All Chapters of Suami Adikku, Ayah Anakku: Chapter 11 - Chapter 20
39 Chapters
SA - Bab 11
Mengambil keputusan untuk mempertahankan janin ini, aku sudah mengkalkulasi banyak hal. Pertama, calon bayi itu enggak salah apa-apa, dia hadir karena ulahku dan dia berhak hidup. Kedua, meski nanti akan berat, tetapi sepertinya aku bisa berusaha untuk mengurus seorang anak, sendirian. Aku punya penghasilan untuk menghidupi dia nanti. Masalah kami akan jadi bahan gunjingan orang, aku bisa mengarang cerita agar anak ini nantinya aman dan tahu kalau ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Soal yang lain, akan kucoba pelajari sesegera mungkin. Ketiga, kenapa akhirnya aku putuskan untuk memelihara calon anak ini adalah karena siapa tahu nanti dia mirip ayahnya. Kapan lagi punya versi mini dari Gatan yang bisa diatur-atur sesuka hati? Belum lagi, anak ini nanti akan sepenuhnya milikku. Enggak seperti ayahnya yang harus dibagi-bagi. Dan keempat, ini untuk Rahisa. Seperti kata Pak Naja, Rahisa pasti akan senang kalau nanti punya keponakan. Langkah pertama untuk menjaga anak ini, hari ini ak
Read more
SA - Bab 12
"Lagi hamil, ya?" Pertanyaan Ibu pemilik warung yang aku datangi, kujawab dengan anggukkan pelan, enggak bersemangat. Pagi ini, kondisiku agak kurang baik. Sejak kemarin aku enggak selera makan apa pun dan lemas. Pagi ini, aku ke warung untuk membeli beberapa bahan makanan. Siapa tahu dengan memasak menu lain, selera makan jadi sedikit membaik. Aku membeli mi putih dan satu bungkus bakso. "Biasanya Ibu hamil memang begitu. Sering lemas. Suaminya di mana?" Beberapa minggu tinggal di sini, ini pertama kalinya ada yang menanyai soal suamiku. Seperti rencana awal, aku menjawab kalau ayahnya calon anakku ini sudah meninggal. "Dia supir, Buk. Kecelakaan dan meninggal di tempat." Aku menunduk untuk menahan senyum. Semoga enggak ada malaikat yang mencatat ucapan tadi. Ibu pemilik warung itu tampak simpati. Beliau mengangguk dengan wajah iba. Usai menghitung belanjaanku, dia berkata, "Yang sabar. Kamu pasti sudah dianggap mampu mengurus anak itu sendirian, karenanya suamimu dipanggil dul
Read more
SA - Bab 13
Harusnya bisa untung besar bulan ini, karena pelanggan yang memesan ikan bertambah, aku harus kecewa dan segera merencanakan pembatalan pesanan. Hari ini aku menerima laporan kalau banyak ikan yang mati. Padahal, kata Pak Sardi, pakan, vitamin dan jadwal membersihkan kolam sudah seperti biasa. Pak Sardi bilang, kalau enggak ada ikan yang mati lagi, mungkin yang bisa dipanen enggak sampai setengah dari bibit yang disebar. Sedih sekali rasanya. Namun, apa mau dikata? Mungkin sudah nasib. "Sudah sore. Mbak mau pulang sekarang?" Pertanyaan Pak Sardi kujawab dengan anggukkan lesu. Tadi pagi aku datang dengan taksi. Jadi, sekarang pun harus pesan taksi dulu. Belum juga taksiku datang, seorang pekerja menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak panik. "Mbak, ada yang cariin. Orangnya pingsan." Aku diajak untuk ke depan. Umpatanku enggak bisa ditahan saat melihat ada mobil Gatan terparkir di dekat pintu masuk tempat budidaya ikan. Kuperiksa ke dalam, info pekerja itu ter
Read more
SA - Bab 14
