Semua Bab Belahan Jiwa: Bab 41 - Bab 49
49 Bab
41. Hatimu Sudah Punya Jawabannya
“Janji dulu, jangan menghakimi gua...” Tiara memulai sesi curhat.“Heh!” Alana langsung protes, “Lo kayak gak tau gua aja. Rasanya cuma gua yang punya prinsip everybody has their own reason -Setiap orang memiliki alasan mereka sendiri.”“Udah… denger dulu Ara mau ngomong apa.” Ruby menengahi, wajahnya terlihat serius di layar ponsel yang diletakkan berdiri di tengah meja.Tiara menghela napas. “Gua emang lagi… dekat, errr.. berkomunikasi aktif, sama seseorang.”“Sudah gua duga,” Alana berkomentar. “Terus, masalahnya di mana?”“Dia...&rdqu
Baca selengkapnya
42. Burn The Bridge
Tristan tahu Tantri telah mencurigainya, hanya saja istrinya itu tidak mendapatkan bukti yang cukup untuk langsung menuduhnya. Namun, telepon di malam ulang tahun Tiara itu adalah sebuah peringatan. Tantri memberinya syok terapi, untuk memberitahunya bahwa dia tahu.Memang istrinya tidak menyerang atau bertindak agresif dengan mendatangi lalu memaki-maki. Dia bermain cantik, hanya menyalakan rasa bersalah di hati Tristan.Tristan mulai membatasi mengirim pesan dan foto tanpa arti pada Tiara. Unggahan di sosial media pun dikurangi. Dan pesan-pesan pribadi yang ia terima, diserahkan pada admin untuk menjawabnya.Meskipun demikian, kepalanya tetap dipenuhi Tiara. Setiap melihat makanan apapun, hampir secara otomatis tangannya mengeluarkan ponsel untuk memotret, sebelum kemudian tangannya menjadi kaku, lalu memasukkan k
Baca selengkapnya
43. Rasa Yang Kembali Adalah Rasa Yang Tak Pernah Pergi
Tiara menyeret kopernya masuk ke vaporetto, kapal besar yang menjadi alat transportasi utama di Venice. Semacam bus umum jika di darat. Ia sudah menyewa sebuah kamar dari seorang wanita berusia enam puluh lima bernama Marcia. Seorang profesor yang mengajar anak-anak yang kesulitan mengeja di Inglese Dinamico. Marcia hidup seorang diri di rumah dua lantai berkamar dua. Jadi dia menyewakan satu kamar pada pelancong-pelancong via sebuah situs penginapan. Waktu tepat menunjukkan jam dua belas siang, Marcia sedang mengajar, jadi Tiara harus mengambil kunci rumahnya ke kampus yang terletak di San
Baca selengkapnya
44. Dicandai Takdir
Tantri melihat suaminya benar-benar ‘terpenjara’ olehnya dua bulan ini. Di siang hari selalu pulang, dan jarang terlihat mengetik di ponsel. Tantri bernapas lega. Sepertinya upaya halusnya sukses.Namun, dua minggu kemudian, ia melihat suaminya tampak lebih pendiam. Ada kemuraman yang coba ditutupi. Hampir berhasil, sebab ketika memandangnya, suaminya memang masih tersenyum, tetapi Tantri bukan baru hidup satu dua tahun dengannya, dan ia menangkap mendung itu.Oleh karena itu, ketika suaminya mengatakan mendapat undangan seminar gizi di Italia sana, dan bermaksud melanjutkan program master satu tahun, ia langsung menyetujuinya.‘Lebih baik dia pergi jauh supaya kesempatannya benar-benar tertutup, tanpa aku berusaha menghalanginya.’ Begitu ia berpikir.
