Rahman memberi isyarat pada Mala dengan memainkan matanya. Tapi Mala, malah mengendikan bahunya menandakan ia pun bingung. "Mau ngapain, Ibu, ikut?" tanya Rahman, yang segera menyusul ke kamar ibunya. "Kenapa? Kamu tak suka, wanita tua ini ikut?" jawab ibunya sambil berkacak pinggang pada Rahman."Bu—bukan begitu, Bu." Rahman kini makin bingung, bagaimana cara menjelaskannya pada ibunya. Karena mereka akan pergi hanya menaiki motor. Lalu, jika ibunya ikut, masa iya harus bonceng tiga. Rahman menggaruk tengkuknya yang tak gatal sedangkan Mala kembali duduk di tepi ranjang. "Pak, Ibu mau ke bank, ikut sama Rahman," pamitnya dari ambang pintu tengah. Pak Manto yang sedang me
Baca selengkapnya
70. Gagal cair bagian B.
"Mertuamu tahu?" Bu Samirah kembali bertanya. Membuat wanita disebelahnya yang ditanya sejak tadi mulai jengah. "Apa urusannya dengan mertua saya, Bu. Ini kehidupan rumah tangga saya dan suami. Berarti apapun di dalamnya adalah urusan kami berdua," ucapnya dengan ketus dan tatapan tajam. Membuat Bu Samirah mencebik. "Mertuamu itu surganya suamimu, tidak bisa kamu durhaka seperti itu," tegasnya. "Durhaka dalam hal apa ya, Bu? Karena saya mau merenovasi rumah orang tua saya? Asal Ibu tahu, ya! Seorang suami tidak akan masuk surga, jika tidak memuliakan istrinya. Sudah jelas ada hadistnya," ucapnya dengan sengit. "Terserah deh," Bu Samirah akhirnya tak mau bertanya lagi, ia sedikit malu dengan ucapan wanita di sebelahnya yang sedikit kencang, hingga ada beberapa orang yang menoleh kepadanya. Dan ia pun tahu dengan apa yang dikatakan oleh wanita muda itu. Rahman pun mendengarkan percakapan antara ibunya dan pengantri lainnya. Tapi ia lebih memilih diam saja daripada terjadi huru-hara.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
23
DMCA.com Protection Status