Semua Bab Suami Adikku, Ayah Anakku: Bab 21 - Bab 30
39 Bab
SA - Bab 20
"Aku rasa kamu enggak perlu pindah lagi, deh."Pada Rahisa yang bicara aku memberi tatapan putus asa. Saat ini kami ada di ruang tamu rumahku. Rahisa datang satu jam lalu. Perempuan itu sudah membantu membereskan pekerjaan rumah dan memasak sejak tadi.Niat untuk pindah itu terpikirkan kemarin malam. Setelah puas menangis karena mengingat Ayah, aku mengira harus pindah lagi.Ibu sudah tahu tempat ini. Gatan juga. Bukan enggak mungkin Inara juga akan segera datang. Bisa bahaya kalau sampai Inara tahu aku hamil. Dia pasti mendesak untuk diberitahu siapa ayah bayiku.Lain denganku yang berpendapat pindah adalah jalan baik, Rahisa malah menentang."Sampai kapan kamu mau menghindar? Selama Ibu sama Gatan menyimpan ini, Inara pasti enggak akan tahu soal kehamilan kamu."Wajahku tertekuk sewaktu berbalas tatap dengan Rahisa. "Seenggaknya, kalau aku pindah, mereka enggak akan datang. Aku capek diganggu. Aku rasa butuh tenang dan fokus sama si Bayi sampai dia lahir."Bagaimana kalau Ibu memaks
Baca selengkapnya
SA - Bab 22
Rahisa masuk ke kamar saat aku baru saja hendak menutup mata. Perempuan itu memberi senyum teduh, kemudian duduk di tepian ranjang. Memeriksa suhu tubuh dengan menaruh telapak tangan di dahi, lalu menanyakan apa ada yang sakit, lalu menawarkan makanan.Dia sudah begitu sejak tiga hari lalu. Sejak aku memutuskan untuk enggak pergi dari ranjang, kecuali untuk ke kamar kecil. Rasanya aku masih enggak punya selera untuk melakukan apa pun. Semua terlihat berantakan, gelap dan suram.Bahkan, meski sangat ingin ke rumah Ayah, aku enggak berani melakukannya."Dia datang lagi," kata Rahisa pelan dan hati-hati.Mataku memicing. "Kan aku udah bilang. Enggak mau ketemu dia. Suruh dia pulang."Gatan kemari kemarin sore. Aku minta tolong Rahisa untuk mengusir lelaki itu. Aku enggak mau ketemu dia lagi. Sudah cukup urusan kami. Kalau dia memang mau bertanggungjawab soal anaknya, bisa kirim uang lewat transfer."Dia kelihatan melas banget, Nes."Aku menggeleng enggak peduli. Itu pasti hanya akal-akal
Baca selengkapnya
SA - Bab 23
Pak Sardi subuh-subuh sudah menelepon. Pria berumur itu meminta dengan sangat agar aku datang ke tempat budidaya dan mengontrol proses panen mujair seperti biasa. Tadinya, aku menolak.Dengan alasan kondisi tubuh yang masih kurang bugar, pun suasana hati yang belum juga membaik, aku menolak datang dan berkata Pak Sardi bisa mengatur semuanya sesuka hati. Namun, lelaki itu tetap membujuk."Kami di sini tahunya cuma rawat ikan, sama nganter, Mbak. Yang tahu lebih banyak itu Mbak Anes."Begitu kata beliau ketika akhirnya aku tiba di tempat budidaya pukul sembilan pagi."Apa, sih, Pak?" gerutuku sambil berjalan malas ke saung. "Kan alamat rumah makan sama pedagangnya sudah saya kasih ke Bapak. Tinggal antar ke sana."Pak Sardi menggeleng dengan senyum sungkan. "Tetap ada yang kurang kalau si Bos ndak ada."Aku memajukan bibir sembari duduk. Padahal, kalau ditilik lagi, yang paling banyak kerja itu ya mereka-mereka. Aku cuma tukang perintah dan tukang mencatat pesanan pelanggan."Hengki ma
Baca selengkapnya
SA - Bab 24
