Semua Bab Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung : Bab 11 - Bab 20
33 Bab
Uangku Lebih Berharga dari Kang Ikbal
Sekarang ini, uangku lebih berharga daripada kamu, Kang. Kamu sudah menyakiti hati ini. Rasanya tak ada harapan lagi untuk aku menjadikanmu sebagai pangeranku.Aku sudah bangun dari mimpi. Semua sudah terbuka, termasuk mataku ini."Apa? Aku nggak egois. Aku realistis saja. Kamu yang menanam, kamu pula yang menuai. Jangan malah jadikan aku sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas apa yang kamu tanam, Kang."Kang Ikbal terdiam di skak mat olehku. Kemudian ia pergi tanpa bicara sedikitpun. Aku tak peduli lagi dengan kelakuannya. Silahkan akang mau berbuat apapun, Kang.***Ibu belum menyadari kalau brangkasnya sudah tak ada di tempat. Aku masih belum menemukan nomor kombinasi untuk membukanya. Semoga rezeki untuk bisa membuka brankasnya nanti.Kali ini Ibu tak mau mengantar anak-anak. Ibu marah karena aku tak menuruti keinginannya dan Kang Ikbal untuk membayar utang mereka. Aku tak mau mereka keenakan. Biar saja rumah dan mobil kami disita."Ya sudah, Bu. Aku yang antar anak-anak s
Baca selengkapnya
W******p dari Ibu
Kubereskan semua, kubawa yang penting saja. Segera kuraih sapu yang kubawa, agar berpura-pura menyapu. Ketika keluar, Kang Ikbal sudah di depan kamar Ibu."Kamu sedang apa di kamar Ibu, Alma?" tanya Kang Ikbal."Akang nggak liat? Aku lagi nyapu," jawabku."Nyapu? Ngapain nyapu jam segini? Harusnya tadi pagi," katanya."Kang Ikbal ngapain pulang jam segini?Harusnya dari kemarin Akang udah pulang. Akang tega, malah pergi ninggalin aku gitu aja," ucapku."Kamu yang egois, Alma. Tak mau membantu keuangan keluarga. Padahal kamu akan dapat pahala bila bersedekah," katanya sok bawa-bawa sedekah.Aku tau memang sedekah terbaik seorang suami itu pada istri dah anak-anaknya. Jika Istri punya penghasilan pun, jika dipakai oleh suami itu namanya sedekah. Namun, sudah cukup semua telah kulakukan. Lebih baik sedekah pada yang lain daripada pada Kang Ikbal yang jelas-jelas sudah menghabiskan uang yang kuberi dan ia pun mengkhianatiku."Kamu yang egois. Pengen dibantu terus, padahal yang bantu bisni
Baca selengkapnya
Pindahan Rumah
Tenang saja, Bu. Mulai hari ini aku akan keluar dari rumah yang sudah menjadi rumahku sejak kecil. Aku berusaha mempertahankannya dengan merenovasinya, tapi ternyata bukan milikku. Aku harus ikhlas melepas rumah ini, sama seperti aku ikhlas melepaskan Kang Ikbal untuk Susi.Biarlah saja, wanita yang baik tentunya untuk laki-laki yang baik, demikian pula sebaliknya.[Alma, kenapa nggak dibalas? Padahal kami sudah membacanya. Tolonglah Alma. Selama ini Ibu sudah menjaga anak-anakmu dan suamimu kan?]Ibu kembali mengingatkanku akan jasanya. Aku tau dia sudah menjaga, tapi juga membuat mereka menderita. Anakku senang saat ku datang, karena mereka bebas dari penderitaan.Suami? Kurasa Ibu tak pernah menasehati Kang Ikbal dikala Kang Ikbal ingin menikahi Susi. Seharusnya Ibu bisa menasehatinya dan mengingatkan Kang Ikbal kalau ia masih terikat pernikahan denganku.[Terima kasih Ibu sudah menjaga mereka. Tapi aku tak bisa membalas semua pengorbanan Ibu. Maaf ya Bu.]Setelah itu mobil jemputa
Baca selengkapnya
Kebaikan Kang Rahman
