All Chapters of Dendam Permaisuri yang Terbuang: Chapter 11 - Chapter 20
134 Chapters
11. Tumbal Pertama Gendeng Sukmo
Gendeng Sukmo, merapalkan ajian mantra jaran goyang pada ritual sebuah malam selesai bersetubuh dengan Sawer Geni. Atas bimbingan lelaki ular api tersebut, Nyi Gendeng mampu menuntaskan ajian dalam waktu singkat. Tiga hari tiga malam dia melakukan tirakat, dan tepat tengah malam ini, dirinya untuk kesekian kali menggunakan ajian tersebut untuk memikat lawan jenis demi tumbal yang dia butuhkan untuk keabadian. Saat terbit wajar lalu ketika terbenam matahari, mantra tersebut dirapalkan Gendeng Sukmo. Tumbal ketujuh dia butuhkan sebagai syarat dari Sawer Geni yang mengatakan sebagai syarat keabadian pertama dia harus mencari tujuh pemuda. Gendeng Sukmo memerlukan ajian jaran goyang, ilmu pelet yang dia temui dalam catatan kitab Empu Jagat Trengginas untuk kelancaran memikat lawan jenis, selagi keduanya pernah berjumpa, bertegur sapa bukan hal sulit untuk melancarkan ajian jaran goyang tersebut. “Sungguh disayangkan kitab ini hanya bagian depan saja yang aku dapatkan,” keluh
Read more
12. Tipu Muslihat
Kerajaan Baskara Istana Utama sedang gaduh atas kaburnya Rengganis dari menara Istana Dingin tanpa ada jejak sama sekali membuat Raja Abra murka. Bersamaan dengan itu Senapati Khandra juga prajurit yang pergi berperang memasuki aula istana. Tidak ada penyambutan sama sekali pada pahlawan yang telah mempertahankan perbatasan. Hanya ada beberapa abdi dalem menghampiri lalu mengungkapkan murka sang raja. Dari obrolan yang terjadi, Khandra merasa sangat miris, Abra benar telah memonopoli keadaan istana. Walau dia tahu ada beberapa anggota pendukung Permaisuri Rengganis namun, lelaki tersebut tidak mungkin bisa bergerak sembarangan, banyak mata melihat. "Selamat datang para Ksatria hebat Kerajaan Baskara," ucap Ki Kastara menyambut. Khandra tersenyum, dia paham benar bahwa sanya lelaki tua tersebut pasti ikut andil dalam penggulingan permaisuri. Selir Madhavi tidak mungkin bergerak sendiri. "Ah, terima kasih atas sambutan Ki Kastara, di medan perang
Read more
13. Siasat Khandra
Seorang berjubah hitam dengan kepala tertutup tudung melompat dari atas pohon ke sebuah bangunan di Kerajaan Baskara. Sayup terdengar dentuman musik gamelan mengalun bersama tembang yang dilantunkan pesinden. Dia menyipitkan mata untuk melihat ke bawah, ke sebuah pondok. Ah benar saja, pesta penyambutan untuk kedatangan prajurit yang kembali dari medan perang. Tawa terdengar menggelegar, ada penari melenggak-lenggok nan gemulai. Bibirnya menyeringai, kembali dia melompat lalu menengok ke arah sekeliling. Melompat ke bawah dan masuk lewat jendela kayu ke dalam sebuah bangunan. 'Syukurlah aku bisa masuk tanpa ketahuan,' ucapnya kemudian. Lampu minyak Remang-remang menyinari sebuah kamar ukuran kecil. Hanya ada satu dipan dan meja kayu pendek di sana. Lantai beralaskan tikar dari daun pandan, sama seperti alas dipan di sampingnya. Dia kemudian meletakkan pedang miliknya, melucuti tudung dan jubah hitam miliknya kemudian merebahkan tubuh di dipan kayu tersebut.
