Share

Chain of Destiny
Chain of Destiny
Penulis: Skellington June

Prolog

Sinar matahari yang sudah lama tak kurasakan datang menerobos kamarku – kamar rumah sakit tepatnya. Entah sudah berapa lama aku terbaring disini. Aku tidak dapat mengingat banyak hal. Aku berusaha menggali kejadian-kejadian sebelum aku berakhir disini. Tiba-tiba bahuku terasa panas, segera kuintip gaun pasienku dan cuma ada luka yang sudah berubah menjadi abu-abu disitu.

Seketika, rentetan ingatanku melimpah keluar seperti isian botol toples yang berserakan. Kepalaku sakit. Sekujur tubuhku sakit. Yah, setidaknya aku masih bisa merasakan nikmatnya disinari matahari dari jendela bangsal ini. Setelah bisa mengendalikan diri, kuulurkan tanganku ke arah cahaya. Akibat terlalu lama di dalam ruangan, kulitku nampak pucat. Di dekat nadinya nampak sebuah tanda yang membuatku bergidik dan seketika nyeri di kepalaku berdenyut lebih keras.

Ternyata seorang dokter wanita sedari tadi sedang mengamati dan memeriksa keadaanku. Aku terlalu teralih dengan isi kepala sampai tidak menyadari sosoknya yang sedang tersenyum sangat lebar melihatku sadar. Seorang yang Murni.

"Syukurlah kau sudah bangun." katanya lembut. "Ah, ada seorang laki-laki yang menjengukmu tiap hari. Dia pasti senang sekali mendengar kabar ini."

Aku masih memasang wajah datar dan mengerjap-ngerjapkan mata sambil memerhatikan antusiasmenya.

"Apakah dia pacarmu? Ah, atau dia abangmu?" tanyanya tanpa benar-benar menunggu jawabanku. "Kalau tidak salah dia menjadi walimu. Hmm.. tapi nama keluarga kalian berbeda." ujarnya sambil memeriksa papan riwayatku di genggamannya. Matanya berbinar-binar menyebut nama Wolfram van Kelley seperti gadis kesengsem.

Dari awal ia meyebutkan ada yang rajin menjengukku, aku sudah bisa menebak dia siapa. Aku akui, dokter itu pantas saja bertingkah seperti itu. Ia membuka tirai bangsalku dan nampak bergegas dengan tugasnya memeriksaku.

"Kondisimu bagus! Aku tidak kuatir, sebab tanda vitalmu memang bagus dan dengan kondisi saat ini..." ia menghela napas, untuk beberapa saat nampak suram tapi secepat itu pula ia langsung tersenyum hangat. "Istirahatlah 2-3 hari lagi. Kami akan memeriksamu dengan rutin dan akan mempersiapkan berkas-berkasnya supaya kau bisa langsung pulang nanti. Dia pasti tidak sabar untuk menjemputmu pulang."

Suaranya seperti tekanan di telingaku. Rasanya seakan-akan darah langsung surut dari wajahku dan tubuhku menjadi kaku. Pulang? Bersama Wolfram? Aku bisa mulai merasakan nafasku mendidih naik, perlahan-lahan menjadi tergesa. Aku berusaha tersenyum santai ke arah dokter itu. Ingin dia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya dan angkat kaki dari ruangan ini. Akhirnya, ia pun pamit.

Aku bisa melihat bintik-bintik putih di mataku. Hiperventilasi. Aku sering mengalami ini, saat pertahanan mentalku sedang runtuh atau akibat tekanan perburuan. Layaknya seorang yang naif aku mencoba mengedip-ngedipkan mata lagi agar semua bentuk dan warna di sekelilingku kembali. Tentu saja, hal itu sia-sia dan rasanya seperti ada yang menutup mataku dengan tirai putih dari dalam. Aku genggam selimut berbau steril itu erat-erat sambil mengatur nafas.

Aku masih bangun. Aku tidak pingsan. Aku baik-baik saja.

Lalu ada suara benak yang merayap di belakang kumpulan sugesti kepada diriku sendiri. Suaranya semakin lantang dan aku menemukan diriku sendiri membulatkan tekad.

Aku tidak akan pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status