Baca selengkapnya
45. In Venice
Tristan mengambil alih koper Tiara yang setinggi pinggangnya, membebaskan wanita itu hanya berjalan menenteng tas laptop dan tas selempangnya. Dengan panduan Google map dan petunjuk dari Marcia, mereka menemukan kampusnya tanpa kesulitan.Marcia ternyata bertubuh mungil, bahkan lebih pendek dari Tiara. Tingginya mungkin sekitar 150 cm. Ketika berjalan ke luar kelas menghampiri mereka, dia agak pincang.“Hai sweetheart,” Dia langsung memeluk Tiara dengan hangat. “Akhirnya kamu tiba juga. Tidak sulit kan menemukan kampus ini?”Tiara mengg
Baca selengkapnya
46. Harry's Bar
Mereka tentu saja memesan Bellini. Bagaimana pun, mereka penasaran dengan rasa koktail Peach Bellini yang diciptakan oleh Cipriani itu. Minuman inilah yang menjadi magnet penarik turis untuk mengunjungi bar ini. Konon, dinamakan Bellini karena warna merah muda cerah dari koktail tersebut mengingatkan Cipriani pada lukisan Giovanni Bellini, seorang pelukis Renaisans Venesia abad ke-15. Bellini mereka tiba dalam hitungan menit. Berbeda dari minuman koktail yang biasanya dituangkan di gelas dangkal berkaki tinggi, Bellini disajikan dalam gelas silinder setinggi sekitar sepuluh senti. Lebih mirip jus, berwarna merah muda dengan buih di atasnya. Tiara segera meneguk minuman yang tampak cantik dan ceria itu.
Baca selengkapnya
47. Menikmati Waktu Bersamamu
Segala cara sudah dilakukan untuk menepis segala rasa, melenyapkan segala kemungkinan kembali. Namun, takdir membawa Tristan kembali ke hadapannya, di sini, di kota yang setiap sudutnya menawarkan romantisme. Rasa yang tak pernah pergi, menghantam bagai gelombang raksasa. Menghanyutkan Tiara ke lautan cinta tanpa tepi. Mungkin ia akan tenggelam karena lelah, sebab cintanya hanya sebuah harap yang hampa.“Cara sembuh dari patah hati adalah dengan menemukan cinta baru,” kata Alana suatu ketika.Waktu itu Tiara menjawab, “Dalam menyembuhkan luka hati, manusia terbagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama, seperti yang lo sebutin. Menambal hati yang patah dengan cinta baru. Jenis yang kedua, harus sembuh dulu baru bisa menerima cinta yang lain. Gua adalah jenis yang kedua.”
Baca selengkapnya
48. Malaikat-Malaikat Tak Bersayap (1)
[Terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Elo sudah tahu risikonya. Your action your responsibility. -Tingkah lakumu, tanggung jawabmu.] Jawaban Alana sudah ada ketika Tiara membuka mata di pagi hari.[Karena gua tahu, lo itu meskipun ‘janda’ dan sudah punya anak, sebetulnya gak lebih dari perawan. Belum pernah merasakan cinta yang menggebu-gebu. Bahkan bercinta pun hanya sekali. Pasti belum pernah ngerasain yang namanya ‘Big O’. Atau ciuman yang bikin lo melayang sampai rasanya diri lo lenyap. Jadi… gua no comment.] Itu kalimat Alana selanjutnya. Sebagaimana yang diharapkan dari seorang penulis. Tiara memejamkan mata. Bagaimana menepiskan rasa ini, sementara objek yang membangkitkannya kini berada di dekatnya. Dan mereka ada di belahan dunia lain. Bolehkah ia menganggap ini kehidupan di dunia yang lain, untuk dinikmati walau hanya sesaat? Meskipun ia tahu ia tidak boleh membangun harapan di dunia ini. Meskipun ia tahu ia akan makin terluka setelah semua ini usai.Ia menghela napas,
Baca selengkapnya
49. Malaikat-Malaikat Tak Bersayap (2)
Bekerja di dunia pedagang eceran itu berat, kadang ia harus tetap bekerja di hari libur. Untunglah Bapak dan Ibu Sutami, pasangan suami istri atasannya itu, adalah orang-orang baik. Mereka tidak punya anak, dan mengizinkan Tiara untuk sekali-sekali membawa Kirana ke toko. Kasihan Ibu yang sudah mengurusnya sepanjang Senin hingga Jumat. Dan kesempatan Tiara untuk dekat dengan Kirana hanya saat akhir pekan. Kirana tumbuh sehat, sayangnya dia terlambat bicara. Hingga usianya menjelang tiga tahun, belum satu pun kata keluar dari bibir mungilnya. Tiara sangat khawatir, tiap malam ia melatihnya untuk bicara, mengajak Kirana mengikuti ucapannya.“Kira… maaa… ma.” Mata bulat Kirana terpaku pada bibirnya. “Maa...maa...” Tiara melanjutkan sambil menunjuk dadanya sendiri. “Ini Mama.”Kirana memandangnya tanpa mengatakan apa-apa, lalu berjalan menjauhinya.Tiara hanya bisa menghela napas.Suatu malam, entah Tuhan mengirimkan malaikat mana. Tiba-tiba Kirana turun dari pangkuannya sambil mengham
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status