All Chapters of Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong: Chapter 21 - Chapter 30
71 Chapters
Bab 21 Emas Imitasi
"Tuh, kan. Makanya, jadi orang jangan sombong, Bu. Tuhan itu maha adil. Langsung deh kena karma. Udah ngerti dong, kalau karma sekarang, naik jet!" ejekku, mendekati Ibu Bang Jali, yang masih menangis."Memang si4lan, kamu! Udah jelas-jelas, liat orang kesusahan. Malah diem aja. Bukan ditolongin!" bentaknya.Udah kena karma, masih aja suka bentak-bentak orang. Begini lah, manusia yang tak sadar jika dirinya udah ditegur sama yang maha Kuasa."Minta tolong, ke kantor polisi lah, Bu. Jangan sama aku. Lagian, emas imitasi kok ditangisi!""Yang diambil, jambret, itu emas asli!" sungutnya."Lah, mana saya tau. Toh, semuanya kelihatan asli, tapi nyatanya palsu. Itu, buktinya dibuang sama jambretnya. Ya, wes. Jangan nangis, besok beli lagi. Aku mau pulang dulu, ya!" ucapku berpamitan. "Tunggu, aja. Nanti saya bakal lapor polisi. Dan kamu pasti keseret. Karena udah biarin orang tua kejambretan!" ancamnya, dengan wajah sinis.Seandainya, yang kejambretan bukan dia, pasti aku langsung menolong
Read more
Bab 22 Mantan Gagal Move On
Gagal Move on"Rani, tunggu!" Aku menghentikan laju sepeda motor saat suara seseorang memintaku berhenti. Dan ternyata, Bang Jali."Ada apa?" tanyaku jutek. Nggak biasanya dia berhentiin aku di jalan. Mana sepi lagi. Ini kali pertama dia ngajak aku ngobrol setelah kami putus. Biasanya juga, kalau ketemu wajahnya selalu kayak debcollektor nagih hutang. Nggak ada ramahnya."Ada yang mau abang omongin," jawabnya memegangi stang motorku.Hari ini, aku pulang kerja sendirian. Sinta bawa motor sendiri. Jadi, dia udah pulang lebih dulu tanpa menungguku. "Tinggal ngomong, nggak usah pegang-pegang!" Aku memukul tangannya yang sempat nangkring di stang.Kalau sampai ada orang yang melihat dia megang stang motorku, bisa-biaa mereka salah sangka. Terus aku dilabrak Ibunya sama calon mertuanya. Kan nggak banget!Apa kata tetangga? Bakal jadi kasus terviral kedua setelah mahar lima Milyar nanti. Diomongin tetangga dimana-mana. Bukannya peduli dengan omongan orang. Tapi, berisik aja gitu dengernya
Read more
Bab 23 Salah Sebut Nama
"Ya, Allah. Kamu kenapa, Nduk? Kok jalannya pincang begitu?" tanya Ibu khawatir. Ia langsung berjalan cepat mendekatiku."Ini tadi, nggak sengaja nendang besi, Bu," jawabku berbohong. Nggak mungkin aku bilang kalau semua ini ulah Bang Jali yang udah mulai menggila. Bisa panjang nanti pertanyaan dari ibu. "Lah kok bisa toh, Nduk. Besi nggak bersalah ditendang? Apa ngerasa udah kuat kayak gatot kaca? Pengen ngetes ilmu gitu?" tanya ibu sewot."Bukan gitu loh, Bu. Tadi, Rani jalan nggak lihat-lihat. Saking terburu-buru tiang warung yang terbuat dari besi, langsung kena sambar," jawabku menambah kebohongan lainnya.Kalau udah sekali bohong, pasti akan ada ke dua dan ke tiga. Hanya gara-gara satu orang. Yang rasanya pengen ku sunat dua kali. Tapi sayang, diri ini bukan bidan."Owalah. Lah ngapain kamu buru-buru? Nggak akan lari jodoh dikejar," ucap Ibu melirikku."Gunung, Bu. Bukan jodoh," ralatku."Halah, sama aja itu. Pokoknya sama-sama nggak akan lari kalau dikejar.""Iya, lah. Suka ha
Read more
Bab 24 Dilamar untuk ke Dua kalinya.