Gegas aku mengambil ponsel dan mengambil posisi foto yang pas. Akan kuabadikan kedatangan laki-laki itu. Ia datang terburu-buru. Parkir mobil di badan jalan, walau di pinggir. Kemudian turun dan memasuki rumah Susi.Kusempatkan memoto dan merekam seadanya."Ma, ayo makan!" ajak Hanif."Yuk!" Aku mengikuti Hanif ke meja makan. Bi Ikah sudah menyiapkan makan untuk kami."Wah, terima kasih ya, Bi, sudah memberikan makan siang menjelang sore untuk kami.""Sama-sama Neng Alma. Semoga Neng Alma dan anak-anak bisa betah di sini." "Iya, Bi. Pasti itu."Seusai makan, anak-anak kembali ke kamarnya. Aku dan Bi Ikah ngobrol sama-sama."Neng Alma, tadi Bibi liat kalau Neng Susi ada di rumah depan. Memangnya Neng Susi rumahnya di situ?" tanya Bi Ikah."Iya, Bi. Susi memang tinggal di situ. Aku sengaja pindah ke sini, supaya deket sama dia. Dan taukah Bi, siapa suaminya?" Sengaja kulebarkan mata ini.Tau dong, Neng. Masa nggak tau sih?" katanya."Iya, Bi. Bibi benar waktu itu. Ia adalah Kang Ikbal,
Baca selengkapnya
Rahasia Susi
"Yang penting ulet. Jika ada kerikil di jalan, jadikan tantangan, agar tantangan itu menjadi jalan untuk menjadi besar," katanya. Sungguh, kata-kata Kang Rahman begitu memotivasiku.Sepertinya aku cocok ngobrol bareng seperti ini dengannya. Namun ternyata sudah malam. "Kang, udah malem. Nggak kerasa ya ngobrol ngalor-ngidul, eh dah malem aja," ucapku."Iya, Teh Alma. Makasih banget ya, Akang udah dikasih kesempatan kenal lebih dekat keluargamu.""Sama-sama, Kang. Terima kasih juga silaturahimnya!" Aku mengantar sampai pintu saja. Ketika kulihat di rumah depan, motor sport Kang Ikbal datang. Mobil laki-laki tadi sudah tak ada, aku kecolongan. Tadinya mau memperhatikan kapan ia keluar dari rumah Susi, tapi tak terperhatikan."Aku pulang ya, Teh!""Iya, Kang. Hati-hati di jalan!" Kang Ikbal yang baru turun dari motor sportnya menengok ke belakang. Mungkin ia mendengar suaraku, jadi ia mencari sumber suara. Aku masuk ke dalam, bersembunyi di balik jendela. Terlihat Kang Ikbal keluar g
Baca selengkapnya
Kemarahan Kang Ikbal
Dalam waktu singkat, Kang Rahman datang membawakan mobil untukku. Ia sendiri yang duduk di kemudi.Aku tau karena ketika mobilnya datang, aku sedang mengamati rumah depan. Kang Ikbal memang datang ke rumah itu dua hari ini. Itu berarti ia memang sering pulang ke sini, karena sejak ia ada di rumah pun dulu, sering pergi ke luar.Segera aku menyambut Kang Rahman di ruang tamu."Teh Alma, ini kunci mobilnya. Dicoba dulu aja, insya Allah masih baik semuanya, baik bodinya atau mesinnya," katanya."Alhamdulillah, terima kasih. Nanti aku bayar sesuai harga second di pasaran ya!""Iya, terserah Teh Alma saja. Oke saya duluan, masih ada yang harus saya kerjakan," katanya. Tanpa sadar, aku mengantarnya ke depan gerbang.Kang Rahman bersama ojeg, untuk membawanya pulang. Saat aku sedang melambaikan tangan pada Kang Rahman, Kang Ikbal dan Susi keluar dari rumahnya. Aku melihat mereka dari celah gerbang rumahnya.Buru-buru aku masuk, dan mengintip dari jendela kamarku. Kang Ikbal mengecup dahi Sus
Baca selengkapnya
Ibu yang Kepo
"Halo, Alma! Pulang kamu! Dasar menantu tak punya adab! Pergi dari rumah nggak bilang-bilang, trus kamu bawa barang-barang bagus di rumah ini. Kamu juga mencuri perhiasan Ibu. Kembalikan Alma!"Dengan serta merta Ibu marah terhadapku. Ia seperti anaknya tadi pagi. Bisanya marah dan menyalahkanku tanpa berintrospeksi diri. Siapa yang memulai perang? Siapa yang memulai dzolim?"Maaf, Alma dan anak-anak tak bisa tinggal di rumah yang sudah dijadikan tebusan utang kalian. Aku tak mau membayar semuanya. Yang ada uangku habis buat menebus semua itu, kalian bisa saja kembali memperdayaku. Satu lagi, soal brankas. Aku tau itu uang anak-anakku yang kutransfer setiap bulan, Bu. Ibu sangat serakah, aku juga berikan jatah Ibu. Tapi Ibu malah mengambil jatah anak-anakku juga. Belum lagi Kang Ikbal yang ternyata sudah menikah lagi dengan Susi."Kubalas dengan jawaban yang panjang agar ia tau diri. Semua tak mungkin terjadi tanpa alasan. Aku melakukannya karena sudah tak tahan dengan perlakuan merek
