All Chapters of Mengejar Cinta Sang Dosen Populer: Chapter 51 - Chapter 60
64 Chapters
Bab 42A Undangan
Bab 42A Undangan "Silakan diminum, Pak!" ucap Ning basa-basi. Ia mencoba memecah kekakuan. Posisi sekarang Ning menjamu kedatangan Pak Maul---papa Zen di balkon lantai atas. Sememtara itu, Eko menemani di dalam ruang yang ada kursi dan meja. "Langsung saja, Mbak...." "Haningtyas, Pak. Panggil saja Ning." Pak Maul mengernyitkan keningnya. "Sepertinya putraku dekat dengan perempuan bernama Hani. Lalu yang mana Hani?" tanya lelaki paruh baya itu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Ning tersenyum simpul. Hani memang panggilan khusus Zen untuknya. "Maaf, Pak. Zen memang sering memanggil saya dengan sebutan Hani. Sejak awal bertemu, dia memanggil saya begitu." "Hmm, panggilan yang romantis," ucap datar Pak Maul membuat Ning tersipu. "Sejak kapan kalian berkenalan? Bukankah kamu belum lama tinggal di rumah kami? Istri saya yang bercerita." "Hmm, maaf sebelumnya, Pak. Sebenarnya saya dan Zen sudah kenal sejak tiga tahun yang lalu. Zen pernah mengabdi di kampung saya." Ning menunduk,
Read more
Bab 42B Undangan
Bab 42B Undangan Hari demi hari Ning lalui dengan banyak melamun. Kerjaan terkadang kurang fokus hingga hitungan rekap dagangan sering keliru. Beruntung dua karyawannya dengan sigap membantu. Ning berdalih ingin mendaftar kuliah sehingga karyawan menggantikannya merekap. Sejatinya, ia butuh refreshing. Ia ingin menenangkan diri entah ke gunung atau ke pantai. "Halo Yuk, antar aku ke pantai bisa?" "Oke, kapan?" "Besok siang, ya. Paginya aku mau memasukkan berkas pendaftaran sama Syam di kampus sebelah." "Siap. Kok sama Syam? Mas Zen kemana? Nggak cemburu, tuh?" "Nggak, lah." "Oke. Sampai jumpa besok." Ning menghela napas panjang. Ia sendiri gamang dengan hatinya. Tidak bertemu Zen membuatnya mudah memenuhi pinta papa dan mama Zen. Namun, di sisi lain ia juga khawatir apa yang terjadi ke depannya. Sudah satu bulan lebih tiga hari janji Ning pada Zen untuk menjawab lamarannya. Ning sengaja tidak menghubungi sebelum Zen yang menghubunginya. "Apa nggak masalah kalau aku nggak mengh
Read more
Bab 43A Melupakan
Bab 43A Melupakan Tiga tahun berlalu. Ning berlari melewati koridor kampus. Ia tadi terlalu larut di toko hingga melupakan jam bimbingan dengan dosennya---Pak Hilmi. Dosen berstatus duda mempunyai satu putri berusia 5 tahun itu selalu mengingatkannya melalui pesan. "Han, lima menit lagi bimbingan. Kamu mau lulus bulan ini atau nunggu tiga bulan lagi?" Begitulah pesan Pak Hilmi. Beruntung dosen itu selalu mengingatkan Ning agar fokus menyelesaikan kuliah. Sebab di bulan terakhir, Ning lebih menyibukkan diri dengan bisnisnya. Kini bisnis keripik singkong dan oleh-oleh yang memenuhi tokonya berada di puncak kesuksesan. Selama tiga tahun, Ning bekerja keras dibantu kakak dan adiknya juga sahabatnya. Demi menyembuhkan luka yang terasa seperti jarum menancap di dada, Ning fokus kuliah dan mengurusi bisnis. Hasilnya tidak main-main, dia bisa membeli rumah yang sekarang ditempati bersama orang tua dan adiknya. Bahkan Ning bisa membantu biaya kuliah Amir di Yogya. Sementara itu, rumah di
Read more
Bab 43B Melupakan
