Share

Ch. 4: House of Chains

Tanpa Ibu di rumah, kami berdua menjadi lebih murung. Ayahku berusaha keras mencairkan suasana dengan daddy jokes yang garing dan basi jika kami bersama, tapi seringkali ia seperti menyesapi rasa sepi dan kerinduannya terhadap ibu. Akupun menjadi lebih diam di sekolah sementara teman-temanku sudah beranjak puber dan mulai menikmati berdandan, jalan-jalan di akhir pekan, dan menggoda lawan jenis.

Sebentar lagi para Pemburu muda akan memamerkan kelihaian mereka di lapangan olahraga atau di indoor hall. Biasanya para laki-laki akan adu jago dan bertaruh. Para Penyihir muda akan berbisik, menceritakan karunia sihir mereka untuk adu keren. Sementara aku? Aku merasa seperti tinggal di Limbo. Setiap di sekolah aku hanya ingin pulang, saat di rumah aku ingin cepat-cepat keluar rumah. Saat melakukan kegiatan aku hanya ingin segera tidur, dan saat mulai tertidur aku tidak ingin bangun lagi.

Aku jadi kurang merawat diri. Rambutku yang tadinya lurus seperti Ibu, merah berkilau menjadi ikal tidak beraturan. Aku tidak lagi memedulikan harus memakai baju apa dan harus berpenampilan seperti apa selama aku sopan dan tidak menarik perhatian. Lambat laun kusadari, teman-temanku mulai menjauh.

Hari itu adalah hari-hari terakhir musim semi sebelum ke musim panas. Suatu hari saat hendak pulang sekolah, dengan kepala tertunduk tahu-tahu aku menabrak Wolfram yang sedang mengambil bola untuk bermain bersama teman-temannya. Sekarang aku kelas tiga sekolah menengah dan Wolfram sudah SMA. Kami sudah tidak bersekolah di satu gedung tapi masih bersebelahan. Aku akan segera menyusul Wolfram, tetapi aku tidak bersemangat berlibur ataupun lulus SMP.

"Ow!" gerutuku pelan saat merasakan hidungku bertubrukan dengan dadanya yang keras.

"Ah, astaga! Maaf, Kat." katanya dengan suara yang sangat dalam. Sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya memanggilku. Apakah memang sudah lama? Ah, ya. Mula-mula kami masih sesekali berangkat atau pulang sekolah bersama. Hal itu semakin jarang sejak ibuku dirawat di sanatarium dan Wolfram beranjak SMA. Ia semakin larut dengan kesibukannya, aku semakin tenggelam dalam duniaku.

Aku menghitung-hitung di dalam benakku. Seharusnya Wolfram sudah puber. Seperti apa ya, tandanya? Aku tahu semua tanda Secondary sama, seperti ranting pohon. Tetapi mungkin rasanya akan berbeda kalau aku bisa melihatnya langsung di atas nadi Wolfram. Aku melirik, Ia memakai jersey sekolah berlengan panjang. Aku mengurungkan niatku.

"Apa ada yang ingin kau katakan?" tanyanya.

Serta-merta aku mengangkat kepala dan menatapnya. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa malu karena memikirkan detil intim itu. Wajahku terasa semakin panas setelah lebih menyadari bahwa sekarang aku cuma setinggi pundaknya.

Wajah Wolfram nampak bingung sekaligus menunggu. Gantian aku yang memandangnya bingung.

"Tidak. Apakah kau perlu sesuatu?"

Wolfram tampak ingin berkata sesuatu, mulutnya sudah terbuka separuh jalan.

"Wolfram!" seru seorang laki-laki dari belakangku yang terdengar buru-buru menghampirinya.

Melihat ada yang datang, ia menggeleng dan menarik ucapannya. Sejak kapan kami jadi sejauh ini? Tapi kalau dipikir-pikir, aku yang telah mendorong orang-orang menjauh dan aku memang tidak berusaha.

"Hi, Kat! Ingat aku?" sapa Renault Vazynsky. Anak kedua dari keluarga Vazynsky yang dulu tinggal di perumahan kami. Entah kapan persisnya, mereka pindah. Aku tersenyum singkat sambil mengangguk kepadanya dan menangkap tanda Pemburu yang menyerupai panah rumit di atas nadinya. "Kau sudah besar sekali! Dulu kau cuma segini dan selalu menempel dengan Wolfram." katanya berlebihan sambil menakar lututnya.

Aku tertawa kecil mendengarnya. Renault masih seonar dan selucu dulu. "Sudah." ujar Wolfram dengan nada mengingatkan sambil menyikut Renault.

Akhirnya ia menepuk bahuku, "kami duluan. Jangan melamun dan jangan sampai jatuh sakit." katanya sambil berlalu.

"Senang bertemu denganmu lagi, Kat!"

Kata-kata dari Wolfram, sesingkat itu tetapi membuat hatiku terasa lebih ringan.

