Share

Ch. 3: Threads of Shadows

Aku pingsan saat kejadian itu. Ayahku datang tepat waktu untuk menyelamatkan aku dengan dibantu keluarga van Kelley yang langsung sigap mengantar ibuku ke sanatarium. Layaknya sebagian besar Murni, ayahku dan ayah Wolfram adalah dokter. Orang Murni kebanyakan menjadi dokter, guru, peneliti, penasehat pemerintah, orang hukum, dan jenis-jenis pekerjaan lainnya yang memerlukan penyerapan informasi yang tinggi.

Ayahku dan Robert kenal siapa yang akan merawat ibu dan bagaimana ibuku akan ditangani setelah kejadian malam itu.

Rasanya pingsan kadang-kadang seperti tidur. Saat kesadaranku kembali, aku tidak semerta-merta kembali. Semuanya kembali satu-persatu. Suara percakapan yang panik, hembusan AC mobil yang dingin, kekuatan untuk membuka mata, warna dan bentuk yang muncul di sekeliling jangkauan pandang.

Ternyata kami berdua berada di ambulans bersama Robert. Ibuku nampak tertidur di atas brankar di sebelahku. Meskipun wajahnya lelah dan pucat, ini pertama kalinya setelah berbulan-bulan ia nampak tertidur dengan nyenyak. 

Ayahku menoleh ke arahku ketika menyadari aku sudah sadar.

"Oh, Katrina!" serunya dengan lelah sambil menggapai bahuku untuk memelukku. "Maafkan ayah, Sayang." katanya sambil mengusap wajahku dengan pelan dan hati-hati. Aku merasakan nyeri bekas cekikan di leherku lalu reflek batuk dan menarik udara banyak-banyak.

Aku tidak berkata apa-apa. Hanya menerima semua upaya ayahku untuk menenangkanku. Aku belum bisa berkata-kata. Aku rasa tidak semua orang bisa bicara setelah ibunya sendiri berusaha membunuhnya.

"Joanne... sudah lama sekali sakit. Bukan.. dia pernah sakit tapi tidak lama." Ayahku mulai bercerita. Aku tahu cerita ini akan jadi cerita tentang masa lalu, karena rasanya seolah-olah ayahku sedang menghentikan waktu dan mengajakku ke tempat dan masa yang lain.

"Ibumu adalah perempuan yang lembut. Ia tidak akan menyakitimu seperti hari ini. Tidak akan pernah. Dia... bukan dirinya sendiri. Dia seperti itu karena kondisinya tidak baik. Kau tahu kan?"

Aku mengangguk. Tentu saja aku tahu. Ibuku seperti seseorang yang membawa awan hitam di atas kepala. Satu waktu, awan hitam itu akan menumpahkan badai dari tinta dan arang, dan serta-merta ibuku akan menghilang. Tertutup lapisan hitam, menjadi sosok lain yang bisa melakukan hal-hal yang tak akan ia lakukan sebelumnya. Lalu setelahnya, lapisan hitam itu akan tercuci, bersih dan ibuku akan kembali seperti sediakala.

"Ia sangat menatikan kehamilan dan kelahiranmu. Ia sangat senang membeli perlengkapan bayi dan sangat suka mendandanimu. Hewan-hewan lucu seperti kucing, anjing, dan burung-burung dengan suara merdu seperti robin dan kenari akan datang menjagamu bergantian jika ibumu sedang ke kamar kecil atau memasak. Mereka akan membantu menenangkanmu jika kau mulai menangis.

"Tetapi terkadang, ibumu bisa menangis atau marah tanpa sebab. Ia sempat seperti itu sampai kau 3 tahun... dan karenanya, ia pernah sekali mencoba menenggelamkanmu." ayahku tercekat. Air mata mengalir tanpa bisa ia cegah, ayahku nampak sangat emosional dan Robert membantu menenangkannya sambil nepuk-nepuk bahunya. Aku menerima informasi itu selayaknya aku bukan anak tanggung berusia dua belas tahun. "Ini bukan salahmu, Kat. Ingat itu."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku memeluk ayahku erat-erat.

"Aku yakin sekali dia sudah jauh lebih baik. Bahwa kejadian saat itu cuma karena ia baru melalui tahap hidup baru. Ada banyak studi soal itu, baby blues atau post-partum. Aku menyesal sekali, Bob. Seharusnya aku bisa lebih jeli melihat tanda-tandanya. Istriku butuh bantuan."

Robert masih dengan sabar menepuk-nepuk bahu ayahku. "Tidak, kau sudah melakukan yang terbaik untuk anak dan istrimu, Celeste. Semua orang tahu kau sangat menyayangi dan melindungi mereka. Ini di luar kendalimu."

Mendengar itu, aku memeluk ayahku semakin erat. Tidak mau ayahku berlarut-larut menyalahkan dirinya sendiri.

"Keluarga kami akan mencoba membantu kalian sebisa kami."

Dalam hati aku berterima kasih ada teman keluarga seperti van Kelley ketika Robert ikut kami dengan ambulans. Stacey dan Wolfram mengiringi kami dengan mobil di belakang. Stacey pun karib dengan ibuku dan mereka sering berkumpul dengan ibu-ibu di lingkungan kami dan melakukan kegiatan seperti minum teh, merajut, mengulas buku atau film baru, merangkai bunga, atau mengadakan potluck.

Melihat keakraban mereka, pikiranku seringkali berkelana. Bagaimana hubungan keluarga kami jika seandainya kami tidak tinggal di bumi baru yang didirikan Lord Gunther? Bagaimana jika kami tinggal di ratusan tahun yang lalu, dituduh lalu melarikan diri. Memagari diri dari ancaman hukuman mati dengan sihir yang akhirnya juga melukai orang tak berdosa? Bagaimana kalau kami ditangkap lalu dibakar hidup-hidup oleh keluarga seperti van Kelley? Tentu saja, itu adalah pikiran bengis yang mampir tanpa kuundang.

Malam itu, aku berpamitan dengan ibuku di sanatarium. Tetapi karena obat penenang, ia tidak menghiraukan aku. Ayahku memutuskan untuk menginap disana malam itu, bahkan walau ia tidak bisa seruangan dengan ibuku. Tentu, aku bisa memahami bahwa ayahku adalah orang yang paling terpukul karena kejadian malam ini. Sejak itu, kami terpaksa tinggal terpisah. Karena bahkan jika ada masa-masa ibu membaik, halusinasinya seringkali terpancing saat melihatku.

Maka dari itu, kunjungan rutin ke sanatorium adalah hal menjadi keseharian aku dan ayahku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status