Bab 43B Melupakan "Apa aku yang salah, Yuk?" "Ya, kamu salah. Kamu hanya mau menunggu dan menunggu. Kamu nggak mau diajak berjuang." Ucapan Ayu membuat Ning semakin menyesal. Ia bertahan dengan egonya dengan menunggu Zen yang bertanya. "Sebenarnya kamu mau menerima atau menolak, Ning?" "Aku. Hmm, aku nggak tahu, Yuk. Papa Zen menemuiku. Papa dan mama Zen tidak bisa menerima aku dan keluargaku. Makanya aku galau mau memberi jawaban pada Zen. Aku memilih diam karena ingin menjauh dari Zen. Walau sebenarnya berat aku melakukannya. "Sebelum terlambat, kamu bisa kan menemuinya. Kata Syam, Mas Zen ke Singapura besok pagi." "Ya, Yuk. Aku coba menemuinya. Aku mau meminta maaf karena membuatnya terluka untuk kedua kalinya. Hari di mana, Zen melaju ke bandara. Ning meminta Syam mengantarnya. "Syam kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau Zen mau menikah sama Mbak Vina?" "Nggak tahu, Ning. Aku pikir Mas Zen mau menikah denganmu. Dia sudah bilang mau melamarmu. Tapi sebulan kemudian dia be
Read more
Bab 44 Wisuda
Bab 44 Wisuda Tok,tok. "Masuk!" "Maaf, Pak. Saya mahasiswa yang mau diuji minggu depan. Saya bermaksud menyerahkan berkas ujian." Deg, "Kenapa mendadak jantungku berdebar. Zen, apa aku sudah tidak waras. Di mana-mana selalu melintas bayangmu." "Hmm, letakkan saja di meja," ucapnya datar dan singkat. Ning terkesiap mendengarnya. Ia hanya bisa menatap punggung laki-laki dengan rambut di kuncir. Topinya pun masih setia bertengger di kepala. "Sepertinya Bapak sedang sibuk, apa ada yang perlu dibantu?" "Tidak," timpalnya. "Baik, saya permisi dulu." Gegas Ning keluar dari ruangan yang membuatnya tidak nyaman. Aura dingin terlihat dari sikap dosen baru berpenampilan gaul itu. Terlihat dosen itu justru sibuk menata buku di almari karena baru memindahkan barang-barang. Ning sebenarnya ingin menawarkan bantuan, tetapi malah ditolak mentah-mentah. "Hufh, menyebalkan." Ning menggerutu sambil menghentakkan kaki. "Kamu kenapa, Han?" "Ckk, nggak papa, Pak. Pak Hilmi kenapa milih dosen b
Read more
Bab 45 Tetangga Baru
Bab 45 Tetangga Baru "Selamat ya, Han, atas pencapaiannya. Semoga ilmu yang kamu dapatkan berkah dan bermanfaat untuk orang banyak. Selamat juga bisnismu berkembang pesat." "Terima kasih, Pak Hilmi. Bapak sudah membimbing saya dengan baik." Hilmi mengulas senyum lalu menyalami Pak Rahmat dan Bu Romlah juga Amir. "Terima kasih Pak Hilmi sudah membimbing putri saya hingga menjadi sukses seperti ini," ucap Pak Rahmat. Berkat terapi rutin, ayah Ning bisa berjalan kembali meskipun tidak normal. Keluarga Ning bersyukur perawatan kondisi stroke untuk ayahnya tidak terlambat sehingga bisa cepat pulih sehat kembali. Ning mengedarkan pandangan, netranya sekilas melihat sosok yang mencuri perhatiannya. Ia lalu tersenyum kecut mengingatnya. "Ada apa, Han?" "Itu, dosen baru yang kemarin menolak jadi penguji, Pak. Sepertinya beliau tadi ada di kerumunan itu." "Kamu masih kesal sama beliau, Han?" "Sedikit." "Sudah lupakan saja. Beliau memang unik. Mungkin ke sini juga nyari target sama sepe
Read more
Bab 46 Minta Maaf
Bab 46 Minta Maaf"Terima kasih, Zen." Zen hanya bisa menatap punggung perempuan yang sekarang tampak cantik dan pandai berbicara di depan umum itu. Jelas, Ning masih bersemayam di hatinya. Zen menghela napas panjang. "Haruskah aku merelakanmu untuk laki-laki lain, Han?" Zen meraup wajahnya kasar, lalu melangkah masuk rumah dengan tergopoh. "Zen, siapa gadis tadi?" tanya sang papa yang memutar kursi rodanya di dekat jendela menuju ambang pintu. Zen hanya bergeming. Memilih duduk lalu menyandarkan punggungnya di kursi, kepala Zen menengadah ke atas. "Zen," ulang papanya. "Ya, Pa. Maaf, kepala Zen pusing sekali." "Siapa gadis tadi? Apa dia putri si Mamat?" Mamat adalah panggilan masa kecil Pak Rahmat oleh Pak Maul. Sejak SD keduanya adalah sahabat karib. Hingga kelulusan SMP mereka terpisah karena kepindahan Pak Maul ke kota pelajar mengikuti orang tuanya. "Dia bos keripik singkong itu, ya? Nasib Mamat memang beruntung. Kerja kerasnya mendidik anak dan juga memperbaiki kondisi ek
