Semua Bab Menjadi Istri Kedua Tuan Presdir: Bab 61 - Bab 70
80 Bab
Bab 61
Di siang hari yang terik dan cerah, Sebastian tiba di rumah Aruna. Mengenakan kaos hitam bertuliskan "Calvin Klein Jeans" dan celana putih, penampilannya sangat menawan dan kasual. Rambutnya yang tertata rapi dan senyum tipisnya memberikan kesan elegan dan percaya diri. Sebastian keluar dari mobilnya, sebuah Toyota Camry dengan tampilan yang cukup elegan dan sesuai untuk kalangan menengah. Cahaya matahari memantulkan kilauan halus dari permukaan mobil, menambah aura profesional dan berkelas pada dirinya.Dia melangkah keluar dengan penuh percaya diri, memandang ke arah rumah Aruna dengan tatapan tegas namun penuh perhatian. Tanpa membuang waktu, Sebastian berjalan menuju pintu rumah Aruna, siap untuk menenangkan hati wanita yang tengah dirundung kecemasan.Aruna dari dalam rumah mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Harapan langsung menyelimuti hatinya, mengira itu Bintara yang akhirnya kembali. Dengan cepat, dia bergegas menuju pintu,
Baca selengkapnya
Bab 62
Aruna membuka matanya perlahan, cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatnya mengerjapkan mata. Perlahan, pandangannya mulai fokus, dan dia menyadari dirinya berada di sebuah kamar rawat inap. Aroma antiseptik yang khas segera menyadarkannya akan tempat ini. Langit-langit putih dengan lampu fluorescent, tirai biru yang mengelilingi tempat tidurnya, dan suara mesin monitor yang berdetak pelan, semuanya mengonfirmasi bahwa dia berada di rumah sakit. Aruna merasa tubuhnya lemas, namun kesadaran penuh mulai kembali.Di sudut ruangan, Hasan berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, tatapannya tidak pernah lepas dari Aruna. Ketika melihatnya membuka mata, ekspresi lega dan senyum hangat terukir di wajahnya. Dia segera mendekat, memeriksa kondisinya dengan cekatan, namun lembut.Aruna mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Hasan menempatkan tangannya di bahu Aruna, menahannya dengan lembut tapi tegas. "Jangan terlalu memaksakan diri, Aruna,"
Baca selengkapnya
Bab 63
Lasmi tertegun mendengar ucapan Brahma, ia meletakkan tangannya di bahu suaminya.Jangan terlalu gegabah, Yah. Beban anak kita sudah cukup banyak karena masalah Rohana. Biarkan dia yang memutuskan sendiri jalan hidupnya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendampinginya.”Lasmi berusaha menenangkan pikiran suaminya. Ia tahu, suaminya tak rela bahwa anak semata wayangnya terpuruk dalam lingkaran hitam yang menyeretnya dalam kegelapan.**Di ruangan dokter yang terletak di ujung koridor rumah sakit, suasana terasa tenang namun penuh kekhawatiran. Ruangan itu berukuran sedang, dindingnya berwarna putih bersih dengan beberapa sertifikat dan penghargaan yang tergantung rapi. Sebuah meja kayu besar berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tumpukan berkas medis dan sebuah komputer. Di belakang meja, ada rak buku yang penuh dengan literatur kedokteran dan beberapa tanaman hijau yang menambah kesan hidup.Dr. Hasan duduk di kursinya, tam
Baca selengkapnya
Bab 64.
Bintara berdiri tegang di ruang tamu rumah itu, menatap Serena dan Adi Jaya dengan mata yang penuh amarah dan determinasi. Ruangan tersebut dipenuhi oleh kesunyian yang menegangkan, hanya sesekali terganggu oleh denting jam di dinding. “Serena, Ayah, aku di sini untuk membawa Rohana kembali ke ibunya,sudah terlalu lama kalian menahan Rohana di sini.” ucap Bintara dengan suara yang tegas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti palu yang menghantam baja.Serena duduk di sofa, kakinya disilangkan dengan anggun, namun sorot matanya dingin. Dia mengangkat alis dan berkata dengan nada sarkastik, “Benarkah? Dan kau pikir kami akan membiarkan itu terjadi begitu saja?”Bintara menggertakkan giginya, tangannya mengepal di sisinya. “Rohana membutuhkan ibunya. Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan.”Adi Jaya, yang berdiri di samping Serena, menghela napas panjang. “Bintara, kau terlalu keras kepala. Serena bisa memberikan kehidupan yang
Baca selengkapnya
Bab 65.