"Kamu kenapa tadi ribut sama Si Atun, Nduk?" tanya Ibu yang baru saja pulang dari acara Putri.Sudah jam lima sore. Dan aku dari tadi hanya duduk makan dan tiduran sambil menunggu ibu pulang. Setelah ribut dengan Bi Atun, aku tak lagi kembali ke acara. Karena malas bertemu dengan wanita berbisa itu."Iya, tadi Bi Atun udah keterlaluan, Bu. Ngomong yang nggak-nggak," jawabku, mengingat kejadian pagi tadi. Seandainya, meracuni orang tidak berdosa Udah kukasih, rac*n tikus dia. Biar sekalian berubah jadi tikus sawah. Jangan tikus negara. Susah soalnya, harus sekolah. "Lah, ngomong gimana emangnya?" tanya Ibu lagi, dan ikut duduk di depan TV."Gara-gara Bang Jali salah sebut nama. Bi Atun bilang kalau Rani yang ngedukuni. Makanya sampai salah dua kali. Ya, Rani nggak terima lah."Udah dibelain cuti kerja, demi datang ke acara. Eh, malah diomongin yang enggak-enggak. Kan emosi tingkat kecamatan. Udah rugi waktu, rugi duit juga, karena gaji dipotong. "Sabar, Nduk. Orang sabar jidatnya l
Read more
Bab 25 Hantaran setengah Milyar
Dari ketiga parsel yang mereka bawa. Ada satu set emas, di dalamnya. Dan satunya lagi, tak kelihatan karena hanya hiasan saja yang nampak dari luar. Ibu Bang Juna, dan kedua ibu-ibu yang membawa parsel tersebut, duduk berdampingan."Ini semua, untuk Dek Rani. Uang 200juta, satu set emas seberat empat puluh gram sebagai mas kawin, serta sertifikat kebun kelapa sawit seluas dua hektare," ucap Bang Juna memberikan seserahan itu padaku satu persatu.Ibu sampai tak bisa berkata apa-apa. Melihat begitu banyak yang diberikan oleh Bang Juna. Tak ada yang menyangka, seorang petani yang selalu di rendahkan oleh Bu Jujuk, ternyata bisa memberikan lebih banyak ketimbang anaknya yang seorang PNS.Bukan sebanyak ini juga yang kuinginkan. Berapapun itu, pasti kuterima. Ini semua terasa berlebihan."Tutup itu mulut. Lihat itu, air liurmu sampai menetes!" celetuk salah seorang Ibu-ibu, melihat Ibu Bang Jali menganga sampai menjatuhkan air liurnya."Hish, apaan sih kamu!" sewot Ibu Bang Jali mengusap
Read more
Bab 26 Pernah ditolak karena petani
"Maaf, ya Bu. Atas keributan yang barusan. Sebenarnya tadi saya udah menolak dia untuk ikut. Tapi dia memaksa," ujar Ibu Bang Juna, tak enak hati."Tidak apa, Bu. Sudah biasa lihat orang seperti dia. Nggak kaget lagi." ucap Ibu sambil tersenyum hangat.Entah sampai kapan Ibu Bang Jali itu tidak merendahkan orang lain. Usia udah tua, wajah udah keriput, kulit udah kendur, tapi masih aja memandang orang dengan sebelah mata. Seperti bajak laut. Mungkin yang namanya watak susah untuk dirubah. Setelah kepergian Ibu Bang Jali yang entah kemana. Kami semua melanjutkan acara yang sempat tertunda. Tak ada yang peduli juga dia kemana. Biarin aja, dari pada bikin rusuh. Nanti kalau tak ada orang yang mau mengantarkannya pulang, pasti dia kembali ke rumah ini lagi. "Ini semua apa nggak berlebihan, Bang?" tanyaku, saat semua sudah kembali fokus pada acara.Tak enak aja, diberi sebanyak ini. Bayangkan aja, dari uang, perhisan, sampai kebun kelapa sawit. Kalau di total, semua yang telah diberik
Read more
Bab 27 Ingin kepo, tenyata...
