Semua Bab Bakti Seorang Menantu : Bab 41 - Bab 50
221 Bab
41. Drama Helen bagian A.
"Mala, kamu beneran gak mau makan?" Aku tersentak saat tiba-tiba Helen ada di depan kamarku dengan pintu kamar yang dibuka terbukanya. "Gak sopan, buka kamar orang tanpa ketok pintu," sungutku kesal. "Lah, apa yang mau ku ketok, pintunya aja udah kebuka hanya kudorong sedikit. Lagian aku kesini mau ngajak kamu makan. Nanti dikira gak diajakin, ngadu sama suamimu lalu aku dan mertuamu yang salah," katanya tanpa dosa. Membuat aku langsung emosi. Entahlah melihat wajah si pirang ini, bawaannya pengen aku garuk aja sekalian. "Aku gak suka makan, sukanya kamu enyah dari sini, dari kehidupan keluarga suamiku! SELAMANYA" "Lah, kenapa kamu Ngamuk? Aku datang baik-baik, ngajak kamu makan, dibalas ke gini. NGGAK SOPAN!" ucapannya dengan delikan mata yang tajam."Halah, gak usah MUNAFIK! situ datang membawa bencana, dasar LICIK! Apa nggak ada lelaki lain yang bisa kamu kejar lagi, selain suamiku?" Aku mencebik dengan meremehkan."Hahahahaha. Baiklah, karena kamu sudah tahu tujuanku sebenarn
Baca selengkapnya
42. Drama Helen Bagian B.
Halah ni manusia lama-lama beneran harus ku jambak rupanya, dia yang nantangin, aku pula yang disalahkan. Sudah cocok si pirang ini jadi pemain sinetron Ind*siar yang setiap harinya menangis terus. Meski aku disini belum disayangi sama Ibu, serta masih mendapat kata-kata pedas, mendapat hinaan dari keluarga suamiku. Setidaknya aku tidak cengeng dan tidak menangis. Aku mampu melawan siapapun! Aku berani melawan siapapun! Kecuali Ibu. Kenapa? karena Ibu adalah yang melahirkan Mas Rahman suamiku. Beliau surganya suamiku. Dan orang tuaku pun berpesan, tidak boleh membalas kejahatan orang sama kita kalau itu masih batas wajar, biarkan saja. Selama perkataan dan perlakuan Ibu tidak membahayakan diriku dan kehamilanku, aku pasti akan tetap menghormati dan menghargai Ibu. Tapi lain hal jika ketidaksukaannya padaku telah melewati batas dan membahayakan keselamatan ku, maka aku pun tidak akan diam saja, meskipun Ibu adalah wanita yang melahirkan Mas Rahman tapi jika mengancam keselamatanku, ak
Baca selengkapnya
43. Rencana Rahman bagian A.
"Gimana rencanamu selanjutnya, Man? Apa kamu akan mengajak Mala kesini?" tanya Arif yang siang itu sedang berkunjung ke kosan Rahman, guna bertanya dimana Rahman akan mengajar nantinya. "Belum tahu. Aku bingung, Rif, karena ternyata aku dapatnya juga tempat di pinggir kota, yang memang akses untuk kondisi Mala saat ini agak repot. Ya, karena kan Mala lagi hamil dan perjalanan pun cukup jauh. mungkin nanti setelah melahirkan akan ku rencanakan lagi," jawab Rahman, pandangannya jauh ke luar sana, antara rindu dan was-was dengan keadaan Mala yang sedang hamil dan mereka berjauhan."Tapi, meski Mala disana pun, Man. kamu kan masih bisa pulang kalau libur sekolah. Apalagi jarak dari sini ke kampung halamanmu tidak begitu jauh, bisa ditempuh dengan jarak 5-6 jam perjalanan, hanya nyebrang saja. jadi kamu bisa pulang kapanpun kamu mau, lagian sekolah kan hanya dari senin sampai hari Jumat, kamu masih bisa kok 1 bulan atau 2 bulan sekali pulang," ucap Arif."Iya sih, tapi aku khawatir dengan