Read more
14. Masa Lalu
Rengganis terbangun dari tidur dengan terkejut, pasalnya semalam dia berada di dekat sungai bersama Khandra. Lalu sekarang berbaring di kamar sederhana di dalam gua. Rengganis tersenyum, baru dia merasakan tertidur pulas dan nyaman. Biasanya mimpi buruk menghantui. Nampaknya kehadiran Khandra bisa menjadi sebuah ketenangan. Rengganis turun lalu gegas keluar. “Mbok Berek, ada yang bisa saya bantu?” tanya Rengganis pada wanita tua yang tengah membungkuk memasukkan kayu dalam perapian. “Selamat pagi Permaisuri, tidak perlu silakan Permaisuri duduk sambil menunggu makanan matang. “Kayana!” teriak Mbok Berek, “Ambilkan air mencuci wajah,’ lanjutnya. Tidak berapa lama Kayana datang dengan baskom terbuat dari tembaga lalu meletakkan di atas dipan kayu. “Em, anu silakan Permaisuri,” kata pemuda tersebut malu-malu. “Terima kasih, Kayana,” ucap Rengganis. “Em, anu Permaisuri,” kata Kayana lagi membuat Rengganis berhenti di tempat. “Katakan.”
Read more
15. Tali Merah Pengikat
Empu Jagat Trengginas membalikkan tubuh menghindari serangan muridnya. Dia mencabut satu rambut lalu menggoreskan pada jari, darah mengalir dari jari itu melumuri rambut “Tali merah pengikat!” teriak lelaki tua itu, dia melemparkan rambut yang kemudian berubah memanjang seperti tali merah setipis benang. Tepat mengenai sasaran tubuh Gendeng Sukmo, melilit kuat. Sawer Geni berjingkat, dia melebarkan mata melihat wanitanya tanpa daya. ‘Pak tua itu sakti juga,’ gumam Sawer Geni. “Argh, sakit!” teriak Gendeng Sukmo tubuh terasa remuk redam, dia meringis kesakitan. “Sawer Geni, tolong aku!” pintanya membuat lamunan sesaat Sawer Geni buyar. Sawer Geni melompat mendekati mereka, dia menatap ke arah Empu Jagat yang masih sibuk menarik tali yang melilit Gendeng Sukmo. tangan lelaki tua itu terulur ke depan, mengepal seperti memeras. Lelaki itu mengeluarkan tenaga dalam kemudian memutar tubuh, sebuah cahaya merah, gumpalan api melesat ke arah Empu jagat. Empu Jagat mengguna
Read more
16. Pedang Sawer Geni
Empu Jagat Trengginas memandang ke arah danau yang tidak jauh dari air terjun. Kedua tangan terentang, mantra dia lantunkan, tiba-tiba bumi berguncang seperti gempa. Empu Jagat Trengginas bergeming guncangan dahsyat tersebut tidak membuatnya beralih tempat, dia mengentakkan kaki kanan ke tanah di dekat danau.Blar! Blar! Pyash! Byur! Tras! Tanah seperti terbelah, air danau masuk ke dalam belahan tanah tersebut. kemudian Empu Jagat Trengginas kembali mengentakkan kakinya beberapa kali, tanah yang telah kering itu seperti naik membentuk bukit kecil. Kedua tangan menyatu ke depan, terlihat sebuah cahaya biru menyembul di tengah. Empu Jagat melempar ke arah danau kering. Blar! Cahaya biru tersebut menjadi percikan api biru. “Uhuk!” Empu Jagat Trengginas kembali, muntah darah, kali ini lebih banyak, tubuhnya lemas, dia tersungkur ke tanah. “Celaka, tenagaku sudah terkuras habis!” Lelaki tua tersebut mengatur napas yang putus-putus. Bersamaan dengan itu, tanah kembali
Read more
17. Madhavi Menggoda Khandra
Kerajaan Baskara Masa lalu memang akan membuat seseorang tetap mengingat. Bukan berarti tidak dapat berjalan maju, hanya saja sebagai lonceng akan sebuah sebab akibat sebuah perjuangan. Begitu pun Khandra tidak mungkin dia melupakan begitu saja masa lalu. Usai pertempuran sengit antara guru dan kakak seperjuangan, Khandra tidak lagi bersua Empu Jagat Trengginas, entah ke mana lelaki tua itu pergi. 'Guru,' bisik Khandra ketika tidak sadar mengingat wajah tua berjanggut putih. Cuaca siang itu terasa panas, Khandra mengusap peluh yang membasahi kening. Dia memejamkan mata menghilangkan segala ingatan yang mampir. Dia menoleh ke arah tanah lapang tempatnya berlatih pedang. Beberapa anak buahnya terkapar tanpa daya, kelelahan. Sama seperti dirinya, napas kembang kempis. Tangannya meraih kendi yang berada di atas meja kayu. Dia meneguk airnya beberapa kali. "Senapati Khandra," panggil seorang wanita, suara terdengar mendayu-dayu bak alunan kidung indah.
