Semua Bab Neng Zulfa: Bab 41 - Bab 50
122 Bab
Bab 40 - Rumah Makan Wonosalam
Zulfa Zahra El-FazaApa yang terjadi di masa lalu tidak dapat dihapuskan. Apa yang terjadi di masa depan tidak ada yang bisa meramal. Dan apa yang terjadi saat ini, maka itu yang harus dijalani.Gus Fatih pergi.Hari itu, pagi setelah Lu'lu'il Misri-nya bertamu, Cak Danang mencarinya untuk mengurus perihal rumah makannya di Wonosalam. Padaku ia berpamitan begitu mesranya dengan mencium keningku di hadapan Laila.Aku mencoba memperingatinya tapi Gus Fatih tak peduli. Bahkan saat Laila berdeham, deheman tidak biasa yang kesannya dibuat-buat untuk mengingatkan eksistensinya di antara kami, Gus Fatih tetap tidak menghiraukannya sama sekali.Sekali lagi ia menciumku. Lalu seharian itu, sepupu cantik Gus Fatih yang berasal dari Mesir itu pun berakhir menggodaku. Aku sampai lupa yang namanya bisa mengangkat wajah tanpa tersipu karena Laila yang terus menggodaku tiada habisnya.Seperti kata Gus Fatih saat berpamitan, ia dan Cak Danang ti
Baca selengkapnya
Bab 41 - Lebih Dekat dengan Fakta
Zulfa Zahra El-FazaSetelah melintasi meja-meja persegi panjang dengan beberapa pelanggan yang sedang menyantap makanannya di sana, kami berjalan melewati semacam lorong yang di sisi kanannya terdapat ruangan berpintu yang entah ruangan apa itu.Pintu kayu berpelitur ruangan dengan daun ganda itu ditutup sehingga tidak ada akses yang membuat mataku bisa menelisik ke dalam. Bingkai jendela yang terbuka pun tidak ada karena tampaknya memang tidak ada satu pun ventilasi berbentuk jendela di sana.Daripada lorong—yang sebenarnya terlalu luas jika disebut lorong itu, di sebelah kirinya terdapat jalan penghubung yang menurutku seharusnya jauh lebih mudah untuk dilewati jika ingin masuk ‘ke depan’. Namun karena alasan yang hanya diketahui Gus Fatih, dia mengajak kami melewati lorong itu.Berjalan lurus terus, di depan pintu kedua yang kami temui sepanjang lorong, Gus Fatih tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Ruangan kali ini terlihat lebih kecil dari
Baca selengkapnya
Bab 42 - Aneh
Zulfa Zahra El-FazaDi luar rumah makan, seorang pegawai mendatangi kami bertiga mengantar minuman.Aku tidak ingat Gus Fatih ataupun Laila memesan minuman itu sebelumnya. Tiga gelas orange squash dengan sedotan bergaris merah putih. Karena aku sendiri juga tidak memesan apa pun.“Matur nuwun, Yu.”Gus Fatih mengucapkan terima kasih kepada laki-laki pengantar minuman itu. Nametag BAYU terpasang di saku kiri kemejanya.Laki-laki bernama Bayu itu tersenyum. “Kentang goreng dan nasi kuningnya masih disiapkan di belakang, Gus,” ucapnya kemudian berjalan mundur. Persis cak-cak santri yang ada di ndalem ketika selesai menyuguhkan kudapan.“Wah, Mas tahu aja kalau aku kepengin makan nasi kuning.” Laila berbisik lirih ke arah Gus Fatih.Meja kecil yang kami duduki berbentuk lingkaran dengan tiga kursi yang kami duduki memutar. Jadi bertiga kami duduk saling bersisian. Aku bisa mendengar dengan jelas ucapan Laila.Gus Fa
Baca selengkapnya
Bab 43 - Yang Seharusnya