Baca selengkapnya
44. Rencana Rahman bagian B.
"Cariin, Man, yang kayak istrimu itu. biar tidak banyak menuntut. Aku sungguh trauma melihat kehidupan rumah tangga kakakku, gaji berapa puluh juta pun selalu saja kurang," ucapnya. Akhirnya mereka tertawa bersama. Mereka menghabiskan waktu hingga sore hari, dengan hanya mengobrol seputar kuliah mereka dulu, pekerjaan yang akan Rahman hadapi, pekerjaan Arif yang sedang dilakoninya. Dua sahabat itu nampak dekat sekali. Hingga akhirnya Arif pamit karena hari berangsur senja. Sepeninggal Arif, Rahman bergegas mandi dan bersiap untuk ke masjid melaksanakan sholat berjamaah. Dari dulu, Rahman tidak suka sholat di rumah, karena kebetulan rumah orang tuanya pun tidak jauh dengan masjid, maka sekarang pun jadi kebiasaan meski jarak kosan dan masjid lumayan jauh. Ia selalu berusaha berangkat lebih awal agar tak ketinggalan berjamaah.Rahman sangat bersyukur memiliki teman sebaik Arif dan istri seperti Mala. Setidaknya hidupnya sekarang ada andil kedua orang terdekatnya itu, tentunya selain d
Baca selengkapnya
45. Like Mother like girl bagian A.
Part 24. Like Mother, like girl."Ingat, Mala. Anak laki-laki meski sudah beristri tetap milik ibunya," ucapnya dengan tegas. "Iya, Bu," sahutku menyetujui apa katanya. Biar apa? Biar cepat kelar omelannya. Aku malas berdebat dengan Ibu sepagi ini."Mala mau ambil uang belanja dulu. Mau Ibu atau aku yang belanja?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Halah, kamu mau kabur, ya? Takut Ibu omelin?" ucap Ibu dengan suara yang keras, tapi aku tidak memperdulikannya aku tetap masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar untuk mengambil uang belanja. "Anak jaman sekarang kalau di bilangin ngeyel. Mentang-mentang yang nanya nenek-nenek begini," omelnya lagi. Ibu memang pantang menyerah dalam hal mengomeliku. Selalu ada saja kata-kata untuk menghinaku, menyebut aku dengan segala macam kata. Mulai dari aku miskin, aku tidak berpendidikan, aku tidak layak untuk anaknya, padahal dari awal menikah mas Rahman belum memberiku apa-apa. Kebahagiaan atau pun harta benda, tapi segitu angkuhnya Ibu p
Baca selengkapnya
46. Like Mother like girl bagian B.
"Aku penulis lho, Mal," ucap Tika."Penulis apa?" "Cerbung," ucapnya. "Apa itu cerbung?" "Cerita bersambung, samacam novel. Aku nulis perhari satu part, dan aku up di aplikasi novel online," terangnya. Tapi aku tetap tidak mengerti dengan penjelasan Tika. "Aku boleh belajar?" tanyaku. Tika mengangguk dan mempersilahkan aku untuk datang kerumahnya kapan saja. Tika bilang setiap bulan dia dpt 1-2 juta rupiah dari dua aplikasi. bukan lumayan lagi itu mah. Tak terasa kami sudah sampai ke tukang sayur, disana sudah banyak ibu-ibu yang akan berbelanja. Dan si pirang juga kebetulan ada disana bersama ibunya. Mendadak lambungku mual ingin muntah dimuka si Ratu drama itu. "Eh, Mala. Bu Samirah tumben gak belanja?" tanya Bu Usman. "Iya, Bu," jawabku singkat."Sakit atau apa?" tanyanya lagi. Duh ini bestie nya Ibu, hilang sebentar aja, kaget dan panik. "Nggak, Bu Usman. Ibu sehat, mungkin lagi malas keluar?" sahutku. "Pasti si Mirah ada yang dirasa, yakin aku! Ya…sudah, hitung belanjaan
Baca selengkapnya
47. Lingkungan toxic bagian A.
"Untung anakku gak jadi nikah sama si Rahman, bisa sengsara aku," ucapnya lagi. Aku yang mendengar suamiku dihina seperti itu langsung naik darah. Ketemu jarang, sekali ketemu bikin di mintagaruk pake cangkul juga rupanya. Gak anak gak ibu, sama-sama gil* bikin emosi orang aja. Aku mengumpat dalam hati. Ku tatap wajah ibunya Helen dengan pandangan garang, aku yang sejak subuh sudah menghadapi menghadapi ibunya mas Rahman. Kini disajikan dengan orang-orangan sawah yang dipakein nyawa. Astagfirullah. "Ibu jangan menghina suamiku, ya!" ucapku dengan lantang. Emosiku rasanya ingin meledak saja. "Hah, apa? Aku menghina suamimu? Ngaca Mala, ngaca! Lalu hitung gaji suamimu perbulannya. Mana bisa mencukupi anakku yang wah," sombong. "Lah, lagian ngapain mas Rahman harus mencukupi kebutuhan anak Ibu! Istri bukan, saudara bukan, ngarang aja, Ibu ini, ya!" ucapku dengan diiringi tawa. "Iya si Ibu mah, sok aneh. Kan istrinya Rahman, Neng Mala. Ngapain mencukupi kebutuhan Helen," bela Mamang s