Kata Ibu, dia ketahuan oleh Inara menangis di kamar. Sayangnya, Inara juga mendengar saat Ibu meratap pada foto Ayah soal aku yang bukan anak kandung. Tersudut, Ibu akhirnya menceritakan soal asal usulku.Ditambah ... tentang kehamilan ini. Namun, pada Inara Ibu berkata aku enggak memberitahu siapa bapak anakku. Meski sedih, meski merasa disudutkan sendiri, aku tetap sedikit lega.Biar saja hanya aibku yang dipertontonkan pada Inara. Jangan borok suaminya, atau kalau enggak, perempuan itu akan mati berdiri.Beberapa hari setelah kedatangan Inara, hidupku cukup tenang. Enggak diganggu Ibu dan ... Gatan benar-benar enggak pernah muncul lagi.Sebenarnya, aku senang karena bisa sendirian. Namun, kadang-kadang ada rasa sedih yang begitu besar. Saat malam datang dan aku cuma sendiri di rumah, gelisah dan kecewa itu datang.Aku gelisah memikirkan masa depan kami. Aku dan anakku. Apa sungguh aku siap menjadi orang tua? Ini yang pertama, pun aku harus menjalaninya sendirian.Dilihat ke belakan
Baca selengkapnya
SA - Bab 25
Ini bukan pertama kali aku melihat Inara harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan selang oksigen dan jarum infus tertancap di tangan. Sejak kecil dia memang sering keluar-masuk rumah sakit. Namun, kali ini untuk pertama kalinya aku enggak bisa menahan tangis melihat itu.Dulu, aku kerap merasa disalahkan Ibu karena sakit yang Inara derita. Bertahun-tahun aku menyangkal itu, tetapi malam ini aku mengaku kalau akulah yang membuat anak bungsu ibuku itu jatuh sakit seperti sekarang.Aku masuk bersama Gatan. Berusaha enggak menatap wajah Inara, aku mendengar perempuan itu terisak ketika aku duduk di samping ranjangnya.Kepalaku tertunduk, lidah ini kelu. Di depanku, di sisi kanan Inara, Gatan juga belum bersuara. Sementara Inara yang terbaring di tengah kami masih tersedu-sedu.Semenit di sana rasanya seperti seribu tahun di kurung ruang pengap. Aku kesusahan bernapas. Ingin sekali lari, tetapi rasa bersalah menahan kakiku untuk tetap tinggal. Setidaknya, hanya ini yang bisa kub
Baca selengkapnya
SA - Bab 26
Baru tiba di rumah, aku langsung merebahkan tubuh ke sofa. Bersandar, aku menghela napas beberapa kali. Di luar cuaca enggak begitu terik, tetapi tetap saja aku lelah setelah beberapa jam menghabiskan waktu di mal bersama Rahisa.Demi merayakan tempat tinggal baru, karena akhirnya aku pindah lagi, sekalian memenuhi wishlist yang keempat, aku dan Rahisa pergi belanja seharian ini.Foya-foya dengan uang orang lain adalah keinginanku yang tercantum di daftar. Dan Rahisa membantu mewujudkan itu. Rahi meminta salah satu kartu Pak Naja dan dengan enteng kekasihnya yang kaya raya itu memberikan.Jadilah kami berkeliling mal hari ini. Aku membeli semua hal yang kuinginkan, meski belum tentu membutuhkannya nanti. Kami pulang dengan banyak tas belanjaan, tetapi bukannya senang, aku malah merasa biasa saja. Entah kenapa perasaan senang saat membayangkan akan bisa melakukan ini hilang enggak bersisa."Kok, bisa, ya, kamu enggak senang?" Pertanyaan itu aku dengar habis meneguk air yang Rahi ambilk
Baca selengkapnya
SA - Bab 27
Langkahku ragu bergerak masuk ke ruangan itu. Semua kelengkapan yang terpasang di tubuh menambah kesan menakutkan. Aku tahu tutup kepala dan baju ini demi menjaga ruangan tempat Inara dirawat agar selalu bersih. Namun, tetap saja malah menambah rasa takut.Selain alat-alat medis, aku menemukan Gatan di ruangan itu. Si lelaki terduduk sembari memegangi tangan istrinya. Dia sama sekali enggak melirik aku.Inara ternyata enggak tidur. Dia menoleh ketika aku duduk. Segaris senyum terbit di wajahnya yang pucat.Dia hanya menatapi selama beberapa menit, kemudian mulai bicara. Suaranya sedikit teredam karena ada masker oksigen yang terpasang."Maaf karena dulu aku egois. Aku hanya mementingkan diriku dan lupa sama perasaan Kakak."Inara tampak kesulitan menarik napas. Aku ingin menyuruhnya untuk diam saja, tetapi urung karena melihat dia sungguh berusaha."Menikahlah dengan Gatan setelah aku enggak ada nanti."Mataku langsung berair. Aku menggeleng penuh permohonan padanya."Aku enggak mau k