Seminggu penuh aku menganggap Gatan orang hilang akal. Aku mengabaikan kehadiran, pertanyaan atau ucapannya. Seminggu ini, seperti orang aneh, dia mengikutiku. Lelaki itu datang ke tempat kolam ikan. Mengikutiku sampai rumah. Pernah menunggu sampai pagi di luar rumah. Dan terus bertanya soal siapa ayah dari anak yang aku kandung. Selama tujuh hari menganggapnya enggak ada, sore ini aku lelah direcoki. Letih juga melihat wajahnya yang kadang memasang ekspresi galak, datar dan beberapa kali terlihat sedih. Setibanya di rumah, aku menanyai Gatan. "Maumu apa? Mau ini anak Naja atau bukan, masalahmu apa?" Tatapan Gatan meredup untuk sebentar. Untuk sesaat aku seperti melihat rasa bersalah di sana. Heran, penasaran kenapa dia seperti itu, tetapi aku pura-pura enggak lihat apa pun. "Mau ini a--" "Aku bapaknya, 'kan?" Tadinya aku yang ingin melabrak dia supaya enggak merecoki hidupku lagi, kalau perlu sampai marah-marah biar dia merasa tersudut, sekarang keadaan berbalik. "Itu anak ak
Read more
SA - Bab 15
Harusnya hari ini aku menjenguk Rahi. Namun, ternyata acara penen ikan enggak bisa rampung lebih cepat, karena kami masih harus menyortir juga memilih pesanan pelanggan mana yang harus didahulukan, karena persediaan ikan terbatas.Semua pekerjaan baru bisa rampung pukul delapan malam. Aku baru akan memesan taksi, saat mendengar suara klakson enggak asing mendekat. Mataku menyipit ketika cahaya dari lampu sorot terarah ke muka.Aku sempat memejam sebentar, sebelum membuka mata dan menemukan Gatan baru turun dari mobil. Decakan langsung lolos dari mulutku."Kamu ngapain lagi?"Seharusnya aku enggak menyetujui tawarannya kemarin. Dalam pikiranku, dia sungguh mau membantu. Mungkin, dia iba atau merasa bersalah. Ternyata, lelaki itu menyimpan banyak muslihat.Kubilang, uang untuk membeli segala keperluan hamil ditransfer saja. Namun, lelaki itu mengantarnya secara langsung."Kalau aku transfer ke rekening kamu, bakal mencurigakan. Kamu mau ketahuan Inara?"Alasannya masuk akal. Namun, teta
Read more
SA - Bab 16
Perutku kenyang setelah menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Gatan. Ternyata, dia bisa memasak. Kukira, nasi goreng buatannya akan terlalu asin atau malah hambar.Gatan sibuk membereskan perlengkapan makan, aku tersenyum-senyum menontoni ombak kecil yang terus-terusan mendatangi bibir pantai. Saat mendongak, kerlip dari bintang-bintang yang bertaburan menyambut.Berkemah di tepian pantai memang sesuatu.Meski ada rasa kesal karena harus membiarkan Gatan ikut, aku berusaha enggak mengacaukan liburan ini. Kemping di pinggir pantai adalah keinginanku sejak dulu.Dulu, beberapa kali aku merencanakan melakukan hal ini dengan teman SMA. Namun, selalu ketahuan Ibu. Alhasil, karena Inara enggak boleh diajak, aku juga dilarang bersenang-senang.Ketika lulus SMA, aku sibuk kuliah, lalu setelahnya sibuk mencari uang. Enggak punya waktu untuk bersenang-senang dan jalan-jalan. Pun, Ibu masih melarang aku melakukan hal-hal yang kusukai karena enggak mau Inara cemburu.Jadinya, baru bisa dilakuk
Read more
SA - Bab 17
Belum juga pertanyaan soal dari mana Gatan tahu alamat tempat budidaya ikan terjawab, sekarang aku harus penasaran tentang dari mana Ibu tahu rumahku. Mengapa bisa wanita itu muncul di depan rumah sepagi ini, dengan wajah merah padam?"Ibu?"Gatan baru berkata begitu, aku sudah melihat Ibu berjalan cepat menghampiri. Aku tahu marabahaya sedang mendekat, jadi aku ambil ancang-ancang untuk lari. Namun, usahaku gagal.Ibu berhasil menjangkau kepala dan menarik sejumput rambutku. Ditariknya kuat, sampai aku terjatuh ke belakang, bokong menyentuh tanah, lalu nyeri mulai menyebar."Tega sekali kamu berselingkuh dengan suami adikmu, hah! Dasar perempuan liar!"Ibu memberikan pukulan seperti orang kerasukan. Tenaganya kuat sekali. Kepala, wajah, bahu, punggung, semua bagian tubuhku kena pukul. Beruntung aku masih sanggup memeluk perut dan melindungi area itu dari tepukan telapak tangan Ibu yang kencang."Lelah Ibu menasihati kamu, Anesya