Baca selengkapnya
48. Lingkungan toxic bagian B.
"Dah, gak usah didengerin, nyok pulang." Tika menyeretku agar segera menjauh dari Mamang sayur. "Aku heran lho, Tik. Ini kampung di masa lalu kutukan atau apa sih? Kok, isinya orang-orang rempong semua," sungutku gak jelas. "Heh, sembarangan! Itu hanya segelintir warga saja, kebetulan ada beberapa yang suka heboh dan biang gosip, jadilah grup toxic cetar membahana," ucap Tika sambil terkekeh. "Kamu gak usah ladenin, Mal. Biar gak stroke," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Tika. Akhirnya kami berpisah karena aku sudah sampai, sedangkan Tika masih harus melewati dua rumah lagi. "Nanti aku main ya, kesana," teriakku saat Tika sudah agak jauh. "Oke, aku tunggu, jangan lupa bawa cemilan," katanya sambil nyengir. Aku pun tergelak. Kedua anak Tika sangat suka dengan kedatanganku karena pastinya setiap aku datang tak pernah dengan tangan kosong. Saat aku memasuki rumah, kudengar banyak orang di dalam, antara ruang tengah atau dari dapur. Bisa ku pastikan itu adalah Bu
Baca selengkapnya
49. Pov Rahman.
Pov Rahman. Udara pagi ini begitu sejuk, dinginnya begitu terasa menusuk tulang. Aku mempercepat langkahku agar lekas sampai di rumah. Tanah yang basah bekas hujan semalam membuat langkahku sedikit terhambat. Jalanan disini belum semuanya tersentuh aspal. Tapi ini awal perjuanganku. Kata Arif, ini kota terdekat dari sekian puluh sekolah yang membutuhkan guru baru. Ya, aku bersyukur bisa punya teman sebaik dia. Anak pejabat yang juga jadi pejabat dan mau membantuku. Benar kata orang, jangan berhenti berbuat baik. Saat kita berbuat baik pada orang lain, itu sama artinya dengan kita berbuat baik kepada diri kita sendiri. Dan ternyata sekarang aku menuai dari apa yang aku lakukan dulu. Saat masih kuliah, aku sering membantu Arif. Aku tidak tahu kalau Arif itu adalah seorang anak pejabat di kota ini, karena penampilannya yang sederhana dan juga dia tidak sombong. Aku mengetahui siapa Arif sebenarnya saat wisuda, karena Ayah dan ibunya juga keluarga besarnya datang. Dan bulan kemarin Arif
Baca selengkapnya
50. Pov Mala.
POV Mala. Matahari begitu terik, hawa panas tak bisa diredakan oleh kipas angin. Apalagi suasana rumah yang masih riuh sejak pagi membuat tingkat kegerahanku makin meningkat. Ting…. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau. " Assalamualaikum, Kak, sehat? Ibu, Bapak dan kami juga sehat," pesan dari Melani adikku. Tak terasa air mata langsung saja berhamburan keluar saat menerima pesan itu, padahal mereka pun mengabarkan bahwa mereka baik-baik saja. Ku usap air mata yang tak bisa kutahan, dan ku tekan tanda gagang telepon di aplikasi hijau milikku. "Assalamualaikum," ucapku saat melihat gambar Ibu. Ya…Allah, di usianya yang sudah renta aku bahkan belum bisa membahagiakannya. {Waalaikum salam, sehat Nak?} "Alhamdulillah sehat, Bu," ucapku sambil mengusap lelehan airmata. Aku rindu tangan tua itu, aku rindu usapan lembutnya di kepalaku. Sejak mas Rahman merantau sebulan lalu, aku belum pernah pulang menengok mereka. Karena kondisi yang tidak memungkinkan. {Syukurlah kalau kamu sehat,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
23
DMCA.com Protection Status