Kami hanya jiwa-jiwa terluka yang bertemu di saat yang tidak tepat. Namun, jauh dari kata terlambat.Semoga ….***Zulfa Zahra El-FazaDi ruangan besar yang memiliki celah masuk berupa pintu berdaun ganda, aku tidak benar-benar istirahat seperti yang Gus Fatih minta. Yang kulakukan tetap duduk di pinggir ranjang sembari mengedarkan pandang ke sekeliling.Ruangan yang menyerupai kamar itu lebih besar ukurannya dari kamar kami di ndalem, begitu pun jika dibandingkan dengan kamarku yang ada di Kediri, yang ukurannya bisa dikatakan hanya empat per lima dari luas kali lebar kamarku dan Gus Fatih yang ada di ndalem Jombang itu.Lantainya bersih mengkilap dengan warna cream—sama seperti keramik yang dipasang di luar begitu juga corak abstraknya. Hanya bagian dinding yang dicat warna berbeda. Jika di luar dindingnya dicat dengan warna putih tulang, dinding kamar ini dipoles dengan cat warna biru langit. Tinggal ditambah lukisan dinding c
Baca selengkapnya
Bab 44 - Langkah Besar Shofiya
Sidoarjo, tengah hari“Kenapa sampean melakukan ini, Gus? Secinta itukah sampean pada Neng Zulfa?” lirih, tanya Shofiya.Lawan bicaranya hanya diam.Di kamarnya, perempuan itu menatap nanar wajah samping Aji yang tengah berdiri tepat di depan lemari.Sebuah kenyataan yang baru Shofiya dapat membuat perempuan itu memberanikan diri membuka percakapan lagi dengan sang suami setelah apa yang diperbuatnya tempo hari—menjebak suaminya dengan obat tidur dan obat perangsang.Berhadapan dengan Aji yang bersikap sedingin es kepadanya membuat manik hazel Shofiya sedikit berkaca-kaca—seperti biasa, hampir menangis. Namun, jangan pernah panggil ia Shofiya Nada Hannan jika perempuan itu tidak sanggup mempertahankan cairan larikma itu dalam kedua netra.Jika di festival film tahunan yang diadakan yayasan pondoknya dulu Zulfa berperan sebagai sutradara dan Zinda mengambil peran sebagai cameraman, maka Shofiya adalah pemeran wanita terbaik yang p
Baca selengkapnya
Bab 45 - Gus Fatih, Gus Adhim, Gus Aji
Hujan turun mengguyur. Tanpa tanda. Merintik lebat meski tak deras. Di antara bungkusan hujan, mobil sedan Fatih menderum turun perlahan dari dataran yang lebih tinggi.Hari menjelang petang. Setelah mengimami salat Asar di dangau rumah makan miliknya, laki-laki itu memutuskan mengajak Zulfa dan Laila kembali ke pesantren. Namun siapa sangka, di tengah perjalanan langit tiba-tiba merintikkan airnya padahal sebelumnya tampak begitu cerah tanpa gelayut awan mendung sedikit pun.Zulfa duduk diam di samping kiri suaminya itu. Dan seperti sebelumnya pula, Laila duduk di belakang mereka di jok kursi penumpang belakang. Menyenandungkan lagu berbahasa Arab yang tidak pernah Zulfa dengar sebelumnya sembari mengutak-atik kamera guna meneliti gambar hasil jepretannya. Semacam qashidah, tetapi bukan selawat. Dari lirik-liriknya yang dapat Zulfa artikan, Laila menyanyikan lagu yang mengisahkan pasal cinta dan kerinduan.Zulfa ingin bersuara, tetapi wajah Fatih yang tam
Baca selengkapnya
Bab 46 - Percakapan Dua Saudara
“Mas.”Fatih langsung tehenyak saat seseorang tiba-tiba menepuk pelan punggung tegapnya. Di tempat berdirinya, segera saja tubuh Fatih yang kaku jadi semakin tegang memaku.“Mas nguping, ya?!”Fatih menengok.Tepat di sampingnya, sosok Laila yang sudah mengganti pakaiannya dengan gamis warna hijau berbahan katun dan pashmina hitam yang hanya disampirkan di kedua bahu mendongak menatapnya. Telinganya yang dipasangi anting-anting panjang tampak samar-samar. Gemerlapan sama seperti sinar matanya yang menggoda—menuduh lebih tepatnya.“Ora.”Fatih menggeleng sembari menyahut cepat. Terlalu cepat sampai membuat Laila semakin memekarkan senyum lebar di bibir.“Hilih.” Gadis itu memukul lengan Fatih. Tetap memasang wajah menggoda plus menuduhnya meski laki-laki yang ada di hadapannya sudah tidak menunjukkan ekspresi terkejut lagi.“Mas nguping kan …? Ngaku deh!” seru Laila lagi.Fatih menggelengkan kepalanya ke