Read more
SA - Bab 18
Gatan yang baru masuk langsung berdecak dengan tatapan tajam ke arah dada. Aku ikut menatap ke sana, lalu sadar kalau kancing piyama terbuka dan dadaku kelihatan. Ini pasti karena tergesa-gesa bertukar baju dan ingin cepat-cepat tidur.Setelah merapikan pakaian, gantian aku yang berdecak. Memasang wajah kesal atas kehadirannya ini. Kenapa pria itu harus datang lagi? Apa dia kurang puas melihatku harus sampai berakhir di rumah sakit karena digebuki Ibu?Dua hari lalu, aku demam sehabis dipukuli Ibu dan kehujanan. Gatan membawaku ke rumah sakit, dokter menyarankan untuk dirawat dua hari. Aku sudah senang karena sejak kemari Gatan enggak menampakkan batang hidung, eh, sore ini dia timbul."Jangan kira aku suka lihat kamu." Gatan duduk di samping ranjang yang aku baringi sembari beberapa kali berdeham. "Aku datang untuk lihat dan tahu keadaan anak aku."Aku mencibir enggak peduli. "Besok pagi aku pulang. Habis itu, tolong, jangan datang lagi."
Read more
SA - Bab 21
Untuk Anakku yang paling cantik sedunia, Anesya.Membaca selarik pembukaan surat yang ditinggalkan Ibu kemarin, aku langsung tahu jika surat ini pasti dari Rudi, ayahku. Belum apa air mata sudah jatuh bercucuran.Anesya anaknya Rudianto. Anakku. Saat kamu baca surat dari Ayah ini, pasti keadaanmu tidak sedang baik dan Ayah tidak lagi bersamamu. Pertama, Ayah minta untuk tidak terlalu banyak menangis. Anes tidak cantik kalau banyak menangis. Ayah lebih suka kalau Anes tersenyum.Ayah hanya berharap Ibumu mau membagi ceritanya dengan cara baik."Baik apanya?" sungutku seraya mengusut air mata. "Ibu bilang aku pelac*r kemarin, Ayah. Dia bilang harusnya aku dib*nuh aja pas masih dalam kandungan."Kamu memang bukan darah daging Ayah.Dadaku sesak, berdenyut nyeri, seolah baru saja ada batu besar yang ditaruh di sana. Jadi, benar aku bukan anak Ayah?Kamu sudah bersama Ibumu saat Ayah bertemu kalian. Waktu itu, sore-sore pula
Read more
SA - Bab 19
Rahisa yang sudah sadar dari koma membawa pengaruh baik untuk hidupku. Sekarang, apa-apa aku punya orang yang bisa ditanyai. Kalau aku lupa, ada yang mengingatkan. Dan kalau aku salah, ada Rahisa yang akan mentertawakan.Seperti sekarang. Perempuan yang sudah boleh pulang dari rumah sakit itu sedang terbahak-bahak sesudah melihat dan membaca wishlist yang kubuat. Dia mengataiku maniak, setelah membaca salah satu dari lima hal yang masih bisa kulakukan, meski lagi hamil."Siapa, sih, yang kasih inspirasi ke kamu, Anes? Punya keinginan kok, ya muluk tenan?"Rahisa menaruh buku catatanku ke atas kasur. Tawanya masih sesekali terdengar, saat dia mendekat padaku yang duduk bersandar ke kepala tempat tidur."Dibayanganmu, siapa yang akan lakuin wish nomor lima itu ke kamu?" Mata Rahisa memicing, aku kesal melihat sorot mengolok di sana.Aku membuang wajah. "Mana aku tahu!""Halah!" Dia mendengkus. "Aku bisa baca isi kepalamu tahu. Past
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status