Read more
18. Putri Mbok Berek yang Diasingkan
Suara langkah kaki kuda terdengar di jalan setapak. Nampak dua orang pemuda memacu kuda masing-masing melewati alun-alun kota, Khandra menoleh ke arah tengah. Di mana kepala Kanjeng Ibu yang mulai membusuk dibiarkan begitu saja oleh para penjaga. Khandra menarik tali membuat kuda berhenti, disusul kemudian Kayana. “Biadab sekali mereka!” umpat Kayana. “Jaga bicaramu, banyak lalat hinggap di sekitar!” Khandra mengingatkan sang sahabat seraya menoleh kanan-kiri. “Entah sampai kapan kepala Kanjeng Ibu akan tergantung seperti itu,” lirih Khandra. Keduanya saling pandang lalu mengangguk, mereka kembali memacu kuda ke arah sebuah kedai. “Mbok, ada ruangan kosong? Kami berdua ingin minum arak sampai mabuk.” Kayana tersenyum ketika Mbok Berek si pemilik kedai menghampiri. Mbok Berek membalas senyum, “Ada, mari ikut saya ke bilik ujung, tidak apa kan, bilik lain sudah terisi,” kata Mbok Berek. Mereka kemudian berjalan masuk, beberapa pengunjung yang tengah ma
Read more
19. Menemani Rengganis
Mengikuti Rengganis Jarak Rengganis begitu dekat dengan Khandra, lelaki tersebut masih dengan telaten mengarahkan Rengganis mengayunkan tongkat kayu. Ketika Khandra mengajarkan gerakan lebih rumit. Wanita tersebut terhuyung, dengan cepat Khandra menarik tubuh Rengganis. Pedang kayu jatuh ke tanah, tubuh Rengganis bergetar, dia terkekeh dengan napas tersengal. “Aku lelah, Khandra, astaga tidak aku sangka jika belajar berpedang sangat sulit,” ungkapnya menghela naps panjang. “Permaisuri tidak apa?” tanya Khandra, jantung lelaki tersebut berdentum saat tubuh Rengganis bergelayut dalam pelukannya. “Iya,” jawab Rengganis bangkit menegakkan tubuh. “Khandra, bisakah kau menemaniku jalan-jalan. Aku bosan,” ucap Rengganis. “Tentu, monggo Permaisuri,” kata Khandra dengan satu tangan mempersilakan. Rengganis berjalan mendahului, rambut panjang diikat ke belakang menjadi satu menari seiring langkah kaki nan gemulai wanita ayu itu. Rengganis kemudian menuj
Read more
20. Asmara Berujung Maut
Khandra melihat sekeliling, tempat tidak asing, tempat yang biasa dia lewati juga tempat di mana dia membakar jasad Gendeng Sukmo, kakak seperguruannya. Lelaki tersebut mendongakkan kepala, samar terlihat jelas kobaran api dalam ingatan. Kobaran api yang disiapkan dirinya sendiri untuk membakar jasad Nyi Gendeng Sukmo. Masih teringat jelas awal pertama Khandra melihat Gendeng Sukmo, wanita anggun nan ayu itu sangat membuat terpesona. Khandra masih amat muda ketika Empu Jagat Terengginas membawanya pergi dari Padepokan Elang Putih. Pedepokan ilmu bela diri yang terkenal di seantero nusantara. Padepokan yang menghasilkan murid-murid terbaik. Namun, tempat tersebut memiliki banyak misteri. Pemilik dari tempat tersebut selalu menyembunyikan wajah dengan cadar. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperkenankan berjumpa dengannya. Juga untuk masuk ke dalam padepokan akan dilakukan ujian ketat. Empu Jagat Trengginas mengangkat Khandra sebagai murid lantaran melihat ketangkas
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status