Baca selengkapnya
Bab 47 - Peringatan Gus Adhim
Ceklek!Zulfa masuk ke dalam kamarnya setelah menemani Adhim mengobrol dan mengantar kakaknya itu untuk beristirahat ke salah satu kamar tamu.Waktu Magrib akan segera tiba dalam beberapa menit lagi dan ketika ia masuk ke dalam, kedua maniknya langsung menemukan Fatih yang sedang berdiri diam dengan tubuh bersandar di salah satu lemari, sedang awas menatapnya.“Mas.” Zulfa menyapa suaminya.Perempuan itu kemudian melepas tas selempang yang ia kenakan dan meletakkannya ke lemari besar yang memang digunakan untuk menyimpan barang-barang semacam itu: tas, sepatu, juga beberapa aksesoris. Kebanyakan masih baru dan terkemas dalam wadah, khususnya yang berjenis sepatu—beberapa merupakan hadiah pernikahan dan beberapa hadiah kehamilan.Zulfa meletakkan sepatu, sandal, pun alas kaki lain yang biasa dipakainya di rak sandal-sepatu yang ada di kamarnya. Lalu pantofel yang tadi ia kenakan untuk bepergian dengan Fatih dan Laila, perempuan itu meningg
Baca selengkapnya
Bab 48 - Cinta Pertama dan Anak Pertama
Zulfa Zahra El-Faza“Mas.” Aku menggoyangkan lengan Gus Fatih yang sekarang duduk di sampingku.“Hm,” sahutnya tanpa menoleh. Memilih tetap setia dengan kegiatannya menekuri lembar demi lembar dokumen yang ada dalam genggaman tangannya. Dokumen yang diantar oleh Cak Danang tadi bakda Isya. Katanya dokumen itu adalah dokumen yang berisi laporan penjualan dan pemutaran uang di rumah makan.Tidak tahu kenapa, aku merasa Gus Fatih banyak diam sejak dia kembali dari jemaah salat Magrib tadi. Gus Fatih tidak banyak bicara padahal aku masih ingin mengobrol banyak dengannya. Hei, pertanyaanku bahkan masih satu yang kutanyakan.Saat makan malam, Gus Fatih juga terlihat ogah-ogahan melahap makanan yang terhidang di meja makan. Bendoyo terong, ikan klotok, dan sambal ale, makanan kesukaannya, masakan yang sengaja kubuatkan untuknya selain aku yang juga memasak capcay untuk semua orang dan sayur sop ayam untuk Mas Adhim. Dua bulan yang lalu ketika kami masih
Baca selengkapnya
Bab 49 - Menyadari Sesuatu
Zulfa Zahra El-FazaSetelah perdebatan panjang, di sinilah kami sekarang. Terbuai dalam dingin dan sejuknya angin malam yang bertiup kencang.Untuk pertama kalinya Gus Fatih mengomel padaku karena keinginanku.Ah, ralat! Keinginan anak kami. Tetapi dia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti.Setelah mood swing yang kualami, aku meminta Gus Fatih mengajakku keluar jalan-jalan. Benar-benar tiba-tiba dan aku tahu ini keinginan anaknya.Pada Gus Fatih masalahnya bukan pada jalan-jalan itu sendiri, tapi pada keinginan jalan-jalanku yang memintanya memboncengku menaiki motor.“Ini malam, Cah Ayu. Tadi baru saja hujan dan udaranya benar-benar dingin sekarang. Kamu beneran mau jalan-jalan naik motor?” Begitu katanya kemudian menceramahiku panjang lebar yang intinya memintaku tetap di ndalem saja atau pergi menaiki mobil jika memang masih mau jalan-jalan bersamanya. “Kalau kamu masuk angin bagaimana, hm? Angin malam tidak baik untuk
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
13
DMCA.com Protection Status