"Masih takut juga toh sama setan? Padahal diri sendiri udah melebihi set*n!" sindir Bude Juni sambil melirik sinis Ibu Bang Jali.Merasa tersindir, wanita bertubuh tambun itu, langsung menyambar bak api tersiram bensin, "Heh, jaga mulutmu itu! Belum pernah makan ceker gajah, hah?" bentaknya, lalu mengangkat kaki kirinya."Mau nyoba?" tanyanya marah, sambil mengarahkan kaki ke bude Juni. "Naj-is! Kaki bau terasi, begini diarahkan pula sama aku!" gerutu Bude Juni lalu mendorong kaki tersebut, hingga yang empunya kaki oleng. "Dasar wedus gembel!" makinya, lalu menjauh dari Bude Juni. "Tadi katanya nggak sudi menunggu. Sok-sokan jalan pulang. Eh, taunya malah balik lagi!" Kini giliran ibu-ibu yang lain menyindirnya.Kasihan, kembalinya ia ke sini malah kena sindir sana sini. Salah sendiri juga punya mulut nggak bisa di jaga dan sok berani. Tapi nyatanya, malah balik arah karena takut setan. Padahal, kan nggak ada setan di bambuan. Paling cuma karena dia ketakutan. Jadi, seperti nampak
Read more
Bab 28 Sindir menyindir
"Biasanya kalau gajian gini, pasti Putri ngasih gajinya sedikit untukku." Bu Samini tampak lesu saat menceritakan keluh kesahnya. Ia dan ganknya sedang duduk di warung Bude Juni.Aku yang baru saja datang ingin membeli sayuran, tak jadi melanjutkan langkah. Aku tetap di posisi ini sambil terus mendengarkan mereka ngobrol. Anggap aja, nguping."Lah, sekarang apa nggak ngasih?" tanya Bi Badriah sambil korek-korek telinga lalu diciumnya. Hih, jorok!"Jangankan ngasih gajinya. Ngasih kabar aja nggak pernah. Selama nikah, cuma sekali nelfon. Itu pun cuma nanya, berapa uang yang di dapat dari sumbangan orang yang datang ke pesta kemarin," keluhnya, lalu menjatuhkan diri ke atas meja."Mungkin mau tau, balik modal apa enggak-nya," ucap Bi Badriah menenangkan bestie-nya. Nah, kalau udah gini. Baru terasa. Kemarin-kemarin dikasih tau, ngeyel. Mentang-mentang tua nggak dengerin sama omongan yang muda. "Bukan karena itu. Putri minta dibagi dua semua uang sumbangannya. Karena, katanya selama i
Read more
Bab 29 Perkara Yang Sumbangan
Pov Bang Jali."Coba kamu tanya, sama ibumu. Berapa uang sumbangan yang di dapat dari acara pesta kemarin!" perintahku pada Putri yang baru aja selesai mandi. Sebenarnya udah dari kemarin aku gatal pengen tau jumlahnya. Tapi, karena habis pesta, nggak mungkin langsung dihitung hari itu juga. Makanya, sekarang aku harus segera tau.Enak saja, Ibu mertua ingin menguasainya sendiri. Yang pesta kan kami. Jadi, harus dibagi dua dong."Untuk apa ditanyakan, Bang?" Bukannya menuruti ucapanku, dia malah kembali bertanya.Istri, macam apa yang tak mendengarkan ucapan suaminya. Mau jadi, istri durhaka. Nggak bisa dibiarkan. Pokoknya, mulai hari ini dia harus tau posisinya sebagai istri itu, dimana. Jadi, kalau disuruh, tak payah lagi bertanya."Ya, untuk dibagi dua lah. Emang untuk apa lagi!" sahutku ketus.Percuma dilembutin. Nanti yang ada ngelunjak. Lagian, hatiku ini tak ada sedikitpun untuknya. Jadi, mungkin aku nggak akan bisa lembut sama dia."Loh, kenapa harus dibagi dua?" tanyanya la
Read more
Bab 30 Menantu atau Babu?
"Jali! Bangunkan istrimu! Udah jam empat ini!" teriak Ibu sambil menggedor pintu kamarku.Berisik sekali, masih jam 4 subuh, Ibu sudah teriak-teriak seperti di pasar. Sementara Putri, bukannya bangun, dia malah masih pulas tertidur. Apa nggak dengar sama suara Ibu yang seperti petir? "Jali! Cepat bangunkan istrimu. Sudah Jam 4 ini. Nanti dia nggak sempat masak dan membersihkan rumah!" teriak Ibu lagi."Iya, Bu. Sebentar Jali bangunkan dia dulu!" jawabku sedikit berteriak juga.Padahal suara Ibu dan suaraku sudah keras, tapi wanita satu ini tak kunjung bangun. Dasar! "Bangun, put!" Aku mengguncang tubuhnya agar dia terbangun."Putri! Bangun!" Sekali lagi kuguncang dengan agak kuat. Payah sekali sih bangunnya. Kalau tidur udah sama kayak sapi mati."PUTRI!" Aku meninggikan suara agar dia mendengarnya. Perlahan, matanya terbuka."Kamu denger nggak dari tadi aku panggil?" tanyaku, sudah tersulut emosi."Maaf, Bang. Badanku capek banget. Jadi nggak denger apa-apa," sesalnya, lalu bangkit
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status