Read more
Bab 47 Fakta
Bab 47 Fakta"Pak Rahmat, Bu Romlah. Papa saya bersalah, papa saya telah berbuat jahat pada keluarga Bapak. Biarkan saja laki-laki tua ini menanggung dosanya. Saya malu punya papa seperti dia." "Zen!" pekik Ning dari lantai atas. Perempuan itu tergesa menuruni anak tangga sambil membetulkan pasminanya. "Apa-apaan, Zen. Mereka orang tuamu. Kenapa kamu berkata kasar padanya?!" Ning menatap nyalang Zen yang wajahnya merah padam. "Han?! Tidak ingatkah kamu apa yang telah dia lakukan padamu. Dia merendahkanmu. Memisahkan kita demi mempertahankan egonya. Papaku egois, Han." "Tidak, Zen. Papamu benar, keluargaku miskin. Tidak sepantasnya kita bersama. Kamu tidak boleh membencinya, Zen. Bukankah kamu pernah berkata padaku, huh." Ning membalikkan pernyataan Zen yang selalu terpatri di memorinya. "Jangan pernah membenci orang tua kita. Apapun keadaannya, mereka sudah mengajarkan pada kita arti hidup dan perjuangan," tegas Ning sambil menatap tajam Zen. Zen tertunduk malu. Kalimat yang dul
Read more
Bab 48 Menikah
Bab 48 Menikah "Astaghfirullah, kenapa liputan beritanya seperti ini?" "Ada apa, Mbak Ning?" Amir mendekati kakaknya untuk membantu menjawab. "Maaf, acara lamaran ini adalah lamaran kakak kami Mbak Titin dan Mas Eko, bukan Mbak Ning. Kalian salah besar." "Oh begitu? Lalu lamaran bos keripik singkong ini kapan dilakukan? Apa calonnya masih sama dengan seorang dosen yang berstatus duda?" "Maaf, itu biar kakak saya yang menjawab," balas Amir. Ning mengedarkan pandangan, netranya menangkap ada Zen dengan pakaian kemeja navy rapi dipadu celana katun warna hitam. Rambutnya sudah dipotong cepak dan jambangnya sudah dipangkas habis. Ning benar-benar melihat sosok Zen yang dikenalnya sejak enam tahun lalu. "Hmm, itu tanya saja pada laki-laki yang sedang berjalan mengenakan kemeja rapi." Dua wartawan bergegas menghampiri Zen yang tergagap karena dihadang oleh keduanya. "Maaf, Mas. Boleh tahu namanya siapa?" "Ya, saya Zen Maulana tamu di sini. Ada apa ya?" "Ah, Mas nya jangan berbohong
Read more
Bab 49 Hamil
Bab 49 Hamil "Han, gimana ceritanya kamu nggak jadi sama Pak Hilmi?" "Mau tahu apa mau tahu banget?" "Ckk, serius aku ingin tahu." "Jadi, saat itu...." Saat makan malam yang dijanjikan, Hilmi datang membawa Nastia. Ning memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. "Pak Hilmi, maaf sebelumnya. Saya tidak bisa menerima lamaran Bapak." "Kenapa, Han? Apa kurangnya saya, sampai kamu menolak?" "Bapak tidak kurang suatu apapun. Bapak sangat baik sama saya dan keluarga. Hanya saja, saya memikirkan kebahagiaan Nastia, Pak. Nastia bukan membutuhkan sosok ibu baru. Dia justru membutuhkan sosok ibu kandungnya." "Apa maksudmu, Han? Jangan bilang kalau kamu menolak saya karena mamanya Nastia." "Ya. Benar, Pak. Maafkan saya kalau salah menilai." "Apa kamu diteror mantan istri saya?" "Bukan mantan, Pak. Mama Nastia masih istri Pak Hilmi, kan?" Hilmi terkejut mendapati Ning tahu yang sebenarnya. "Iya, maksud saya sebentar lagi ibunya Nastia akan berpisah dengan saya.". "Saya mohon Pak Hil
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status