Share

Ch. 2: Good Mourning, Kat! Part 2

Tanda yang diwariskan di atas nadi kami sama halnya dengan keturunan yang bersifat genetik. Jika kedua orangtuamu memiliki warna mata berbeda, misalnya. Ia cenderung akan mengikuti orangtua yang lebih dominan atau pada kasus tertentu, seperti lotre. Tanda peran yang akan kami jalani sepanjang hidup biasanya muncul saat kami beranjak remaja, diiringi ciri-ciri pubertas pada umumnya.

Seorang dengan keturunan campur dengan ibu seorang Penyihir dan ayah seorang Murni, biasanya akan menjadi Secondary. Tetapi saat ulang tahunku yang ke-15 kemarin, gurat hangus yang mulai nampak di atas nadiku adalah tanda seorang Penyihir. Alih-alih merasa senang, aku malah merasa mual. Peran yang akan kujalani seumur hidupku ini... bukanlah apa yang kami harapkan.

Ibuku, Joanne von Kruger adalah seorang pasien di sanatarium. Ibuku dirawat disana karena ia pernah mencoba membunuhku dua kali.

Suatu malam saat aku dua belas tahun, aku terbangun di tengah malam dan menemukan ibuku berdiri di kaki ranjangku. Kantong matanya nampak gelap, akibat beberapa malam bermimpi buruk. Kesedihan merayap di batinku, sebab ibuku adalah orang yang hangat, ceria, dan cerdas. Meski sering dikuasai sorot sedih, marah, atau kosong, matanya yang berwarna hijau dalam itu tetap terlihat jernih. Seakan-akan dibalik tirai perasaan yang berubah-ubah, ia tetap ibuku yang hangat, ceria, dan cerdas.

Aku tumbuh dengan kenangan betapa sifatnya sangat halus. Berbeda dengan ayahku yang nampak keras, bertubuh tegap dan jauh lebih besar dari ibuku serta bermata gelap. Meski secara tampilan nampak mengintimidasi, ayahku adalah seorang yang penyayang dan beliau sangat menyayangi dan menjaga kami.

Entah kapan persisnya dimulai, ibuku mulai sering linglung. Suatu hari sepulang sekolah, ibuku menyambutku dengan hangat, akan tetapi sejak hari itu semuanya mulai berubah.

"Kau sudah pulang, Kat? Apakah kau mau mama masakan chilli con carne kesukaanmu?"

"Iya, Ibu. Terima kasih." Kataku sambil menaruh perlengkapan sekolahku.

Ibuku langsung sibuk mengambil bahan-bahan dari kabinet dapur. Aku bergegas membersihkan diri dan setelahnya duduk menyalakan televisi di ruang keluarga.

Lama, hening. Aku pikir seharusnya akan ada suara peralatan dapur, suara memotong bahan-bahan, atau senandung sayup-sayup dari arah dapur. Ya, salah satu kebiasaannya adalah bersenandung kecil tanpa sadar.

Aku beranjak ke dapur. Entah kenapa, ada perasaan tidak enak yang merayap ke tengkukku. Instingku berkata aku harus melangkah ke dapur dengan hati-hati.

Benar saja. Ibuku dengan rambut pirang terurai dan gaun rumahnya yang bermotif bunga-bunga pada kain biru muda itu sedang diam saja. Ia berdiri mematung dengan satu tangan memegang pisau. Akan tetapi, tangannya tidak sedang memotong apa-apa. Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan dan tiba-tiba aku menyadari aku sedang menahan napas.

Akhirnya setelah mengumpulkan keberanian, aku memanggilnya. "Ibu?"

Tiba-tiba saja ibuku tersentak. "Ow!" ia seketika menjerit. Pisau itu mengiris ibu jarinya.

Aku buru-buru menghampirinya, "Ibu tidak apa-apa?" aku mengecek jarinya, tidak terlalu parah. Lalu bergegas menyirami lukanya di wastafel dan mengambil plester dari laci.

