Semua Bab Dendam Permaisuri yang Terbuang: Bab 21 - Bab 30
134 Bab
21. Harapan Mendiang Raja Arkha
Mendiang Raja Arkha pernah menyambangi tanah seberang, mengunjungi Kerajaan Bamantara, guna bersua Raja Arutala dan Ratu Sekar Ayu. Menurut cerita turun temurun dari nenek moyang. Satu-satunya kerajaan paling damai di mana raja hanya menikah dengan satu wanita lalu menjadikan sebagai Ratu Kerajaan Bamantara. Kerajaan netral tidak memiliki musuh lantaran Kerajaan sendiri pun berjaya dan mampu mencukupi kehidupan rakyat dengan sumber daya alamnya. Hal tersebut yang membuat Raja Arkha memiliki niat baik untuk menikahkan putri semata wayangnya bernama Rengganis. Selain sebagai pernikahan politik untuk mempererat hubungan kedua kerajaan, Raja Arkha juga berharap agar Pangeran Abra, pangeran ke-2 kerajaan tersebut akan senantiasa menjaga putri semata wayangnya. Menjadikan Rengganis istri dan ratu satu-satunya. "Mendengar reputasi baik dari Kerajaan Bamantara aku tidak ragu untuk menyerahkan putriku satu-satunya untuk menikah dengan Pangeran Abra. Jadilah pasangan yang saling mencint
Baca selengkapnya
22. Awal Baru Rengganis
Ketika Abra menjalani malam panas penuh gairah dengan Madhavi. Sangat berbanding terbalik dengan Rengganis si pemilik sah Kerajaan Baskara terlihat sederhana dalam balutan pakaian warna putih dengan celana warna sama, kemudian di bagian perut diikat kain kecil warna hitam. Tanpa aksesoris dan pakaian mewah, Rengganis nampak seperti pendekar wanita, dia menjalani awal baru di tempat yang tidak seharusnya ditempati. Rengganis menatap kobaran api unggun yang dinyalakan Khandra. Saat ini, dia masih dikelilingi para ksatria menikmati langit malam bertabur bintang. “Waktu itu aku mengadakan jamuan untuk menyambut kehamilan Selir Madhavi. Meski sakit hati sekali pun lantaran wanita itu meraih cinta dari suamiku. Namun, tidak pernah ada niat di hati untuk melukai. Awalnya kami tidak apa-apa menikmati hidangan, menyesap teh di cangkir, entah bagaimana giliran Selir Madhavi yang meminum teh buatan dayangku, dia langsung tersungkur pingsan, tubuh bagian bawah mengeluarkan darah bany
Baca selengkapnya
23. Berhasil Mengelabui
Khandra mengerutkan kening, dia dan Kayana saling pandang dalam kegelapan ketika suara tidak asing tersebut terdengar. Keduanya melangkah keluar antara terkejut juga merasa aman. "Mang Damar," sapa Khandra keluar dari tempat persembunyian. "Aku kira siapa tadi." Kayana bernapas lega. Terdengar suara tawa Mang Damar dan tiga orang lainnya. "Siapa lagi yang malam-malam menyusup ke hutan, huh," kekeh Mang Damar. "Ayo segera kembali, anak buahku melihat Ki Kastara keluar dari Istana berjalan mengelilingi desa. Aku yakin dia akan ke kedai juga," ungkapnya. "Kita harus bergegas, mari!" ajak Khandra. Mereka mempercepat langkah kaki, tidak peduli semak belukar mereka terjang. Bertepatan dengan Ki Kastara masuk ke dalam. Mang Damar memberikan nampan berisi kendi tempat arak juga mangkuk batok kelapa. Khandra dan Kayana gegas masuk dalam bilik membawanya. Anak buah Khandra berdiri. Mereka berempat bergerak cepat mengganti pakaian ada per
Baca selengkapnya
24. Suasana Panas Istana Utama