Baca selengkapnya
Penasaran dengan Rumah Susi
Sepertinya aku tak mau langsung menerima tawarannya untuk pergi jalan-jalan. Tapi kalau Bi Ikah diajak juga, aku akan mempertimbangkannya."Kalau yang ikut kami berempat gimana? Boleh?" tanyaku memastikan."Siapa saja?""Aku, kedua anakku dan Bi Ikah. Gimana Kang?" tanyaku serius."Ya udah atuh, sok aja rame-rame. Lebih menyenangkan pastinya," jawabnya.Aku mengangguk tanda aku setuju. Anak-anak yang mendengar pembicaraan kami langsung berteriak senang. Mereka hampir tak pernah yang namanya jalan-jalan katanya kecuali ke sekolah saja."Bi, ikut ya. Kita makan di luar," kataku pada Bi Ikah."Bibi di rumah aja deh. Takutnya nanti ngeganggu Neng Alma sama anak-anak," katanya."Nggak, Bi. Bibi kan yang selalu bantuin aku. Jadi, sebagai rasa terima kasih, aku ingin ajak Bibi juga makan di luar," ucapku."Ya udah. Bibi ikut," jawabnya.Kami bersiap semua untuk ikut dengan Kang Rahman. Sebenarnya aku juga nggak mau terlihat jalan sama laki-laki lain, sementara statusku masih istrinya Kang I
Baca selengkapnya
Aduan Anak-anak
"Wah, makan di sini. Aku pernah denger kalau Bapak pernah makan di restoran ini sama Bi Susi dan Nenek," kata Hanif."Oh iya, bener. Kita dengerin saat mereka bicara sama Nenek, Bu," timpal Hanifa."Jadi, kalian nggak diajak?""Nggak, kami disuruh berdua di rumah," katanya.Pantas saja dulu, aku minta mereka berikan ponsel pada Hanifa, mereka tak memberinya. Ternyata karena takut perbuatan mereka terungkap nanti."Nggak apa-apa, yang penting kalian sekarang bisa makan juga di sini. Nanti Ibu fotoin biar Ibu pasang di status Ibu nanti, tujuannya biar mereka tau kalau kalian juga bisa makan di restoran yang pernah mereka datangi," sahutku. Kasihan sekali anak-anak sampai tak diajak untuk makan-makan sementara mereka menghamburkan uang."Kata Bapak kalian di rumah aja, makan sama tempe. Kasihan nggak ada yang makan," adu Hanif."Benar itu?"Hanifa mengangguk dan menunduk."Ya sudah, tak usah sedih. Lupakan kesedihan kalian. Sekarang waktunya bahagia karena kalian bisa makan di sini, uca
Baca selengkapnya
Telepon dari Kang Ikbal
Aku menghela napas saat melihat nama si penelepon. Dia adalah Kang Ikbal. Baru saja kami bertemu, eh ia sudah kangen aja. Mungkinkah ia marah saat melihatku bersama Kang Rahman?"Halo Kang Ikbal ada apa?""Kamu ngapain jalan sama laki-laki segala. Sampe bawa anak-anak segala dan kalian seperti suami istri aja. Kamu itu masih istriku, Neng!" Kang Ikbal mulai nyerocos membuat kupingku pengang."Kamu sendiri gimana, Kang? Kamu sudah menikahi Susi sejak aku pergi ke Arab Saudi. Sungguh, kamu yang tega telah mengkhianatiku. Padahal kamu yang minta aku pergi, katamu biarlah aku yang menjaga anak-anak. Kamu ikhlas aku pergi mencari penghasilan yang lebih baik.""Aku sama kamu berbeda. Kalau laki-laki itu sah-sah saja menikah lagi tanpa memberitahu istrinya. Jadi, kamu terima saja sekarang kenyataannya," ucap Kang Ikbal.Kepalaku pusing. Kurasa kali ini aku harus mengakhiri obrolan kami."Ya sudah, Kang. Dilanjut nanti saja. Anak-anak udah nungguin dari tadi di mobil," sahutku.Kang Ikbal tak
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status