Bintara merasakan desakan dalam dadanya, menyadari kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Dengan suara yang berat dan mata yang penuh penyesalan, dia berkata, “Aku harus menjauh untuk sementara waktu dari Aruna dan Rohana demi keselamatan mereka.”Aruna menatap Bintara dengan mata yang berkaca-kaca, rasa takut dan kecewa tercermin dalam pandangannya. “Kenapa, Bintara? Kenapa kamu harus pergi lagi?”Bintara menghela napas panjang, memandang Aruna dengan kesedihan mendalam. “Serena ... dia wanita yang berbahaya. Aku sedang berusaha melepaskan diri darinya, tapi ini tidak mudah. Aku perlu waktu untuk mengumpulkan bukti dan melawannya.”Lasmi menatap Bintara dengan kerutan di dahi. “Apa maksudmu, Bintara? Apakah Serena benar-benar seberbahaya itu?”Bintara mengangguk, matanya penuh tekad. “Ya, Bu. Dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku tidak ingin Aruna dan Rohana terjebak dalam permainan berbahayanya. Aku memohon ag
Baca selengkapnya
Bab 66
Bintara membuka amplop yang Serena lemparkan di meja. Jemarinya yang gemetar mengeluarkan beberapa foto, dan pandangannya langsung terpaku pada gambar-gambar itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia mengambil satu foto dan memegangnya erat, menatap wajah yang sudah lama tak ia lihat. Sosok seorang wanita dengan senyum lembut, matanya penuh kasih sayang. Wanita itu berdiri di depan sebuah rumah tua, mengenakan daster sederhana yang sudah lusuh oleh waktu. Bintara jatuh terduduk di sofa, tubuhnya lunglai. Matanya mulai memanas dan pandangannya kabur oleh air mata yang mulai mengalir tanpa henti.Foto-foto itu jatuh berserakan di lantai, namun tangannya masih menggenggam satu foto dengan erat, seolah-olah dengan memegangnya ia bisa kembali merasakan kehadiran wanita yang telah lama hilang dari hidupnya. Air matanya jatuh membasahi foto itu, wajah wanita yang terlihat buram oleh tetesan yang terus mengalir. Bintara menundukkan kepala, dadanya s
Baca selengkapnya
Bab 67.
Bintara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Tangannya gemetar saat mengancingkan kemejanya, kancing demi kancing, seolah setiap gerakan mengingatkannya pada kesalahan yang baru saja diperbuat. Kemejanya kusut, tanda-tanda pertempuran hasrat yang baru saja terjadi. Serena duduk di sofa, tubuhnya hanya tertutupi oleh sisa-sisa gaun yang telah dirobek Bintara. Kulitnya yang halus terpapar oleh cahaya remang-remang lampu, memberikan kesan yang memabukkan.Dia menatap Bintara dengan mata yang berbinar, senyum puas terlukis di bibirnya yang merah. Seperti predator yang baru saja memenangkan buruannya, Serena menikmati setiap detik kebisuan yang menyelimuti mereka.Larut malam di penthouse terasa hening, hanya diiringi oleh suara napas mereka yang masih terengah. Aroma wine dan keringat bercampur menjadi satu, menambah ketegangan yang sudah terasa begitu kental.Bintara merapikan rambutnya, menunduk u
Baca selengkapnya
Bab 68.
“Itu urusanku,” jawab Bintara dengan suara serak, mencoba menahan emosi yang menggelora di dalam dirinya. Dia bangkit, berniat meninggalkan kamar dengan langkah cepat, tetapi Serena melangkah cepat dan menahannya dengan sentuhan lembut di lengannya.“Bintara,” bisiknya penuh arti, matanya yang tajam menatap dalam-dalam ke mata Bintara. “Ingat janjimu. Kau harus memperlakukan aku layaknya seorang istri.”Bintara terdiam, menelan ludah dengan susah payah. Tekanan dari Serena terasa begitu nyata dan mengikat. Kamar yang semula terasa luas dan dingin kini seakan menciut, mencengkeramnya dalam dilema yang tak berujung.Serena mendekat, jarak di antara mereka begitu dekat hingga Bintara bisa merasakan hembusan napasnya.Serena melingkarkan lengannya ke leher Bintara, menariknya lebih dekat. "Kau harus tidur di sini malam ini," ucapnya dengan nada yang penuh kepastian dan tuntutan. Bintara merasakan berat janji yang pernah ia ucapkan, kini menyesakkan da
Baca selengkapnya
Bab 69.
Di sebuah coffee shop yang elegan di dalam hotel milik Bintara, aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman bunga segar memenuhi udara.Lampu-lampu kristal menggantung dari langit-langit, memberikan cahaya lembut yang menambah suasana intim di tempat tersebut.Bintara duduk di sebuah meja dekat jendela besar, menatap keluar melihat pemandangan kota yang sibuk di bawah sana. Pintu coffee shop terbuka, dan Sietta masuk dengan anggun.Penampilannya yang berkelas dengan balutan gaun desainer menambah pesona kehadirannya. Dia melangkah mendekati meja Bintara dengan langkah percaya diri."Bintara," sapa Sietta dengan senyum tipis. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."Bintara berdiri dan menjabat tangannya. "Sietta, aku tidak menyangka kamu sudah kembali dari New York.”Sietta duduk dengan elegan dan melambaikan tangan kepada pelayan untuk memesan kopi. "Aku pulang untuk mengadakan launching busana dari merk yang aku des
Baca selengkapnya
Bab 70
Waktu terus bergulir, dan kondisi Aruna perlahan-lahan membaik. Setelah menjalani perawatan dan terapi di rumah sakit, kini ia kembali ke rumah. Meski luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia mulai menemukan kekuatan untuk bangkit demi putrinya, Rohana.Di rumah sederhana itu, suasana pagi begitu hangat. Brahma dan Lasmi, orang tua Aruna, kini mengisi hari-hari mereka dengan membantu di warung sayur kecil yang terletak di depan rumah. Brahma, dengan tangan-tangan terampilnya, menata sayuran segar di atas meja kayu, sementara Lasmi melayani pelanggan dengan senyuman ramah yang senantiasa menyapa.Aruna, yang kini duduk di teras rumah, menatap kedua orang tuanya dengan penuh rasa syukur. Kehadiran mereka adalah penopang dalam kehidupannya yang sempat terasa hampa. Ia melihat ayahnya tertawa kecil ketika seorang pelanggan memuji sayuran mereka, sementara ibunya dengan sabar menjelaskan harga-harga barang dagangan.Meski beban di hatinya masih terasa berat,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status