Kerajaan Baskara, tepatnya istana utama, tempat raja dan abdi dalem, maupun pemangku menjalankan tugas kenegaraan. Suasana tengah memanas, emosi menjalar pada segala arah memecah belah kubu masing-masing. Pernyataan Raja Abra yang mengumandangkan Selir Madhavi sebagai bakal calon Ratu. "Mohon ampun Gusti, ini tidak bisa terjadi. Status Selir Madhavi bukan siapa-siapa di Kerajaan Baskara. Hendaknya Gusti Prabu memikirkan kembali pengangkatan Ratu. Kedudukan Raja saja bukan lagi darah daging keluarga kerajaan Baskara. Kami tidak mengizinkan jika Selir Madhavi menjadi ratu, itu melanggar aturan adat," ujar lelaki tua yang mengenakan blangkon. 'Tidak kusangka ini cukup memusingkan, aku kecolongan kurang memahami seluk beluk kerajaan ini. Terlebih Ki Chandra adalah kerabat mendiang Raja Abra. Akan sangat berbahaya jika aku melakukan hal bodoh,' umpat Abra dalam hati. "Gusti Prabu Abra, sungguh kami mengharapkan Gusti Prabu jangan bertindak gegabah. Bersikap la
Baca selengkapnya
25. Mencari Rengganis
Raja Abra masuk ke dalam kamar Selir Madhavi dengan wajah merah padam menahan marah. Rahangnya mengeras, tangan kanan meraih pakaian kebesaran bagian bawah yang panjang. Selir Madhavi yang menunggu dengan wajah gembira lantaran sebentar lagi dia akan dinobatkan sebagai Ratu tidak henti riang. Namun, senyum itu lenyap bersamaan Abra masuk dalam kamar. “Kakang Prabu!” panggil Madhavi, “apa yang terjadi?” tanyanya. “Para tetua dan juga kerabat mendiang raja menyudutkan kita,” ujar Abra. Madhavi mengernyit, “Maksud Kakang Prabu?” tanya wanita tersebut berjalan mendekat. Abra menghela napas panjang dan berat, rasanya emosi meluap luruh seketika melihat wajah Madhavi, bagikan air yang menyiram api, memadamkan. Begitu juga kehadiran Madhavi di sisinya. “Mereka mempersulitmu menjadi ratu,” lirihnya. Lelaki tersebut menyentuh pipi sang selir yang nampak terkejut atas jawabannya. Mau tidak mau dia menceritakan apa yang terjadi di ruang rapat Istana Utama.
Baca selengkapnya
26. Kebengisan Para Prajurit
Mbok Berek dan Rengganis diikuti Kayana masuk ke dalam kampung, mereka menuju pasar guna membeli keperluan makan yang telah habis. Rengganis merasa terhibur melihat keramaian, baru kali ini dia mengunjungi pasar. Banyak penjual menjajakan dagangan dari hasil panen. Rengganis melihat beberapa prajurit mengiring dayang istana memasuki kawasan pasar. Mereka sangat terlihat angkuh, mengambil paksa barang dagangan orang-orang. Jika ada yang melawan, prajurit tidak segan memukul menggunakan ujung sarung pedang. perangainya begis seolah tanpa ampun, membuat Rengganis muak melihat wajah-wajah para penjilat tersebut. Rengganis ingat benar kala dirinya tengah berada di mercusuar, perbincangan para penjaga yang lebih mementingkan perut dan kesennagan mereka. Tidak ada kata kesetiaan, dikala Rengganis pasrah akan segala hal, Khandra hadir mengulurkan tangan, kepercayaan Rengganis pada para abdi mulai muncul kembali. tidak selamanya manusia serakah dan menjijikan. “Kau kurang
Baca selengkapnya
27. Tamak
Brak! Abra menggebrak meja membuat air dalam gelas tumpah. Makanan yang disajikan pun tumpah dari tempatnya. Kepala terasa panas, lelaki itu tidak bisa lagi menahan emosi, dengan kasar menyibak isi meja. Saat ini dia sedang berada di tempat makan Istana Utama di ruang pribadi khusus raja.Prang! Bruak! Perkakas dan benda makan berjatuhan ke lantai. "Sial, mengapa mereka mempersulit keadaanku. Ingin sekali aku bunuh mereka semua, setan alas!" umpat Abra menghiraukan status 'Raja' yang tersemat. Beberapa dayang menatap dengan gemetar, takut menjadi sasaran amarah Abra yang. Lelaki itu bangkit dari duduk melotot ke arah pintu yang terbuka. Ki Kastara masuk ke dalam bersama Khandra. Dia mendengkus seraya berkacak pinggang. "Kenapa dia ikut masuk?" tanya Abra menududing Khandra. "Dia anak buahku," kata Ki Kastara. "Cecunguk itu murid Empu Jagat Trengginas, ingat!" bentak Abra. 'Gawat, bagaimana jika mereka mencurigai diriku?' tan