Baca selengkapnya
SA - Bab 28
Tiga Bulan Kemudian Aku meringis ketika mencoba untuk duduk, setelah membuat posisi tubuh berbaring miring. Hasilnya masih sama dengan dua hari lalu, luka bekas operasi di perut rasanya seperti terkoyak. Menyerah, aku meminta perawat untuk mengambil Damar dari box bayi dan dibawakan ke sini.Anakku sudah lahir dua hari lalu, lewat operasi, karena persalinan normal bukan pilihan tepat saat tekanan darahku tinggi.Dia laki-laki. Tampan sekali, sesuai perkiraan. Semua bagian di wajahnya meniru bapaknya. Kuberi dia nama Damar. Singkat, enak didengar dan ternyata artinya bagus. "Mulai dibiasakan untuk bangkit dari ranjang sendiri, ya, Buk." Perawat itu menaruh Damar di samping aku yang berbaring.Sudah waktunya Damar minum. Dia sudah merengek-rengek kecil sejak tadi. Daripada harus menunggu lama hingga aku bisa duduk, lebih baik dia yang dibawa ke ranjang.Pada perawat yang bicara tadi, aku mengangguk saja. Sejak kemarin, dia memang terus-terusan mengingatkan untuk sesegera mungkin bisa
Baca selengkapnya
SA - Bab 29
Ibu benar-benar enggak sudi membiarkanku hidup tenang. Kurasa, beliau memang menyimpan dendam padaku karena suaminya lebih sayang padaku. Pun, dendam itu bertambah jadi berkali-kali lipat, karena apa yang sudah terjadi pada Inara.Dari Gatan aku mendengar sesuatu yang mengerikan. Katanya, Ibu akan mengambil anakku. Damar akan dirawat oleh Ibuku, nenek yang dulu sama sekali enggak menginginkannya ada.Meski sudah kucoba menahan diri, berpikir waras dengan semua sisa akal sehat yang ada, tetap saja kemarahan merebak di dada. Enggak bisa menyalurkannya dengan teriak-teriak, air mataku tumpah.Aku menatap Gatan tajam, seolah apa yang ia katakan tadi bukan dari Ibu, melainkan juga niat buruk dia."Bukannya kalian enggak suka sama kami?"Gatan membisu."Aku udah berusaha pergi sejauh mungkin dari kalian, biar kalian enggak malu atau susah. Terus, kenapa sekarang anak aku mau diambil?"Menjauhkan punggung dari sandaran sofa, Gatan menumpu kedua tangan masing-masing di paha."Kamu lebih tahu
Baca selengkapnya
SA - Bab 30
Adanya suster Amira benar-benar membantu. Dia pandai dalam segala hal seperti, mengingatkan untuk memberi minum Damar, mengajari, membantu memandikan Damar dan menjagai Damar kalau aku ketiduran. Seminggu dia di sini, aku benar-benar suka.Bahkan, dia mau membantu melakukan hal-hal yang bukan ranahnya. Misalnya seperti sekarang. Sejak pagi Damar rewel. Enggak mau diletakkan di kasur atau box bayi. Alhasil, aku harus menggendongnya seharian, dan Amira berbaik hati membuatkan teh untuk aku minum.Sebenarnya enggak keberatan dimintai gendong terus, tetapi punggung kadang enggak bisa diajak kompromi. Pegal juga berlama-lama berdiri atau duduk."Kenapa, sih, Damar agak rewel hari ini?" Aku bertanya sembari menyusui bayi itu. Kuusap-usap pipi dan kepalanya pelan.Anak itu enggak menjawab, tetapi matanya enggak berpindah dariku. Kami bertatapan lumayan lama, kemudian aku tersenyum lebar. Aku menunduk untuk bisa mengecupi wajahnya."Mimik yang banyak, biar Damar cepat besar. Nanti, kalau ud
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status