Aneh sekali kalau kuingat-ingat, aku cuma delapan tahun saat itu.

Aku memerhatikan wajahnya. Ibuku nampak seperti baru menyadari ia ada disitu detik itu.

"Ibu barusan bermimpi aneh sekali," seketika wajahnya menjadi aneh. Ia menatapku, tetapi rasanya seperti jauh sekali.

"Ibu tertidur?"

"Iya, putriku." ia melihat wajahku dengan tatapan ragu. "Seorang berbisik pada Ibu, katanya kelak kau akan jadi Penyihir."

"Ah, apakah iya? Itu hampir tidak mungkin, Bu. Ayah kan orang Murni. Tapi aku senang, kalau bisa jadi seperti ibu."

Ya, aku senang kalau bisa jadi seperti ibu, pikirku. Aku senang melihat ibu yang bisa memahami binatang-binatang. Ia bisa menyembuhkan mereka dengan mudah karena binatang-binatang itu bisa menyampaikan pikiran mereka kepada ibuku. Aku ingat kalau bermain di taman, saat anak-anak lain digigiti serangga, tubuhku akan sama sekali tidak tersentuh. 

Tapi saat aku berkata seperti itu, air muka ibuku berubah.

"Tidak anakku, kau tidak boleh menjadi seperti Ibu." Ia menggeleng, sebuah kerut marah muncul di keningnya. "Kau harus jadi Secondary. Jika jadi seperti ibu, maka dunia akan musnah."

Lalu seperti tidak terjadi apa-apa, ibuku mulai bersenandung dan mulai memotong tomat di hadapannya. Aku tidak bilang apa-apa pada ayahku tentang kejadian hari itu. Aku menyesal tidak memberitahukan hal itu lebih awal karena setelahnya kondisi ibuku semakin buruk Ia sering terdiam dan terlupa saat melakukan sesuatu. Ia enggan tidur karena tiap kali ia tidur, ia jadi bermimpi buruk. Sekali, ibu pernah menamparku karena bermimpi aku melukai ayahku sambil tertawa. 

Lambat laun, sihir miliknya ia pergunakan untuk hal-hal aneh. Ayahku berangkat bekerja dengan diitari burung gereja di atas kepalanya. Satu saat, rumah kami pernah ditongkrongi sekumpulan burung gagak, berderet di atas pagar dan memenuhi atap rumah dan menatap dengan galak sehingga para tamu urung datang dan tetangga enggan mendekat. Aku pernah membuka rak sepatu dan menemukan beberapa ekor ular dengan warna cerah merayap keluar dari dalam. Saat aku terkesiap, ibuku terkekeh-kekeh dari ujung ruangan. Kejadian-kejadian yang ganjil namun tak berbahaya yang berkaitan dengan binatang ini kemudian berlanjut selama bertahun-tahun.

Suatu hari saat aku membuka kotak bekalku ke sekolah, aku takut bukan main karena alih-alih berisi makanan, kotak itu malah dipenuhi laba-laba kecil sampai hitam pekat. Saat kejadian itu heboh dibicarakan satu sekolah, Wolfram menghampiriku. Mukanya memang terlihat selalu seperti sedang malas. Tetapi aku tahu dia cemas. Pada orang lain aku mengaku itu adalah prank halloween karena toh laba-labanya tidak berbahaya.

Wolfram adalah putra tetangga terdekat kami. Keluarganya juga adalah keluarga campuran. Kepala keluarga mereka adalah Robert, seorang Murni dan Stacey seorang Pemburu. Wolfram dua tahun lebih tua dariku dan kami pergi ke sekolah yang sama. Kami dekat dari kecil, begitupun kedua orangtua kami.

"Apakah ibumu baik-baik saja?" tanyanya. Wolfram adalah salah satu orang yang menjadi saksi awal kejanggalan sihir ibuku.