Baca selengkapnya
28.Gadis yang Diselamatkan
Kayana melompat ke udara dia mendarat di sebuah batang pohon, menelisik ke area sekitar yang tertutup semak belukar. Suara seorang wanita minta tolong nyaring terdengar. Mata pemuda itu membeliak, melihat beberapa bandit merangsek tubuh seorang wanita. lalu mendarat dengan kaki kanan terjulur ke depan menendang salah seorang lelaki yang tengah merangsek tubuh wanita di antara tiga lelaki lainnya. Bugh! Aw! Teriakan memekik dari lelaki bermuka gahar yang ditendang oleh Kayana. Mereka berempat menoleh bersamaan ke arah si biang rusuh. “Setan alas, siapa kau yang mengganggu kesenangan kami?” teriak salah seorang berbadan tambun. “Apa yang kau lakukan pada gadis malang tersebut, heh?” cibir Kayana, dia menoleh sekilas ke arah sang gadis yang hampir telanjang bulat itu. ‘Duh Gusti tubuhnya sangat menggoda sekali,’ bisik Kayana dalam hati terpesona. Dihela napas panjang untuk menghilangkan pikiran kotor yang hinggap, ‘Hentikan pikiran mesummu Kayana,’ umpat pada
Baca selengkapnya
29. Oyot (Akar) Mimang
Asap hitam tidak kasat mata melewati para penduduk desa yang sedang panik melihat seorang gadis yang berjalan bersama mereka tiba-tiba jatuh. "Denyut nadi sudah tidak terasa, detak jantung juga berhenti. Sepertinya dia pingsan," ujar seorang wanita paruh baya. Asap hitam membumbung tinggi lalu menepi, seolah bersembunyi di dekat semak belukar. Pyash! Kepulan asap menghilang, menjelma menjadi seorang wanita nan cantik. Wanita itu tersenyum menyeringai merasa puas akan apa yang terjadi. "Gadis malang," ungkapnya menyibakkan selendang merah, yah wanita tersebut adalah Nyi Gendeng Sukmo pemilik selendang merah. Seperti angin, sosok wanita ayu itu menghilang tanpa jejak. Dalam waktu singkat wanita tersebut sudah sampai di dekat air terjun. Tubuhnya ambruk tersungkur ke tanah rerumputan. Napas tersengal, tubuh gemetar, tukang rasanya remuk redam. Namun, bukan rasa sakit yang dirasa. Wanita itu malah terbahak, tertawa lantang dengan girang. "Aku
Baca selengkapnya
30. Gendeng Sukmo Mulai Berulah
"Andai kau mau menuruti apa yang aku katakan, kau tidak akan merasakan sakit Cah Ayu," ujar Nyi Gendeng Sukmo mengibaskan selendang merah. Suara gamelan kembali terdengar, wanita itu menari mengitari tubuh sang gadis yang sudah tidak bernyawa. Sejurus kemudian jiwa Gendeng Sukmo masuk ke dalam tubuh sang gadis. Dengan tubuh baru, Nyi Gendeng Sukmo membuka mata kemudian bangkit berdiri. Dia tersenyum kemudian melompat ke dekat bukit Alang-alang. Kakinya mulai berpijak melangkah keluar, dia berdecak merasakan tubuhnya yang seperti terikat sesuatu. Ada benang merah pengikat yang mengekang. "Benang jiwa sialan!" pekiknya. "Ah, setidaknya aku bisa keluar menggunakan tubuh ini sementara. Akan kucari waktu yang tepat untuk menjerat Rengganis," keluhnya mengendus. "Raga ini berbau mayat, ini tidak akan bertahan lama, sialan!" umpatnya lagi. "Aku hanya mencium aroma wangi tubuh Rengganis, oh itu tubuh yang sangat sempurna sebagai wadah," ujar Nyi Gendeng Sukmo menyer
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
14
DMCA.com Protection Status