 * * *

Kebanyakan hari-hari yang kulalui, Stacey akan datang ke rumah dan mengantarkan makanan. Terkadang ia akan mengundangku - undangan yang sayangnya tidak selalu kupenuhi - untuk makan malam di rumahnya karena ayahku sering absen sebab ia mampir terlebih dahulu ke sanatarium selepas kerja. Aku tidak keberatan, karena akupun sedih melihat ayahku seperti seorang yang hilang arah terpisah dengan Ibu. Jika bertemu hampir setiap hari dapat mengobati rindunya, aku tidak apa.

Suatu hari, aku pulang menemukan Stacey sedang masak di dapurku. Aneh sekali, dia hampir tidak pernah memakai perabot di rumah kami maupun masuk ke rumah ini saat tidak ada orang.

"Stacey?" panggilku ke sosok itu. Saat kuhampiri sosok itu sedang bersenandung, dengan senandung yang sama persis seperti yang biasa dinyanyikan ibuku.

"Ibu?" Aku meragukan pertanyaanku sendiri saat mengutarakannya. Perempuan di hadapanku jelas-jelas Stacey. Rambut gelapnya yang panjang dikepang satu, mengenakan terusan berlengan lonceng dengan motif bohemia. Aku hendak menepuk bahunya saat tiba-tiba ia berbalik.

Betapa ngerinya aku ketika wajahnya tidak dapat kukenali. Wajah itu dipenuhi dengan sayatan dan koreng. Ada kesan seolah aku berhadapan dengan ibuku, sekaligus juga dengan Stacey. Sebuah aroma menyelimutiku. Sebuah bau hangus bercampur bau gas dan bau busuk. Aku bisa merasakan tubuhku memanas seolah-olah aku sedang terbakar.

"Siapa kau?" tanyaku susah payah. Ada rasa pahit yang pekat, merayap naik ke kekeronganku. Tangan wanita itu terasa lengket saat ia memegang pipiku erat-erat. Wajahnya mendekat lalu ia tertawa sangat nyaring. Mulutnya membesar dan semakin lebar. Dan aku sempat mengira sebagian wajahnya akan hilang karena ukuran mulutnya yang menjadi semakin tak wajar. Lalu aku mendengar suara pintu dibanting dengan sangat keras.

"Katrina!" panggil Stacey dari pintu depan. Aku membelalakan mata dan kembali memandang sosok di depanku. Betapa kagetnya aku, tidak ada siapa-siapa disana. Aku terjatuh lemas sambil terbatuk-batuk dan tersengal-sengal. Mau muntah rasanya. Bau itu masih menggantung di udara.

"Kenapa kau melakukan ini? Tidak tahukah kamu ini sangat berbahaya?!" seru Stacey galak. Aku sangat kaget sampai gemetar karena aku tidak tahu apa yang Stacey maksud.

Wajah Stacey melunak, pastilah karena melihat kebingunganku. "Oh, anak manis. Zaman sekarang kau bisa menggunakan ketel listrik. Kau tidak bisa sembrono kalau sedang menyalakan kompor." 

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dengan cepat, seolah hal itu akan memudahkanku mengerti apa yang sedang terjadi. Aku baru menyadari sekelilingku pekat dengan asap.

"Kau sedang merebus air di panci. Kau saja sampai lupa. Airnya sudah benar-benar surut dan dasar pancimu hangus. Kalau aku tidak mencium baunya, kebakaran bisa benar-benar terjadi." suaranya lembut. Ia menghampiriku yang masih setengah bersandar di lantai, lalu ikut duduk di lantai.

Tiba-tiba ada bunyi nyaring dari arah pintu. Vas bunga yang terletak di atas lemari jatuh dan pecah. Dari dalamnya keluar seekor ular kobra. Seketika aku merasa seolah darah surut dari tubuhku, sebab teringat sihir ibuku saat ia sakit. Aku dan Stacey, tanpa sadar saling menggenggam tangan satu sama lain dan terpaku.

"Jangan membuat gerakan mendadak," bisiknya sambil mematung. "Hidupmu masih panjang, Nak."

"Mengerti." Jawabku.

Kami berdua berdiri mematung seperti itu, bernafas pun rasanya mesti berhati-hati sekali. Ular itu memandangi kami, ada aura dingin yang bisa kejam maupun tak acuh. Anehnya, sorot mata ular itu cerdas sekali. Seperti benar-benar sedang mencermati kami yang sedang berusaha tidak memprovokasinya.

Setelah beberapa waktu adu pandang, setiba-tiba munculnya, ular itu merayap keluar dari rumah. Tubuhku yang sedari tadi tegang, langsung rileks.

Aku terkesiap, "Ibu!"

Stacey juga langsung merubah posisi, menarik tanganku kembali. "Kau mau kemana?"

Ditanya begitu aku juga tidak tahu. Yang jelas, ada yang salah di rumah ini. Aku jelas tidak menyentuh peralatan dapur. Aku tidak sedang memasak air dan yang paling penting, siapa wanita yang kulihat tadi? Kalau dia halusinasi, pastilah kompor itu tidak ikut menyala. Bulu kudukku meremang.

Apalagi kalau bukan sihir?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status