Aku menggeleng. "Tidak begitu baik. Ayahku sudah membawanya ke psikiater, tapi tidak ada banyak perubahan. Kami mempertimbangkan untuk ke klinik sihir."

"Mungkin tuntaskan saja dengan psikiater dulu," sarannya.

"Ya. insomnia ibuku tidak membaik. Kami sedang mencoba obat baru untuk membantu itu."

Ia menatapku, lama. Karena aku mengenalnya lama, aku tahu itu adalah tatapan sendu dan prihatin. Aku mencoba tersenyum

"Jangan terlalu khawatir, aku sudah biasa." kataku meyakinkan.

"Tetap saja, jangan lupa jaga dirimu baik-baik." katanya sambil menepuk bahuku, lalu berlalu.

Tatapanku mengikuti sosoknya dari belakang. Sudah sangat lama aku mengenalnya. Dulu kami bermain tanpa malu-malu. Sekarang kami lebih hati-hati dan jadi lebih canggung. Katanya banyak pertemanan antara anak perempuan dan laki-laki berubah saat menjelang remaja. Aku rasa itulah yang terjadi pada pertemanan kami. Aku baru menyadari dan bahkan mengagumi, Wolfram sekarang lebih tinggi daripada aku. Bahunya lebar dan suaranya mulai berubah menjadi lebih dalam. Meskipun laki-laki puber lebih terlambat, barangkali tanda di nadinya akan muncul lebih dulu dari aku.

Aku malu memergoki diriku sendiri terpesona dengan kedewasaannya. Akupun beranjak pulang.

Malamnya, pada malam bernasib naas itu aku terbangun dan menemukan ibuku berdiri di kaki ranjangku. Hal ini sudah terjadi beberapa kali, tapi kali ini aku benar-benar takut. Aku ingin berdiri dan memanggil ayahku, tetapi kaki dan ujung jariku terasa dingin bergemetar, seakan-akan aku berdiri di ujung tebing. Setelah bersusah payah, akhirnya suaraku keluar dengan serak.

"Ibu tidak tidur? Apakah obatnya tidak membantu?"

Ibuku diam saja. Ia lalu jalan perlahan ke atas ranjangku. Tangannya yang dingin pelan-pelan merayap ke puncak kepalaku.

"Oh, putriku sayang." bisiknya separuh bersenandung. "Jangan jadi seperti Ibu." katanya sambil menautkan rambutku ke belakang telingaku.

Aku semakin takut. Tubuhku semakin kaku tetapi ada percikan rasa penasaran. Gerakan ibuku sangat lembut mengusap rambut dan kepalaku, seakan-akan aku adalah porselen yang mudah retak. Lalu tiba-tiba ibuku berubah marah.

"Jangan jadi seperti Ibu!" teriaknya lalu dengan kekuatan hebat yang tak kusangka-sangka, menjambak rambutku dan melemparkanku ke lantai. Seluruh tubuhku nyeri tetapi aku terlambat melindungi diri.

"Hati-hati kau, Kat! Kalau kau jadi Penyihir mereka akan membunuhmu!" teriaknya sambil naik ke atasku. Tangannya yang dingin turun ke leherku dan mencekikku kuat-kuat.

"Ibu.." ujarku susah payah sambil meronta. "Jangan Ibu..." dari kejauhan aku bisa mendengar ayahku berlari memanggil namaku dan nama ibu.

Tapi ibuku sepertinya sudah gelap mata. Ia tidak peduli dengan aku yang meronta atau teriakan cemas ayahku dari kejauhan. Tiba-tiba air matanya jatuh menetes ke mataku.

"Lebih baik aku yang membunuhmu..." bisiknya, bibirnya mendekat ke telingaku. "Ibu mencintaimu." bisiknya lembut. Akan tetapi cengkeramannya di leherku semakin kuat. Aku terkesiap, mencoba menarik udara tetapi sia-sia.

Mataku lalu menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status